Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.
Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.
Tapi malam itu, dia melawan.
Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.
Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
adaptasi lanjutan
Di lampu merah ia merasakan hal lain: jeda antara kuning dan merah, antara rem dan berhenti, terasa lebih panjang—bukan karena lampunya lambat, tapi karena kesadarannya lebih cepat. Waktu seperti elastis bila ia fokus. Ia memanfaatkan itu untuk membaca raut wajah pengendara lain: seseorang yang gusar karena telat, ibu-ibu yang menjaga jarak, anak muda yang tertawa di ponsel. Semua detail ini menenangkan cara lain: dunia tetap biasa, meski dirinya tidak lagi sepenuhnya biasa.
Kampus menyambut dengan bau aspal panas dan kantin yang menjeritkan menu harian. Jagat memarkir motor, berjalan melewati koridor. Ia menyapa seperlunya, menunduk ketika perlu, dan menyalakan senyum tipis yang tidak mengundang percakapan panjang. Di kelas, ia duduk di baris tengah. Dosen belum datang. Dua temannya melambaikan tangan—bukan Bima, kali ini Seno dan Tika, anak lab yang lebih suka bercanda soal bug daripada cinta.
“Gat,” kata Seno, “lo kok glow up? Skincare apa cheat code?”
“Skincare air wudu,” jawab Jagat.
Tika mendecak. “Halah, palingan filter batin.”
“Beneran,” kata Jagat. “Filter batin menghilangkan jerawat tagihan—eh, itu nggak bisa.”
Tawa kecil pecah di sekitar mereka. Hal-hal seperti ini—ringan, biasa—membuatnya lupa sejenak bahwa ada sesuatu yang menatap dari balik kegelapan.
Pintu kelas terbuka. Reno masuk bersama dua pengikutnya. Jaket mahal, jam tangan mencolok, langkah orang yang tahu ia sering diberi jalan. Mata mereka sempat bersirobok. Reno menahan senyum miring; tatapan itu bukan sekadar mengejek—ada rasa ingin mengukur.
“Jagat,” katanya sambil berlalu, “jangan duduk di situ kalau nanti presentasi. Kamera kampus nggak sanggup fokus sama laptop lo yang ngap-ngap-an.”
“Tenang,” sahut Seno cepat, “kamera kampus juga nggak sanggup fokus sama jam lo yang lebih mahal dari project dosen.”
Beberapa mahasiswa mendengus tawa. Reno menoleh tajam, tapi dosen keburu masuk. Selamat datang, selamat duduk, selamat memendam.
Pelajaran dimulai. Jagat merasakan sesuatu yang baru: ia menangkap struktur logika dosen lebih mudah, memetakan alur materi seperti melihat peta kota dari ketinggian. Nova tidak bicara banyak—hanya sesekali menandai kata kunci dengan highlight yang hanya bisa dilihat mata Jagat. Ia menulis lebih cepat, lebih rapi. Pena seperti tahu menuju kata berikutnya tanpa ragu.
Saat istirahat, ia turun ke kantin. Bima muncul dari belakang, menepuk bahu. “Bro! Gue cari-cari dari tadi. Lo ngilang.”
“Ngisi bahan bakar,” jawab Jagat, mengangkat gelas teh. “Gimana hidup?”
“Masih miskin waktu, kaya tugas. Eh, lo seriusan baik-baik aja? Wajah lo… beda.”
“Kamu orang ke seratus yang bilang itu hari ini.” Jagat meneguk teh. “Beda apanya?”
“Beda yang… tenang. Kayak abis berdamai sama sesuatu.”
Jagat menatap permukaan teh yang memantulkan lampu neon. “Mungkin aku lagi belajar berdamai.”
Bima mengangguk, tidak memaksa. “Kalau butuh sesuatu, kabarin. Gue nggak janji bisa jadi kaya raya mendadak, tapi minimal bisa jadi tembok hidup.”
Tembok hidup. Jagat nyaris tertawa memikirkan batu bata di halaman tadi. “Thanks, Bim.”
Di kejauhan, Reno berdiri dengan gengnya, membicarakan sesuatu sambil sesekali melirik. Nova berbisik: mereka bukan ancaman utama. Tapi jangan abaikan orang kecil yang gemar melapor.
“Catatan,” gumam Jagat tanpa suara.
Motor tua itu membawanya pulang sore hari. Matahari menurun, bayangan tiang listrik memanjang di aspal. Ia melewati warung kopi dekat gang. Lelaki berkacamata masih duduk di sana, kini ditemani pria berjaket hitam. Mereka tidak menatapnya, tapi punggung Jagat merasakan ketertarikan yang dipaksa untuk tidak terlihat.
Di rumah, sup Nadia sudah dingin. Ibunya tertidur. Jagat membersihkan meja, menyingkirkan piring, lalu kembali ke kamar. Pintu ditutup, gorden ditarik. “Nova,” katanya, “kalau kau bilang ada pintu, di mana kuncinya?”
Hologram biru menyala, lembut, seperti air yang dipantulkan ke langit-langit. Garis-garis membentuk peta, titik-titik menyala, dan satu titik—merah—berdenyut pelan di pinggiran kota. Nova tidak menambahkan dramatisasi; yang dramatis justru keheningan Jagat saat menatap.
Koordinat. Rumah tua peninggalan kakekmu. Akses keamanan—DNA ayah dan milikmu.
“Dan orang-orang yang mengawasi?”
Masih bosan. Tapi mulai telaten.
“Kalau begitu,” katanya, menutup mata sekejap, “kita belajar berjalan tanpa membuat jejak.”
Normal adalah penyamaran terbaik, ulang Nova—dan untuk pertama kalinya, Jagat merasa nasihat itu bukan sekadar kalimat, melainkan strategi hidup.
