Yang kemarin nungguin Gilang, ada di sini tempatnya. 🥰🥰
♥️♥️♥️
Banyak wanita yang menginginkannya. Tapi mengapa harus jatuh pada Belva yang masih belia?
Usianya dua puluh sembilan tahun dan berstatus duda. Tapi memiliki seorang istri yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya.
Gadis yang belum lama lulus sekolah menengah atas. Dia lebih memilih menjadi seorang istri ketimbang mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi.
Redynka Belva Inara.
Gadis cantik keturunan Belanda itu lebih memilih menikah daripada harus bermain-main seperti kebanyakan gadis seusianya.
Namun sayang, cintanya ditolak oleh Gilang. Tapi Belva tak berhenti untuk berjuang agar dirinya bisa dinikahi oleh Gilang.
Sayangnya, Gilang yang masih sulit untuk membuka hati untuk orang lain hanya memberikan status istri saja untuk Belva tanpa menjadikan Belva istri yang seutuhnya. Memperistri Belva pun sebenarnya tak akan Gilang lakukan jika tidak dalam keadaan terpaksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 30
Kembali bisa saling memeluk di atas ranjang adalah satu hal yang tentu membahagiakan bagi Belva dan Gilang.
Belva yang kemarin ngotot untuk meminta cerai sekarang sudah seperti tutup panci yang harus selalu bersama pancinya.
Mungkin juga karena faktor bulanan yang sedang terjadi di dalam tubuh Belva, Belva sendiri lebih banyak bermalas-malasan di atas tempat tidur.
Tentu dengan senang hati Gilang menemaninya. Gilang sendiri saja sudah enggan untuk berjauhan dengan sang istri tercinta.
Kruukkk
"Lapar?" tanya Gilang dengan sedikit menahan tawa saat mendengar perut Belva berbunyi.
"Iya. Tapi males banget mau turun."
"Go food aja. Mau makan apa?"
"Rawon enak kayaknya."
"Oke."
Gilang segera mencari rumah makan yang menyediakan menu rawon dan melayani pemesanan makanan melalui online.
Setelah menemukan yang sepertinya enak, dilihat dari komentar beberapa pembeli, Gilang segera memesan dua porsi rawon. Sesuai yang diinginkan Belva.
"Cowok-cowok di kampus kamu yang suka sama kamu kayaknya banyak, ya, Bel?"
Belva menghembuskan napas dengan sedikit kesal mendengar Gilang mulai membahas hal itu lagi. Kenapa pula sukanya memancing masalah?
"Kenapa kesal gitu kayaknya?"
"Ya ngapain, sih, tanya-tanya soal begituan? Mana aku tau coba mereka suka sama aku apa enggak?"
"Emang nggak ada yang nyatain perasaannya?"
Mendengar pertanyaan Gilang, Belva langsung bangun dalam keadaan rambut yang berantakan. Kedua matanya menatap kesal ke arah Gilang. "Kakak ada masalah apa, sih?"
"Masalahnya kamu kuliah dan jauh dari kakak, Bel. Ke Jakarta aja, yuk. Kakak nggak bisa jauh dari kamu. Kakak nggak mau selalu overthingking kalau kamu lagi di kampus."
"Ya positif thinking ajalah, Kak. Aku kuliah, nggak pernah macam-macam."
"Yang tadi siang itu siapa?"
"Itu kakaknya Raina. Kenal juga baru beberapa hari."
"Tapi udah minjemin jaket, ya?"
"Terpaksa. Kalau nggak aku juga nggak mau kali. Malu."
Gilang memeluk Belva dari belakang. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh Belva yang membuat Gilang semakin tergila-gila, semakin membuat Gilang tidak tahan untuk tidak menyentuh Belva.
"Ke Jakarta aja, ya," ucap Gilang membujuk Belva lagi.
"Kuliah aku gimana? Kemarin aja kakak dukung banget aku keterima kuliah di sini. Sekarang minta aku ikut ke Jakarta. Empat tahun doang, Kak. Sabar sebentar aja kenapa? Andai kemarin kakak nggak setuju aku melanjutkan pendaftaran kuliah aku, aku pasti iya aja kakak ajak ke Jakarta begini."
