Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Never Let Me Go
Sabtu, Jam 20.10
"Mba, aku wis ngantuk je (Mba, aku udah ngantuk)," ujar Mba Suko yang menguap entah untuk yang keberapa kalinya. Saat ini mereka sedang menonton siaran televisi di ruang tengah.
"Ya udah, Mba Suko tidur aja dulu."
"Lha nanti Mba Anggi piye sendirian."
"Nggak papa. Bentar lagi juga Abang pulang."
"Lho, emang Mas Rendra pulangnya jam berapa to. Tadi katanya pesawat jam sembilan?"
Ia tersenyum mengangguk, "Iya pesawat jam sembilan. Bentar lagi kalau saya ngantuk juga saya tidur."
"Yo wis, saya tak tidur dulu ya. Nanti tak setel alarm jam sepuluh biar bisa bukain pintu buat Mas Rendra."
"Udah nggak papa Mba tidur aja. Nggak usah mikirin Abang."
"Tenane lho (beneran)?"
Ia tertawa sambil mengangguk. Membuat Mba Suko buru-buru beranjak menuju kamarnya sendiri. Sepertinya sudah ngantuk berat setelah seharian mengerjakan pekerjaan rumah tangga menggantikan tugas Yu Jam yang memang libur tiap weekend.
Sepeninggal Mba Suko ia mengambil flashdisk berisi foto-foto acara 7 bulanannya seminggu lalu, yang sudah dikirim ke rumah sejak beberapa hari kemarin, namun belum sempat dilihatnya.
"Mba silahkan pilih mana saja yang mau dicetak, nanti kirim ke saya," begitu kata Fata, anak EO ManjoMaju.
Ia pun mulai mengambil remote untuk melihat-lihat foto melalui layar televisi. Sesaat kemudian ia sudah tersenyum-senyum sendiri melihat foto-foto yang menggambarkan kehangatan, keseruan, sekaligus kelucuan acara kemarin.
Setelah menandai foto-foto favorit yang akan dicetak, termasuk beberapa foto Adit yang kemarin memang sengaja datang karena sedang libur semester, ia pun mematikan televisi.
***
Jam 21.00
Ia yang belum merasa mengantuk akhirnya memilih kembali menyalakan layar televisi, untuk melihat-lihat foto tujuh bulanannya lagi. Rasa perut yang melilit membuatnya beranjak kearah kulkas untuk mengambil cemilan.
Ia tersenyum memandang tumpukan box makanan yang sengaja Rendra siapkan untuknya. Ada pempek, siomay, baso tahu, pangsit, panada, risoles. Kemudian ada juga cake in jar dalam berbagai rasa dan warna, puding triplechoc, brownies, tak ketinggalan favorit mereka berdua, dessert box rasa Belgian Chocolate. Hmm, sudah persis kayak orang mau jualan aja ini sih.
Ia mengambil box berisi pempek dan Belgian Chocolate. Perpaduan yang sempurna sembari bermalam panjang menunggu Rendra yang sedang terbang dari Jakarta menuju Jogja.
***
Jam 22.15
Kalau penerbangan lancar, berarti Rendra sudah mendarat jam segini. Mungkin satu jam lagi sampai ke rumah. Ia pun mulai menguap sambil melihat mangkok kosong bekas pempek yang sudah licin tandas dan kotak kosong bekas Belgian Chocolate.
Namun meski mengantuk ia tak dapat memejamkan mata, perutnya masih melilit. Sedikit terasa sebah seperti orang susah buang air besar.
Ia memutuskan untuk mengambil satu cup puding triplechoc dan memakannya. "Kalian masih lapar aja sayang?" ujarnya sambil mengelus perut.
***
Jam 23.20
Ia terbangun karena sebuah ciuman lembut di pipi. Hmm, aroma mint yang sangat familiar.
"Abang udah pulang?" matanya mencoba mengerjap dan langsung bertatapan dengan manik cokelat yang menyenangkan itu. Terlihat rambut Rendra basah dan sudah memakai kaos hitam legend, kaos saat bonding cluster. Yang meski sudah belel luar biasa, namun masih tetap menjadi kaos favorit Rendra.