Malam merambat masuk ketika Jagat kembali dari kampus. Jalanan sudah sepi, hanya cahaya lampu jalan yang berkelip menyoroti bayangan dirinya di aspal. Sesampai rumah, ia tak langsung masuk. Ada dorongan aneh untuk kembali menguji tubuh barunya.
Halaman sempit di belakang rumah menjadi arena latihan. Ia berdiri, menarik napas panjang. Nova memproyeksikan hologram kecil di matanya: grafik otot, indikator stamina, sirkulasi darah.
“Ayo, Nova. Tunjukkan apa yang bisa kulakukan.”
Instruksi mengalir: ayunan pukulan, lompatan, gerakan berputar. Jagat mengikuti, dan setiap pukulan menggesek udara seperti cambuk. Ia memukul sebatang pohon pisang kecil. Suaranya “duk!”—batang itu terguncang, dedaunan berguguran.
“Kontrol energi lebih rendah,” perintah Nova. “Kau berlatih, bukan merusak.”
Jagat mengusap pelipisnya. “Aku bahkan belum 10% serius.”
“Itu sebabnya tubuhmu butuh adaptasi. Jika terlalu cepat, jaringanmu bisa rusak.”
Hologram berubah, kini menampilkan menu combat simulation. Jagat menatap, kagum. “Kau bisa buat program latihan di kepalaku?”
“Ya. Aku bisa menciptakan simulasi pertarungan sesuai data taktis. Kau akan merasa nyata, meski hanya bayangan saraf.”
Jagat mencoba. Seketika ruang di sekitarnya berubah—pemandangan halaman berganti dengan bayangan digital. Sosok musuh samar menyerangnya. Jagat bergerak refleks, menangkis, melompat, menghindar. Ia jatuh terengah, keringat membasahi kening. Padahal hanya beberapa menit, tubuhnya serasa berlari berjam-jam.
“Napas terkontrol. Adaptasi berjalan.”
Jagat duduk, menengadah ke langit. “Kalau begini… aku bisa berubah.”
Keesokan harinya, kampus kembali menyuguhkan rutinitas. Tapi hari ini berbeda. Saat jam istirahat, Reno si anak orang kaya mendekat bersama gengnya. Senyumnya miring.
“Jagat, aku dengar ibumu masih nunggak tagihan rumah sakit, ya? Sayang banget. Kalau aku jadi kamu, sudah lama malu kuliah.”
Beberapa mahasiswa tertawa kecil, sebagian lain menunduk, canggung. Jagat mengepalkan tangan. Nova berbisik: kontrol emosi. Jangan terjebak provokasi kecil.
Ia menarik napas, menatap lurus. “Urus saja hidupmu sendiri, Ren.”
Tatapan Reno meruncing. Tangannya hampir mendorong Jagat, tapi dosen keburu muncul. “Nanti kita lanjut,” bisiknya sebelum pergi.
Jagat menahan diri, tapi api di dadanya sudah menyala. Ia sadar—ini bukan sekadar ejekan. Ada sesuatu yang mendorong Reno untuk terus menekannya. Nova menambahkan: “Ada pola. Seseorang mungkin memintanya menguji reaksi emosimu.”
Sore itu, saat pulang, Jagat merasa diawasi. Bayangan seseorang di warung kopi masih ada. Dua pria kali ini. Satunya pura-pura membaca koran, satunya sibuk dengan ponsel. Nova mengunci wajah mereka, menandai dengan garis holografis.
“Siapa mereka?” tanya Jagat dalam hati.
“Identifikasi awal: bukan warga sekitar. Pola gerakannya militer terlatih, tapi cara menyamar terlalu kasar. Mereka pengamat.”
Jagat melanjutkan jalan seperti biasa, meski bulu kuduknya berdiri.
Malamnya, ia kembali duduk di meja kerja ayahnya. Nova memunculkan peta hologram merah. “Inilah koordinat laboratorium. Rumah tua peninggalan kakekmu. Lokasi ini sudah 17 tahun tak dihuni. Namun sistem keamanan masih aktif. Hanya bisa dibuka dengan DNA ayahmu dan dirimu.”
Jagat menatap titik merah itu. Jauh, tapi masih di pinggiran kota. “Jadi itu… pintunya?”
“Ya. Dan di dalamnya ada prototipe robo versi 1—warisan yang disiapkan.”
Jagat terdiam. Bayangan wajah ayahnya muncul. Keringat dingin menetes. “Aku akan pergi ke sana.”
“Besok malam. Saat pengawasan longgar. Aku akan membimbingmu.”
Jagat menggenggam meja erat-erat. “Aku tidak tahu siapa musuhku, tapi aku janji… mereka tidak akan merebut warisan ini dariku.”
Status RPG – Jagat (Akhir Bab 3)
Nama: Jagat
Umur: 17
Level: 2 → Adaptive Integration
Kekuatan Fisik: +25% (sementara)
Refleks: +32%
Stamina: Stabil
Skill Baru:
Combat Simulation Lv.1 (latihan taktis hologram saraf)
Enhanced Perception (reaksi cepat + penglihatan detail)
Quest Aktif: “Menuju Laboratorium Tua”
[NOVA LOG – Entry #0003]
> Integrasi tahap kedua selesai.
Pilot menunjukkan peningkatan signifikan, meski emosi masih rawan terpancing.
Pengintaian eksternal terkonfirmasi. Dua subjek dengan pola gerak tak sesuai lingkungan telah terdeteksi.
Risiko paparan identitas meningkat.
Prioritas selanjutnya: mengamankan akses ke laboratorium rahasia.
Catatan: Jagat mulai menerima peran barunya, tapi bayangan kehilangan ayah masih membayangi. Hati-hati—emosi bisa jadi celah musuh.