"Empat tahun itu bukan waktu yang sebentar, Sayang. Kakak juga menyesal menyetujuinya waktu itu."
"Suruh siapa nggak cinta sama aku."
"Belum. Waktu itu belum ada cinta. Sekarang udah cinta banget sampai nggak rela pisah. Nggak pengen LDR."
Belva mengerutkan keningnya. Gilang yang hampir kepala tiga ini saat ini sudah seperti ABG yang baru dimabuk cinta.
Maunya terus bersama-sama, sulit untuk LDR, padahal itu pilihannya dulu. Keputusannya dulu yang diikuti oleh Belva, seperti yang dikatakan Belva tadi.
Andai saat itu Gilang tidak menyetujui Belva melanjutkan proses pendaftaran kuliahnya, pasti saat ini mereka sudah terus bersama di Jakarta sana.
"Kamu kayaknya biasa aja jauhan sama kakak, Bel?"
"Tuh, kan. Mulai, deh, cari masalah."
"Nggak ada cari masalah. Kakak cuma nanya loh."
"Nggak ada pertanyaan macam begitu. Itu namanya menebak. Kalau ditanya mau LDR apa enggak, ya enggaklah. Maunya sama-sama terus. Kapanpun dimana pun. Tapi kalau keadaannya seperti ini mau apa selain menjalaninya?"
"Tapi janji, ya, jangan dekat-dekat sama cowok, Bel. Sama cowok tadi juga. Jaga jarak!"
"Dia udah tau aku istri orang. Nggak mungkin mau deketin aku."
"Jaman sekarang nggak peduli istri orang atau bukan, Bel. Kalau cinta ya masa bodo sama statusnya."
"Nggak semua orang kayak gitu."
"Tapi ada, kan?"
"Tapi nggak semua orang."
"Tapi_"
Ting
Perdebatan mereka yang terdengar rumit itupun terhenti karena ada notifikasi pesan di handphone Gilang.
Makanan yang mereka pesan sudah datang dan yang membawanya pun sudah ada di depan gerbang.
Gilang segera turun untuk mengambilnya. Dan Belva pun turun ke lantai dua untuk menyiapkan tempat makan mereka berdua.
Berdebat dengan Gilang membuat perut Belva semakin lapar.
***
Belva selalu berusaha untuk menghindari Raina saat mereka tengah berada di kampus. Bukan apa-apa, Belva belum siap jika dirundung dengan berbagai pertanyaan dari Raina soal pernikahannya yang tak diketahui siapapun.
Biasanya mereka duduk berdekatan. Tapi kali ini Belva memilih untuk duduk di barisan paling depan, sedangkan Raina ada di baris ketiga di belakangnya.
Saat mata kuliah selesai pun, Belva buru-buru keluar sampai harus berlari kecil agar Raina tak berhasil mengejarnya.
"Aduh."
Karena tak memperhatikan jalan, Belva menabrak seseorang sampai dia terjatuh.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya orang tersebut. Seorang laki-laki. Dan Belva pun mulai waspada. Tadi pagi sebelum berangkat kuliah Gilang sudah mewanti-wanti agar Belva jaga jarak dengan laki-laki.
"Eh, enggak apa-apa. Maaf, saya tidak sengaja," ucap Belva yang sudah berdiri tegak setelah dia terjatuh.
"Saya juga minta maaf karena tidak melihat jalan," balas lelaki tersebut. Dari penampilannya, Belva rasa lelaki tersebut adalah seorang dosen muda yang mengajar di sana.
"Belva, ya?"
Belva tertegun sejenak. Lalu memandang lelaki tersebut dengan penuh tanya. Siapa pula dia sampai mengenal Belva juga?
Detik selanjutnya Belva menganggukkan kepalanya. "Iya. Saya Belva. Siapa, ya? Kita kenal? Pernah ketemu?"
"Saya Arkan. Dulu kita pernah bertetangga saat di rumah kamu yang lama."
"Oh, nggak terlalu ingat, sih."
"Terakhir bertemu waktu kamu kelas enam SD sebelum pindah."
"Oh. Bagus, ya, ingatannya? Masih bisa ingat aku loh. Kelas enam SD sekarang udah mahasiswi. Jauh banget padahal."
"Wajah kamu nggak banyak berubah. Tetap cantik tapi semakin dewasa."