"Wah, nyampai rumah jam berapa udah mandi begini?" ia mengernyit sambil mengusap pipi Rendra.
Namun Rendra justru balik bertanya, "Kenapa tidur di sofa?" sambil tersenyum membelai rambutnya.
"Tadi ketiduran lagi lihat-lihat foto," tunjuknya kearah layar televisi yang kini telah mati.
Dengan gerakan yang sangat halus Rendra merengkuh dan mengangkat tubuhnya lalu berjalan menuju kamar tidur.
Ia tersenyum sambil kedua tangannya memeluk leher Rendra. "Urusan beres?"
Rendra mengangguk. Ia pun merebahkan diri ke leher Rendra. "Aku udah berat banget, masih kuat gendong?"
"Kapan lagi gendong istri lagi hamil."
***
Minggu, Jam 01.05
Ia mendadak terbangun karena rasa kram menyerang perut. Sakit sekali seperti orang diare karena salah makan. Membuat perutnya keras dan menegang seperti batu. Namun lambat laun mulai menghilang, masih bisa menahan rasa sakit. Ia pun kembali tertidur.
***
Jam 02.15
Rasa kram perut yang sangat kembali membuatnya terbangun. Kali ini menjalar hingga punggungnya terasa begitu panas dan nyeri. Sampai harus tertatih ke kamar mandi, dan benar ia mendadak diare. Apa karena tadi makan pempek yang bercuko lumayan pedas?
***
Jam 02.55
Lagi-lagi ia terbangun karena rasa kram perut yang amat sangat. Namun kali ini ia tak lagi merasa ingin diare. Hanya perut terasa seperti dipelintir-pelintir sampai rasa panas dan nyeri lagi-lagi menjalar hingga punggung.
"Kenapa?" Rendra menyipitkan mata melihatnya beringsut dari tempat tidur.
"Sakit perut," ia meraih gelas diatas nakas kemudian meminumnya.
"Aku olesin minyak telon ya," Rendra bangkit untuk mencari minyak telon.
Dengan perlahan dan penuh kelembutan Rendra membalur perutnya dengan minyak telon. Saking nyamannya elusan Rendra di atas perutnya, ia pun kembali tertidur.
***
Jam 03.25
Jelang Subuh ia terbangun lagi.
"Masih sakit perut?" Rendra juga ikut terbangun.
Ia mengangguk sambil merasa heran, sungguh sakit perut yang aneh berhasil membuatnya terbangun dari tidur nyenyak berkali-kali. Seumur-umur sakit perut, belum pernah sampai membuatnya terbangun dari tidur nyenyak. Yang ada juga sakit perut hilang karena ia tertidur nyenyak. Namun ini justru kebalikannya.
"Kemarin habis makan apa?"
"Nggak makan aneh-aneh kok. Makanan yang ada di rumah aja."
"Sini, aku olesin minyak telon lagi.
Rendra mengolesi perutnya sampai beberapa menit sebelum waktu Subuh tiba. Dan ia semakin terkejut ketika hendak menyusul Rendra untuk mengambil wudhu, mendadak sebuah tenaga yang begitu kuat menekan daerah sekitar panggul hingga ia merasa takkan sanggup bergerak meski hanya untuk berjalan ke kamar mandi.
"Kamu kenapa?" Rendra yang baru keluar dari kamar mandi heran melihat wajahnya merah padam menahan sakit.
"Aku kok jadi susah bangun ya Bang?" sambil mengelus perutnya yang kembali terasa melilit.
"Sini aku bantuin," Rendra menggendongnya ke kamar mandi untuk gosok gigi dan mengambil wudhu. Untungnya ia masih bisa sholat sambil berdiri. Usai sholat ia kembali meringkuk di atas tempat tidur.
"Masih sakit?" Rendra mengelus pipinya lembut. Ia hanya mengangguk pelan.
"Ya udah nanti agak siangan kita ke dokter jaga. Khawatir sakit perut kamu ngefek ke bayi."
"Nggak usah, ini dibawa tidur semoga sembuh. Kayaknya perpaduan cuko dan cokelat bikin perutku nggak enak."
"Ya kita lihat nanti. Kalau masih sakit perut mesti ke dokter."
