sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JM 4
Dengan tangan gemetar, Melati memasukkan kunci ke lubang kontak sepeda motor. Ia memutarnya ke posisi ON, seketika lampu indikator di speedometer menyala. Jantungnya ikut berdegup kencang.
Dengan kaki kirinya, ia menurunkan standar samping agar motor bisa siap dijalankan. Tangannya lalu menekan rem kiri, kemudian ibu jarinya menekan tombol starter elektrik. Mesin motor matic itu langsung meraung pelan, tanda sudah hidup.
Perlahan sepeda motor itu keluar dari komplek. Angin pagi menerpa wajah Melati, motor melaju dengan kecepatan sedang. Mata Melati fokus ke jalan, tetapi pikirannya masih terikat pada kejadian di rumah.
“Ya Allah, maafkan Melati, Melati belum bisa menjadi orang sabar,” gumamnya lirih. Rasa bersalah menekan pikirannya. Baru kali ini ia meninggikan suara di hadapan ibu mertuanya.
Sebuah dilema berkecamuk antara rasa bersalah dan rasa kesal. “Mengapa orang miskin dan tak sekolah selalu dihina? Kenapa hanya statusku saja yang selalu dilihat? Kenapa pekerjaanku dari dini hari sampai pagi, mengurus semua keperluan mereka, tidak pernah dihargai? Apakah pantas aku dihina hanya karena aku tidak sekolah? Tapi… apakah pantas aku marah pada ibu, meninggikan suara pada ibu mertuaku?”
Perlahan air mata turun di pipi Melati. Untung saja ia memakai helm, sehingga air matanya tidak terlihat oleh orang-orang.
Sesampainya di pasar, Melati memelankan gas, lalu menepikan motor ke area parkir. Ia menurunkan standar tengah dengan hati-hati, memastikan motor berdiri kokoh, kemudian mencabut kunci kontak. Setelah itu, ia merapikan posisi helm dan menutup jaketnya agar tampak rapi.
Melati melangkah masuk ke area mesin ATM. Udara dari mesin pendingin di bilik kecil itu membuatnya sedikit lega. Ia mengeluarkan kartu ATM dari dompet, memasukkannya ke mesin, lalu jemarinya yang agak gemetar menekan angka PIN.
Beberapa detik kemudian, layar menampilkan jumlah saldo. Tertera angka Rp10.000.000.
“Berarti aku sudah dibayar oleh media online,” gumam Melati.
Tanpa banyak yang tahu, sebenarnya Melati adalah seorang wartawan freelance. Ia biasa mengisi kolom opini—politik, ekonomi, atau pokoknya apa saja yang sedang viral—selalu ia beri tanggapan dengan nama pena MLT. Walaupun bayaran per artikelnya hanya Rp100.000, Melati menerimanya dengan ikhlas. Ia tidak ingin nama aslinya dipublikasikan.
Tulisan-tulisan Melati cukup banyak pembacanya. Gaya bahasanya lugas, mudah dimengerti, bahkan terasa seperti sedang mengobrol langsung dengan penulisnya. Sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kaidah PEUBI, tetapi karena tulisan-tulisannya selalu diminati pembaca, pihak redaktur kerap meloloskannya begitu saja.
Kegiatan itu sudah ia lakukan selama dua tahun. Pada awalnya, penghasilannya hanya sekitar Rp300.000 per bulan. Namun, lama-kelamaan jumlah itu meningkat hingga Rp4.000.000 per bulan. Uang itu sengaja ia sembunyikan, karena Melati memiliki cita-cita membeli rumah sendiri, rumah yang kelak akan ia tempati bersama Arga, suaminya.
Mengharapkan uang dari Arga terasa mustahil. Arga tidak memiliki tabungan, bahkan tidak pernah punya niat untuk menabung. Pendapatannya habis begitu saja: Rp4.000.000 untuk membiayai kebutuhan rumah dengan enam orang penghuni, ditambah Rp4.000.000 lagi untuk ibunya, serta Rp2.000.000 untuk ongkos kerjanya sehari-hari.
Beberapa kali Melati pernah mengusulkan untuk mulai mencicil rumah. Namun karena ia hanya lulusan SMP, seolah-olah ia tidak berhak memberikan pendapat.
Melati melangkah menuju pasar yang sudah ramai sejak pagi. Suara pedagang bersahut-sahutan menawarkan dagangan, bau bumbu dapur bercampur dengan aroma sayuran segar, daging, dan gorengan yang digoreng di pinggir jalan.
Melati langsung menuju kios sembako. Ia melewati deretan kios penjual baju. Matanya sempat tertumbuk pada sebuah daster yang coraknya indah. Hatinya sedikit tergoda, namun ia segera mengurungkan niat. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena ia harus tetap fokus pada cita-citanya.
“Masih sembilan puluh juta harus aku kumpulkan,” batinnya sambil menghembuskan napas berat. Ia menunda keinginan yang dianggap sepele. Selain demi berhemat, ia tahu betul, pasti akan heboh seisi rumah jika dirinya tiba-tiba memiliki baju baru. Cap menantu boros akan semakin lekat padanya.
Sampai di kios sembako, Melati memilih beras.
“Ko, beras lima liter,” katanya sambil menunjuk karung beras pilihannya. Harganya memang sedikit lebih mahal, tetapi Melati ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga mertuanya. Walau sering tidak dihargai, ia masih berharap suatu saat mereka bisa berubah.