"Ah, iya. Terimakasih."
"Belva!"
Belva terlihat begitu panik saat Raina memanggilnya. Usahanya untuk lari yang hampir berhasil gagal karena bertabrakan dengan Arkan. Si dosen muda yang katanya dulu pernah bertetangga dengan Belva. Ah, Belva lupa. Tak punya waktu untuk mengingatnya.
"Saya pergi dulu. Permisi!" Tanpa menunggu jawaban dari Arkan, Belva segera lari sampai kakinya berhenti di ujung koridor. Dan Belva tidak tahu lagi harus lari kemana.
"Nah, berhenti juga, kan, kamu!" ucap Raina yang sudah berdiri di dekat Belva.
Belva hanya tertawa sungkan dan sedikit malu pada Raina.
"Tau aja kalau punya hutang penjelasan. Pake acara menghindar segala. Nggak bisa, Bel, nggak bisa! Percuma juga, kan, kamu menghindar?"
"Iya, iya, maaf."
Keduanya lantas duduk di salah satu bangku taman kampus. Belva menceritakan bahwa dirinya memang sudah menikah tapi tidak mengatakan alasan mengapa dirinya bisa menikah dengan Gilang.
"Terus kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau udah nikah, Bel?"
"Kan, nggak ada yang nanya aku udah nikah apa belum, Ran. Masa aku harus koar-koar, eh, gaes, aku udah nikah loh. Udah nggak single lagi sekarang. Mereka bukannya ikut seneng malah lihat aku aneh. Orang nggak ada yang nanya ngapain koar-koar begitu. Gitu, Ran."
"Iya juga, ya. Mana aku udah terlanjur bilang ke kakakku kalau kamu jomblo lagi."
"Itu, sih, salah kamu, ya."
"Iya, iya. Salah aku."
Keduanya lantas tertawa kecil. Belva juga sempat meminta Rania untuk tidak mengatakan hal ini pada siapapun terlebih dahulu.
Bukan apa-apa, Belva hanya ingin berteman dengan siapapun. Kadang orang-orang membatasi hubungan pertemanan hanya karena sudah menikah.
Dan Belva tidak mau hal itu.
Sebagai mahasiswi baru, Belva masih ingin banyak menambah pertemanan. Apalagi kalau sampai mereka tau bagaimana posesifnya Gilang terhadap dirinya, Belva yakin teman-temannya pun akan malas berdekatan dengan dirinya.
🌻🌻🌻
"Ciyee... Yang habis tabrakan sama dosen muda. Pakai ngobrol segala lagi."
"Eh, apa-apaan ini? Kan, kakak nggak ada di sana. Kenapa bisa tau? Jangan-jangan..."
"Hati-hati, ya, Sayang. Kamu pikir kakak bisa tenang melepas kamu begitu saja."
"Kak Gilang nggak lucu!!! Kenapa nyebelin banget, sih, kamu!"
Gilang tertawa kecil melihat Belva yang begitu kesal karena Gilang sengaja memata-matai dirinya.
Hal itu sengaja Gilang lakukan karena ini satu-satunya cara membuat dirinya tenang bahwa Belva tidak akan berdekatan dengan laki-laki lain.
"Resiko punya suami kakak ya gini, Bel. Kakak cemburuan. Nggak bisa lihat milik kakak berdekatan dengan lelaki lain."
"Siapa mata-mata kakak itu?"
"Kalau kakak kasih tau nanti nggak seru, dong."
"Nyebeliiinn!!!!!!"
Meskipun Belva memukul-mukul tubuh Gilang dengan begitu kesal, tapi Belva juga tidak menolak saat Gilang memeluk dirinya untuk memenangkannya.
Belva justru membalas pelukan Gilang. Dia rasakan bahwa Gilang begitu mencintainya meskipun caranya terlihat seperti mengekang Belva.
Perlahan Belva mulai memaklumi. Bapak-bapak tua itu takut istrinya yang masih belia jatuh cinta kepada lelaki yang lebih muda dari suaminya.
🌻🌻🌻
Nggak nyambung! 😌
membohongi belva..
LDR-an ujung"a bnyk pelkor dan pebinor,,apalagi pernikahan belva-gilang msh disembunyikan