"Emang Abang nggak kemana-mana hari ini?"
Rendra menggeleng, "Mau berdua aja sama istriku yang cantik ini."
Dan elusan menenangkan Rendra di daerah sekeliling perut berhasil membuatnya kembali terlelap.
***
Jam 07.10
Matanya mengerjap karena sengatan menyilaukan cahaya matahari yang menembus di sela-sela jendela kaca yang tak tertutup korden. Terlihat Rendra sedang duduk di atas sofa dengan kening mengkerut di depan laptop.
"Eh, udah bangun?" sapa Rendra melihatnya berjalan menghampiri ke sofa.
"Ya ampun, aku kebo banget tidurnya jam segini baru bangun," ia geleng-geleng kepala heran. Biasanya ia tak pernah bisa tidur setelah Subuh. Ada saja hal yang dilakukannya. Namun kali ini berbeda.
Rendra terkekeh, "Perut udah enakan?"
Ia mengangguk sambil mengelus perutnya yang besar, seolah hanya tinggal menyisakan selembar kulit tipis akibat peregangan puluhan kali lipat untuk tempat bersemayam dua bayinya.
Rasa kram perut juga sudah sedikit menghilang, namun tekanan kuat di daerah panggul masih terasa. "Abang nggak kemana-mana tapi manyun di depan lepi," cibirnya.
Rendra kembali terkekeh, "Enggak. Ini ngecek email sebentar."
Ia kembali mencibir sambil mendudukkan diri di samping Rendra.
"Bentar lagi selesai," Rendra mengetik cepat di atas keyboard. "Habis ini sarapan ya. Mba Suko lagi bikin bubur ayam."
Tak sampai lima menit kemudian Rendra benar-benar mematikan laptop dan menyimpannya. Kemudian beranjak keluar dari kamar, lalu kembali sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam yang menguapkan aroma harum dan segelas teh manis hangat.
"Aku suapin ya," Rendra bersiap untuk menyuapinya.
"Aku bisa makan sendiri," tolaknya halus berusaha meraih sendok dari tangan Rendra.
Namun Rendra menggerakkan tangannya untuk menghindar, "Aku suapin aja lah. Kapan lagi bisa nyuapin istri yang hamil besar."
Ia mencibir. Namun menurut untuk membuka mulut saat Rendra mulai menyuapkan sesendok bubur.
Usai makan bubur beberapa suap ia justru merasa kram kembali menghampiri, kali ini terasa semakin sakit hingga punggungnya lagi-lagi terasa nyeri yang sangat. "Kok malah jadi sakit perut lagi ya Bang?"
Rendra mengernyit heran, "Ya udah, kamu rebahan lagi. Nanti jam sepuluhan kita pergi ke dokter jaga," ujar Rendra sambil melihat jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul 07.55.
Ia menurut dengan merebahkan diri di atas tempat tidur. Berharap rasa melilit akan segera hilang. Namun yang ada justru ia kembali terbangun dengan rasa sakit yang lebih hebat. Berkali-kali lipat dibanding rasa sakit yang sebelumnya.
Rendra menatap cemas, pasti karena wajahnya yang kini memucat menahan rasa sakit.
"Kayaknya kita mesti konsul ke dr. Mazaya, khawatir kamu kenapa-napa. Nggak biasanya sakit perut begini," ujar Rendra sambil menyeka keringat dingin yang mengalir di sepanjang pelipisnya.
"Nih sampai keluar keringat dingin begini. Sakit banget ya?" Rendra semakin cemas menatapnya.
Namun ia menggeleng, "Jangan dulu Bang. Ini hari Minggu, dr. Mazaya pasti lagi kumpul sama keluarganya."
"Terus kita nanya ke siapa buat ngatasin sakit perut kamu?"
Ia jelas tak punya ide. Sudah terlalu kerepotan dengan sakit yang kembali menjalar hingga punggungnya memanas. Sungguh rasa sakit perut yang aneh. Baru kali ini ia merasakan sakit yang sangat sampai-sampai keluar keringat dingin di sekujur tubuh.
Dan ia sama sekali tak menyangka siapa orang yang akhirnya ditelepon Rendra dengan suara cemas.