Setelah itu ia beralih ke telur. Ya, begitulah kebiasaan perempuan: membeli setengah kilo telur pun tetap dipilih satu per satu, meskipun bentuknya tak jauh berbeda. Melati dengan telaten memilih telur yang kecil-kecil agar jumlahnya bisa lebih banyak.
“Kenapa nggak beli sekali banyak, gitu, Mel?” tanya Cik Melan, pemilik kios.
“Kalau sekali banyak, saya jarang ketemu Cik, dong,” jawab Melati sambil tersenyum.
Padahal, alasan sebenarnya berbeda. Ia memang pernah membeli sekaligus banyak, tetapi baru dua minggu sudah habis—banyak diambil oleh Mba Tika. Dan seperti biasa, Melati yang akhirnya disalahkan, hanya karena dirinya bukan sarjana.
Setelah membeli bumbu, Melati mengakhiri belanjanya. Ia berjalan menuju tempat parkir, lalu mulai menyusun barang-barangnya di atas motor. Belanjaan itu cukup banyak dan berat. Sebenarnya ia bisa saja menggunakan jasa kuli angkut, tetapi demi berhemat, Melati memilih mengangkatnya sendiri.
Dengan hati-hati ia menaiki sepeda motor, memastikan kantong-kantong belanjaan aman di gantungan depan dan di bawah jok. Setelah semuanya rapi, ia pun keluar dari area pasar.
Tujuannya berikutnya adalah kedai minuman boba yang sedang viral. Dari kejauhan terlihat antrean yang cukup panjang. Namun, karena pelayanan para pegawainya sigap, antrean cepat bergerak. Tidak sampai sepuluh menit, sebotol minuman itu sudah berada di tangan Melati.
“Semoga ibu mertuaku melunak dengan minuman ini,” gumam Melati dalam hati, sambil kembali menuju motornya.
Melati melajukan motornya dengan perlahan karena barang bawaan yang cukup banyak. Itulah salah satu pekerjaan ibu rumah tangga yang kerap kali diabaikan dan dianggap sepele, padahal banyak risiko yang bisa terjadi: risiko barang jatuh, risiko kecelakaan, namun sering kali tak dianggap penting. Sepertinya bukan hanya Melati saja, mungkin banyak juga ibu rumah tangga lain yang mengalami hal serupa.
Setibanya di tukang martabak telur, Melati segera memesan. Untungnya antrean tidak terlalu panjang, sehingga ia dengan cepat mendapatkan martabak telur yang diinginkannya. Ia menyerahkan uang Rp35.000 kepada penjual, lalu menerima bungkus martabak yang masih panas dan harum.
Dengan hati-hati, Melati kembali melangkah menuju sepeda motornya. Ia menyusun ulang belanjaannya agar lebih rapi, memastikan martabak dan minuman boba tidak terhimpit barang-barang lain. Hari sudah mulai siang, matahari terasa semakin menyengat. Peluh membasahi keningnya, dan ia pun menyeka keringat dengan ujung kerudungnya.
Penjual martabak hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dalam hati ia bergumam, “Benar-benar wanita tangguh,” sambil melihat betapa banyaknya barang yang dibawa Melati.
Melati melajukan motornya dengan perlahan dan hati-hati. Ia masuk ke area komplek perumahan polisi, tempat ia tinggal bersama ibu mertuanya.
Setibanya di depan rumah Ibu Narti, Melati melihat Ibu Mega, mertuanya, masuk ke rumah Ibu Narti. Ia segera menghentikan motor di depan gerbang rumah itu. Niatnya hanya satu: segera memberikan martabak telur dan minuman boba untuk Ibu Mega.
Tampak Sumi, menantu Ibu Narti, sedang menjemur pakaian di halaman.
“Mbak Sumi, bisa titip martabak dan minuman ini buat Ibu, nggak?” pinta Melati sopan.
Sumi tersenyum, sambil tetap merapikan jemuran.
“Aku lagi jemur baju. Langsung saja ke belakang. Sepertinya ibu mertuamu lagi curhat sama Ibu,” ucapnya. “Dan kalau kamu mau benar-benar ambil hatinya, lebih baik kamu kasih sendiri.”
“Enggak apa-apa, kalau aku langsung ke belakang?” tanya Melati, memastikan.
“Kayak sama siapa saja. Kamu kan sudah dianggap anak sama ibu mertuaku,” jawab Sumi santai.
Melati mengangguk pelan, lalu melangkah menuju bagian belakang rumah Ibu Narti. Sampai di teras belakang, ia sudah bersiap hendak menyerahkan martabak telur dan minuman itu. Namun, langkahnya terhenti seketika saat mendengar percakapan dari arah dapur.
“Kesel banget aku sama Melati. Dia itu boros sekali. Masak uang Arga sepuluh juta sudah habis, padahal gajian Arga masih lama,” suara Ibu Mega terdengar jelas.
Deg. Dada Melati serasa diremas-remas. Apa? Gaji sepuluh juta habis? Padahal kenyataannya, ia hanya diberi empat juta, itu pun untuk kebutuhan rumah sehari-hari.
Air matanya hampir jatuh. Ia tidak percaya, ibu mertuanya menjelek-jelekkan dirinya di hadapan orang lain.
.