“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS30
Malam telah berganti pagi, beberapa pelayan tampak sibuk membawa baki perak dan bejana air mawar, sebagian ada yang menyapu, sebagian lagi sibuk membersihkan dinding-dinding dari debu.
Esma baru saja keluar dari kamar Bey Murad, ia berjalan melintasi lorong istana, melewati beberapa pelayan sambil menyapa ramah. Wajahnya terlihat tenang — namun matanya jelas menunjukkan rasa kalut yang bergelut.
Semua itu bukan tanpa sebab. Yasmin melahirkan seorang putra? Tentu itu sudah cukup menjadi alasan utama. Namun, yang membuat ia semakin meradang adalah, Yasmin ditangguhkan masa hukumannya. Perempuan kejam itu akan kembali ke istana, dan memperoleh kembali haknya sebagai ibu seorang pangeran. Sedangkan Khadijah — saudarinya, yang seharusnya mendapatkan hak yang sama, justru harus mati tergantung dengan segala misteri yang belum terpecahkan.
‘Aku tidak akan membiarkanmu menang, Yasmin,’ batin Esma geram. ‘Aku pastikan, keadilan akan ditegakkan untuk saudariku Khadijah.’
Esma menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak amarah yang membakar dadanya. Kembalinya Yasmin sudah pasti akan mengubah segalanya, posisinya di istana akan terancam. Belum lagi, putra Yasmin kelak akan menjadi saingan bagi anak-anaknya dalam perebutan tahta.
“Esma Hatun, kau baik-baik saja?” tanya Alena khawatir. Langkah pemilik senyuman manis itu mengikuti Esma dengan setia. “Aku baru mendengar kabarnya pagi ini. Katanya, perempuan laknat itu akan kembali.”
Esma tiba-tiba berhenti melangkah, menoleh sejenak ke arah Alena.
“Mulai sekarang, jangan menyebutnya seperti itu lagi, Alena. Wanita itu ... kini merupakan ibu dari pangeran, posisinya jauh lebih kuat daripada aku sekarang. Kau bisa terkena masalah besar jika ada yang mendengar dan mengadu demi beberapa keping emas. Kita tetap harus menghormatinya, setidaknya di depan umum, meskipun di mata kita, wajahnya terlihat seperti kotoran kuda.”
Alena mengangguk paham, tak membantah sedikitpun. “Baik, Hatun.”
Mereka kembali melangkah, menyusuri lorong demi lorong tanpa suara. Alena segera berjaga di depan pintu setibanya mereka di kamar Esma. Sedangkan Esma, lekas melangkah menuju meja rias dan membuka laci rahasia, tadi—ia berpapasan dengan Aylin di lorong istana, gadis itu memberi kode bahwa sepucuk surat telah ia selipkan di tempat biasa mereka saling berkomunikasi.
Esma lekas membuka benang merah yang mengikat surat dalam genggamannya, buru-buru ia membaca bait per bait.
‘Esma Hatun, aku membawa informasi dari Samir. Yasmin ....’
Esma membaca surat itu dengan saksama. Sesekali, ia meremat pinggiran surat itu ketika tak kuasa menahan geram.
“Jangan kira kau sudah menang, Yasmin!”
...***...
Lima hari kemudian, Yasmin tiba di Istana dengan kereta kuda. Senyumnya merekah begitu melangkah turun, melemparkan senyuman anggun pada setiap mata yang memandangnya. Di sisinya, seorang dayang baru membantunya menggendong pangeran kecil.
Bey Murad, Ibu Suri, Esma, serta beberapa selir lainnya, menyambutnya di pintu masuk istana. Dengan anggun, Yasmin menghampiri mereka, mencium takzim punggung tangan Bey Murad dan Ibu Suri. Saat langkahnya terhenti di hadapan Esma, wajah yang biasa ia tunjukkan penuh sinis dan permusuhan—ekspresinya berubah drastis. Senyum hangat merekah di bibirnya, seolah tak ada dendam yang membara di dalam hatinya.
“Esma Hatun,” sapa Yasmin lembut, ada gurat sesal di wajahnya. Ia memberanikan diri meraih tangan Esma. “Izinkan aku meminta maaf atas segala sikap dan perkataanku yang telah menyakiti hatimu selama ini. Aku tau, aku telah melakukan banyak kesalahan, perangai ku sangat buruk. Aku sungguh menyesalinya. Kuharap, kau sudi memaafkan aku, melupakan semua perselisihan di antara kita—demi perdamaian istana.”
Bey Murad dan Ibu Suri saling bertatapan, begitu juga para lainnya—mereka seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Yasmin. Perdamaian? Dari wanita yang gemar berhuru-hara? Sungguh seperti mimpi di siang bolong. Mereka semua akhirnya serentak menatap Esma, menunggu reaksi dari seorang hatun yang terkenal bijak.
“Yasmin Hatun,” ucap Esma dengan senyum dipaksakan. “Aku menghargai niat baikmu untuk berdamai, aku senang mendengarnya. Aku percaya, setiap orang pantas mendapatkan kesempatan kedua. Aku juga percaya, dengan saling memaafkan, kita bisa menciptakan suasana yang lebih baik di istana ini. Tapi, luka yang kau torehkan sungguh terlalu dalam dan—munafik jika aku bisa melupakannya dalam waktu sekejap. Namun, demi perdamaian istana ... aku bersedia membuka diri untukmu. Kuharap, engkau pun bersabar menunggu saat aku benar-benar bisa mempercayaimu kembali.”
Yasmin mengangguk pelan, ekspresinya tenang, matanya menunjukkan kesungguhan.
“Aku menghargai kejujuranmu, Esma Hatun,” ujarnya lembut. “Aku tidak berharap banyak bahwa kau bisa melupakan apa yang telah terjadi. Aku hanya berharap kau bersedia memberiku kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku telah berubah. Aku akan bersabar dan berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali.”
Yasmin menunduk sejenak, menatap perut Esma yang membuncit dengan senyuman lembut.
“Selamat untuk kehamilan mu, Esma Hatun. Aku yakin, darah dinasti yang ada di dalam rahimmu, pasti akan membawa keberuntungan bagi istana. Semoga kelahirannya membawa kedamaian dan keberkahan bagi kita semua. Aku berharap kita bisa saling mendukung, terutama saat kau akan melahirkan dan membesarkan anak. Aku akan berusaha menjadi saudara yang baik untukmu dan anakmu.”
Yasmin menundukkan kepalanya, kemudian berlalu, menjaga ekspresi seraya membatin, ‘Cih! Jika saat itu aku tau kau tengah mengandung, sudah ku pastikan isi perutmu detik itu juga berhamburan di lantai penjara! Janin rendahan mu itu pasti sudah menjadi santapan tikus-tikus!’
*
*
*
aku suka peran wanita yg gk menye menye 🤭🤭
gk suka yg drama indosiar dkit dikit meewekk
sadr diri