******
Rendra
Minggu, Jam 09.10
Ia tak punya pilihan lain, wajah pucat Anggi dan cucuran keringat dingin membuat otaknya bekerja cepat berusaha menyimpulkan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Halo, Mah, apakabar?" Ia memutuskan untuk menelepon ibu mertuanya. Berharap mendapat jawaban tentang penyebab sakit perutnya Anggi.
"Mah, Anggi dari semalam sakit perut. Bahaya nggak Mah? Ini sampai keluar keringat dingin."
Suara Mamah di seberang sana mendadak tercekat, "Sakitnya tiap berapa jam sekali?"
Ia mencoba mengingat, "Semalam hampir satu jam sekali kebangun."
"Ada cairan yang keluar nggak? Kayak buang air kecil tapi bukan. Merembes gitu?"
Ia menatap Anggi yang kini tengah tertidur di atas sofa.
"Kayaknya enggak Mah. Anggi cuma bilang sakit perut kayak diare."
"Terus diare beneran?"
Ia kembali menatap Anggi yang terlelap dengan wajah pucat.
"Kayaknya iya Mah," ia mencoba mengingat-ingat. "Tapi cuma sekali kalau nggak salah. Habis itu nggak ke kamar mandi lagi. Cuma sakit perutnya nambah nambah."
"Sekarang Angginya mana, coba Mamah mau ngomong."
"Anggi tidur Mah. Kayaknya kecapean nahan sakit."
Terdengar Mamah menghela napas, "Kapan terakhir periksa ke dokter?"
Ia mengernyit, "Sekitar seminggu lalu, sebelum acara tujuh bulanan."
"Apa kata dokter?"
"Sehat dan normal semua."
"Kalau perhitungan dokter udah minggu ke berapa?"
Ia harus mengecek ponsel untuk mengetahuinya, "Sebentar Mah, cek catatan dulu."
"Ya."
Ia kemudian melihat memo di dalam ponsel, tempat dimana ia menyimpan milestone kehamilan Anggi mulai dari minggu pertama diketahui hamil sampai saat ini. Lengkap dengan foto perubahan besar perut Anggi tiap bulannya dan hasil USG.
"Terakhir periksa minggu ke 31 Mah."
"Berarti ini minggu ke 32 ya?" Mamah balik bertanya. Ia pun mengangguk-angguk.
"Ren," suara Mamah terdengar sedikit bergetar. "Kamu harus tenang. Nanti kalau Anggi udah bangun, tolong periksa, apa keluar len dir atau darah dari jalan lahir. Kalau iya, kalian harus cepat ke rumah sakit. Itu tanda-tanda mau melahirkan."
WHAT?!?
"Tapi ini kan belum waktunya Mah?! Dokter bilang kelahiran normal diatas usia 36 minggu?!?" mendadak ia merasa dinding kamar menghimpit tubuhnya dengan begitu keras. Tak mungkin. Anggi tak mungkin melahirkan sekarang. Belum waktunya.
"Ren, kamu harus tenang," Mamah dengan suara yang makin bergetar mencoba mengingatkannya. "Jangan mikir macam-macam. Tolong nanti kamu bantu cek seperti kata Mamah tadi. Kalau ada, jangan tunggu harus langsung ke rumah sakit."
Dengan perasaan gelisah ia duduk menatap wajah Anggi yang masih terlelap, wajah mungil itu nampak terlihat begitu pucat. My God, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa yang akan terjadi kemudian? Apa yang bisa ia lakukan untuk menolong Anggi? Apa yang....
"Ssshh.....," suara mendesis menahan sakit membuyarkan lamunannya.
"Sakit lagi?"
Anggi mengangguk pelan.
Ia harus menelan ludah sebelum berkata, "Aku boleh lihat ya."
"Lihat apa?"
Ia menunjuk milik Anggi. "Barusan aku nelpon Mamah, kata Mamah suruh ngecek ada keluar lendir campur darah nggak?"
Anggi mengernyit heran, "Kenapa?"
"Just check it out."
Anggi beringsut bangun, "Aku cek sendiri."
Ia menunggu dengan gelisah di depan pintu kamar mandi. Rasa takut, khawatir, bingung, dan sederet perasaan aneh lain berkecamuk memenuhi dirinya.
"Gimana?!" tanyanya takut begitu Anggi membuka pintu kamar mandi.
Dan anggukan lemah kepala Anggi membuat dunianya mendadak runtuh. Dengan secepat kilat ia menyambar dompet dan kunci mobil.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" raungnya sambil merengkuh tubuh Anggi ke dalam lengannya.
"Aku ganti baju dulu."
"Nggak usah," ia menggeleng cepat. "Mba Suko, kami ke rumah sakit dulu," pamitnya kearah Mba Suko yang bingung melihatnya membopong Anggi sambil setengah berlari.
"You okay?" ia menyetel tempat duduk Anggi sedemikian rupa agar terasa nyaman. Anggi hanya mengangguk sambil memegangi perutnya.
"Sakit lagi?"
Anggi kembali mengangguk. Membuatnya segera tancap gas menuju rumah sakit. Menerjang lalu lintas hari minggu siang yang padat merayap.
"Halo, dr. Mazaya? Ini Rendra," ia menelepon dengan suara bergetar.
"Istri saya sakit perut sejak semalam."
"Iya."
"Enggak."
"Ada. Ada. Barusan di cek ada len dir campur darah."
"Iya Dok."
"Ini kami sedang otw rumah sakit."
"Dokter dimana?!"
"Oh, baik-baik."
"Siap!"
Ia menutup telepon sambil menghela napas kesal karena dr. Mazaya tengah menghadiri sebuah acara keluarga di Solo.
"Begitu selesai saya langsung ke Jogja. Nanti dokter jaga akan berkomunikasi dengan saya. Jangan khawatir."
Begitu kata dr. Mazaya. Semoga benar adanya. Diliriknya Anggi yang masih saja meringis kesakitan sambil mengelus perut besarnya. Bertahanlah sayang.
******
Minggu, Jam 12.30
Semua berjalan dengan begitu cepat. Rendra yang berteriak-teriak panik sambil membopong tubuhnya memasuki lobby rumah sakit. Membuat dua orang sekuriti dengan cekatan berusaha membantu dengan menyiapkan kursi roda.
"Abang, nggak papa, aku masih bisa duduk," ia mengelus tangan Rendra yang bersikeras tetap membopong tubuhnya hingga ke lantai tiga dimana ruang bersalin berada.
Dengan perasaan berkecamuk yang tak terdefinisikan Rendra mulai mendorong kursi roda yang dinaikinya menuju lift. Kemudian keluar di lantai tiga. Dimana mereka langsung disambut oleh petugas berpakaian hijau yang dengan cekatan membantunya merebahkan diri di atas hospital bed.
"Kita cek dulu ya Mba," ujar salah satu petugas berpakaian hijau ramah. "Selama menunggu dokter Mazaya, Mba akan ditemani kami. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja."
Petugas berpakaian hijau mulai mengecek suhu tubuh, tekanan darah, dan mengukur tinggi fundus. Selama pengecekan berlangsung Rendra terus mengelus kepalanya lembut dengan tangan gemetar.
"Sekarang kita USG dulu ya dengan dokter Wafa," ujar perawat disusul masuknya seorang berjas putih ke dalam tirai, kemudian perawat mulai mengoleskan gel dingin ke atas perutnya.
"Ibu gimana perasaannya?"
"Baik Dok."
"Jangan tegang ya, nanti kontraksinya semakin sering."
"Kontraksi?" ia mengernyit heran. "Bukannya kontraksi dialami sebelum melahirkan Dok? Kandungan saya kan baru 32 minggu."
"Iya betul....sakit perut yang ibu rasakan namanya kontraksi."
Ia mendadak dicekam ketakutan dan kekhawatiran.
"Habis jatuh?" tanya dokter Wafa lagi.
"Jatuh sudah hampir dua minggu lalu Dok," Rendra yang menjawab.
"Baik....coba kita lihat....wah, kembar ya...."
"Disini ketuban baik....bagus...."
"Plasenta bagus....."
"Waktu pemeriksaan terakhir apa bayi sudah terlilit tali pusar?"
"Iya Dok," lagi-lagi Rendra yang menjawab. "Minggu ke 30 satu bayi terlilit tali pusar."
"Sepertinya bayi-bayi ibu begitu aktif bergerak," ujar dokter Wafa sambil menunjuk layar yang menampilkan hasil USG. "Karena sekarang dua-duanya terlilit tali pusar."
"Dua-duanya Dok?!" suara Rendra terdengar bergetar.
"Satu bayi satu lilitan, bayi yang lain.....tiga lilitan di leher dan perut. 360 derajat."
"Itu gimana...nggak papa Dok?" suara Rendra terdengar semakin bergetar.
"Masih 32 minggu ya," dokter Wafa mengetikkan sesuatu. "Berat bayi belum ada yang mencapai 2 kilo."
"Masih kurang bulan."
"Semoga masih bisa dipertahankan."
"M-maksudnya Dok??" Rendra bertanya cepat.
"Sementara kami beri obat untuk mengurangi dan menghentikan kontraksi guna mencegah kelahiran prematur."
"Nanti kita tunggu hasilnya, semoga bisa dipertahankan sampai cukup bulan."
Perawat kemudian mulai memasang jarum infus, kateter, dan memakaikan sejenis sabuk yang terhubung dengan alat CTG (Electrocardiograph).
"Ini untuk memantau denyut jantung bayi, juga mengukur frekuensi, durasi dan kekuatan kontraksi yang terjadi," jawab perawat ketika Rendra bertanya manfaat alat tersebut.
Ia pun mulai terlelap ketika Rendra masih bertanya banyak hal kepada perawat.
***
Jam 13.30
Sebuah suara membangunkannya, "Saya kasih obat lagi ya."
"Ini untuk apalagi Sus?" terdengar suara Rendra dari arah samping kepalanya.
"Karena jalan lahir terus membuka, dokter Mazaya merekomendasikan memberi obat untuk membantu mematangkan organ paru-paru pada bayi. Untuk antisipasi. Tapi masih berharap obat pengurang kontraksi bisa bekerja maksimal."
"Ada berapa obat Sus?" Rendra seolah ingin mengetahui semua yang dilakukan perawat padanya.
"Kalau yang ini untuk mengurangi resiko kerusakan otak pada bayi. Juga infeksi."
"Everything's gonna be alright," baik Rendra di telinganya begitu mengetahui ia telah terbangun.
"Mba kalau udah bangun, silahkan makan siang dulu, biar ada tenaga," ujar perawat usai memasukkan obat ke selang infus.
"Makan ya?" Rendra berbisik. Namun ia menggeleng, "Nggak lapar. Haus...."
Rendra membantu menegakkan bagian punggung tempat tidurnya dengan remote, kemudian menyodorkan segelas air putih dengan sedotan.
"Makan ya," Rendra kembali membujuknya sambil memperlihatkan menu makan siang di atas meja berupa nasi putih, cah brokoli, chicken katsu, fish and chips, sup krim jagung, dan puding cokelat saus vla.
"Aku nggak tahu kamu pingin apa, jadi tadi aku pilihan yang itu," ujar Rendra mencoba tersenyum.
"Atau kamu mau ganti menu juga bisa, nanti aku panggil perawat."
Namun ia menggeleng, pemandangan fish and chips ternyata lumayan menggoda. "Mau nyoba," ujarnya sambil menunjuk fish and chips.
Rendra tersenyum senang, "Aku panggil perawat buat hangatin dulu."
"Nggak usah," cegahnya. "Langsung makan aja. Dingin nggak papa."
Rendra mengangguk tanda mengerti. Kemudian mulai menyuapkan fish and chips ke mulutnya. Setelah tiga suapan ia mendadak ingin bertanya sesuatu kepada Rendra.
"Menurut Abang, aku melahirkan hari ini?"
Rendra menggeleng, "Dokter masih berharap obat pengurang kontraksi bekerja."
"Aku takut," matanya mendadak memanas. Tak berani membayangkan apa yang akan terjadi.
Rendra mengelus kepalanya lembut tanpa mengatakan sepatah katapun.
***
Jam 16.00
Dr. Mazaya datang menemuinya yang kini tengah bergelung kesakitan karena kontraksi, "Sepertinya si kembar kita udah nggak sabar nih mau melihat dunia luar."
"Obatnya nggak bereaksi Dok?" suara Rendra seperti bukan Rendra, ada nada ketakutan yang jelas terdengar.
"Bukaannya terus bertambah. Ini tadi udah bukaan lima."
"Jadi gimana Dok?"
Suara Rendra dan dr. Mazaya mendadak menjauh. Digantikan oleh suara seorang perawat yang mendekatinya, "Kontraksi lagi ya Mba?"
Ia yang sedang tertidur dalam posisi miring ke kiri hanya bisa mengangguk sambil menggigit bibir menahan rasa sakit yang mengelilingi perut hingga menimbulkan rasa nyeri dan panas di punggungnya.
"Untuk sedikit mengurangi rasa sakit, Mba bisa praktekkan metode pernafasan saat senam hamil atau yoga hamil. Masih ingat kan?" ujar perawat itu lagi.
Ia bahkan tak bisa mengingat apapun selain suara penuh ketakutan milik Rendra.
"Ambil napas dalam-dalam melalui hidung," perawat itu rupanya tanggap dan mulai memberi instruksi. "Tahan sebentar, lalu hembuskan melalui bibir seperti sedang bersiul. Fffuuuuu......"
Ia pun mulai mengikuti arahan dari perawat. Setelah beberapa kali tarikan napas, ia mulai merasakan manfaat langsung, yaitu tak terlalu kesakitan saat kontraksi datang melanda.
"Bagus," perawat itu tersenyum sambil mengacungkan jempol. "Terus lakukan ya Mba....Fffuuuuu....."
***
Jam 16.45
Rendra yang sejak tadi entah pergi kemana mendadak muncul dan duduk di sisi kirinya.
"Masih sakit?" tanya Rendra sambil mengusap kepalanya lembut.
Ia hanya mengangguk sambil mempraktekkan metode pernapasan yang tadi diajarkan oleh perawat karena kontraksi kembali muncul.
"I love you," bisik Rendra tepat di telinganya, kemudian mencium pipinya lembut.
"Aku udah sign buat Sectio," bisik Rendra masih dengan bibir menempel di pipinya. "Be brave...."
***
Rendra
Jam 17.00
Ia hanya bisa memandangi Anggi yang kini tengah dipersiapkan oleh perawat untuk pindah dari ruang bersalin ke ruang operasi. Sementara di dalam kepalanya masih terngiang pembicaraan paling menakutkan hampir satu jam yang lalu.
"Obatnya nggak bereaksi seperti yang kita harapkan, bukaan jalan lahir terus bertambah," dr. Mazaya memberikan informasi yang sejak tadi ditakutkannya.
"Hb Anggi juga rendah."
"Satu-satunya hal yang saya syukuri adalah air ketuban masih bagus dan utuh, belum pecah."
"Jadi sebaiknya harus bagaimana Dok?" seandainya boleh memilih, ia lebih suka dihadapkan dengan chaosnya suatu kepanitiaan atau organisasi daripada harus menghadapi hal seperti ini.
"Karena ini bayi kembar, dua-duanya terlilit tali pusar, salah satunya terdeteksi lemah detak jantungnya, prematur, BBLR...," dr. Mazaya menghela napas. "Satu-satunya jalan Sectio."
"Kalau terpaksa harus dilahirkan, apakah paru-paru dan organ lain sudah matang Dok? Sudah siap untuk hidup di luar perut ibunya?!"
"Tadi sudah kita beri obat untuk pematangan paru-paru dan organ lain.....kita sangat berharap itu semua berkerja dengan baik."
"Abang boleh nemenin aku nggak?" sebuah suara lemah membuyarkan lamunannya.
Ia menganggukkan kepala, "Boleh. Tadi udah ijin ke dokter Mazaya. Abang boleh masuk ke ruang operasi."
Dengan cekatan para perawat mendorong hospital bed Anggi menuju ruang operasi yang sama-sama terletak di lantai tiga.
Ia yang merasa tegang setengah mati sedikit terkejut mendapati suasana ruang operasi yang begitu hangat oleh suara instrumen Serenade no.13 for strings in G major dari Mozart yang membuatnya merasa sedang berada di tengah sebuah pesta dansa khas bangsawan Eropa. Lengkap dengan suara mendengung para tamu undangan, yang di ruang operasi ini berasal dari suara obrolan beberapa dokter dan perawat.
Tadi saat ia menandatangani surat pernyataan kesediaan dilakukan tindakan operasi, dr. Mazaya memperkenalkannya dengan beberapa dokter spesialis yang akan menangani Anggi. Antara lain dr. Dirgham, spesialis anestesi. Juga dr. Anton, spesialis bedah. Kemudian dr. Barata sebagai dokter spesialis anak sekaligus konsultan NICU.
"Mba Anggi apakabarnya? Perkenalkan saya Dirgham," dokter spesialis anestesi mulai melakukan tugasnya dengan membuat Anggi sibuk mengobrol, sementara tangannya cekatan menyuntikkan obat bius lokal ke daerah sekitar sumsum tulang belakang Anggi. Ia yang berdiri di sisi sebelah kanan pun mulai mengelus kepala Anggi berusaha memberi kekuatan.
"Suka musiknya nggak?"
Anggi yang terlihat sangat tegang hanya bisa meringis.
"Bisa request lagu lho biar lebih semangat. Iya kan Dok?" dokter Dirgham menengok kearah dokter Mazaya yang tengah mempersiapkan diri.
"Atau Mas suami boleh yang milihin, pasti tahu kan lagu favorit istri."
"Mbok sekalian dibikin playlist ae selama satu jam, sisan ngono (sekalian gitu)," ujar dokter Anton yang juga sedang bersiap.
"Mau lagu apa?" bisiknya ke telinga Anggi yang hanya menggeleng pelan. Ia pun memilihkan beberapa lagu yang sempat menjadi kenangan perjalanan cinta mereka berdua.
Can't take my eyes off of you, I'll be, Till death do us part, Can't help falling in love, menjadi deretan lagu yang menjadi pilihan pertama, dan saat ia masih memilih lagu-lagu berbahasa Indonesia, Anggi berbisik pelan, "Love me tender...."
Dokter Dirgham terus saja mengajak mereka berdua ngobrol, "Wah, ini pasti lagu kenangan semua nih," seloroh dokter Dirgham begitu suara Mike Tramp melantunkan Till death do us part mengalun memenuhi udara di seluruh penjuru ruang operasi.
Ia hanya tertawa sambil mengelap keringat yang mengalir deras di kening Anggi. Kemudian mengusap-usap kepala Anggi agar tak terlalu tegang. Sekaligus menggenggam tangan Anggi seerat mungkin, berusaha mengalirkan kekuatan dan keberanian, meski ia sendiri merasa hampir meledak karena dicekam oleh ketakutan yang sangat.
'Love me tender, love me sweet
Never let me go
You have made my life complete
And I love you so
Love me tender, love me true
All my dreams fulfill
For my darling', I love you
And I always will'
(Elvis Presley, Love Me Tender)
Bersamaan dengan alunan Love me tender yang mendayu, terdengarlah lengkingan suara tangis bayi yang pecah memenuhi udara seantero ruangan, membuat matanya mendadak panas dan dipenuhi kaca.
"Ini dia bayi-bayi jagoan kita," suara dokter Mazaya terdengar sangat lega, dengan dibantu oleh dokter Barata mencoba mendekatkan dua bayi mungil berwarna merah yang hampir sekujur tubuhnya diselimuti oleh lapisan putih yang cukup tebal ke pipi Anggi.
******
Keterangan (dari berbagai sumber ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan) :
Fundus. : jarak antara titik simfisis pubis dan fundus uteri. Biasanya dilakukan untuk mengecek usia kehamilan.
BBLR. : berat bayi lahir rendah
Sectio. : operasi caesar pada persalinan
NICU. : neonatal intensive care unit, adalah ruang perawatan intensif di rumah sakit yang disediakan khusus untuk bayi baru lahir yang mengalami gangguan kesehatan
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu