Cherry Yang, yang dipaksa mendonor darah sejak kecil untuk adik tirinya, setelah dewasa ginjalnya diambil paksa demi menyelamatkan sang adik.
Di malam itu, ia diselamatkan oleh Wilber Huo—pria yang telah mencarinya selama delapan tahun.
Kehidupan Cherry berubah drastis setelah pertemuan itu. Ia bahkan terpaksa menikah dengan Wilber Huo. Namun, tanpa Cherry sadari, Wilber menikahinya dengan alasan tertentu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Wilber berada di perusahaannya, jemarinya sibuk mengutak-atik keyboard laptop. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada layar. Sesaat kemudian, ia menghentikan ketukan jarinya. Wajahnya menegang, ingatannya kembali ke kejadian pagi tadi—saat ia tiba-tiba merebut dompet dan handphone dari tangan istrinya. Aksinya yang spontan itu jelas mengejutkan sang istri, bahkan mungkin melukai perasaannya.
"Tuan, silakan periksa kembali dokumen yang sudah saya siapkan untuk proyek selanjutnya," seru Roby yang baru saja melangkah masuk, mendekat ke meja atasannya. Ia memperhatikan Wilber yang tampak termenung.
Wilber mendongak pelan, menatap asistennya dengan sorot mata penuh keraguan. "Roby, andaikan kalau istrimu memegang handphone dan dompet milikmu, lalu kau rebut darinya secara kasar... apa yang akan dipikirkan oleh istrimu?" tanyanya, suaranya pelan tapi penuh beban.
Roby sempat terdiam, menimbang pertanyaan itu. Lalu ia balik bertanya dengan hati-hati, "Tuan, apakah anda melakukan itu kepada nyonya?"
Wilber tersenyum kecut, lalu mengangguk singkat. "Reaksi ku memang berlebihan," ujarnya jujur.
Roby menarik kursi dan duduk berhadapan dengannya. Dengan nada tenang, ia mencoba memberi pandangan. "Sebagai pasangan suami istri, harus ada keterbukaan. Dompet dan handphone memang privasi bagi kebanyakan orang. Tapi bagi pasangan, itu bukan lagi sekadar barang pribadi. Apa yang anda lakukan, pasti membuat nyonya merasa tidak nyaman. Dan lebih buruknya lagi, nyonya bisa mengira anda menyembunyikan sesuatu darinya. Atau..."
Wilber mengerutkan kening, menunggu kelanjutan kalimat itu. "Atau apa?" tanyanya.
Roby menatap lurus ke arah Wilber, suaranya terdengar tegas. "Atau anda tidak menghargainya sebagai seorang istri."
Sejenak ruangan itu hening. Wilber bersandar pada kursinya, menarik napas panjang dengan wajah penuh penyesalan. "Aku juga menyesal atas kejadian tadi," gumamnya lirih. "Walau terlihat sepele, tapi tanpa kusadari aku telah menyakitinya."
"Tuan, apa yang membuat anda cemas ketika nyonya menyentuh dompet dan handphone anda? Selain data dan nomor sesama pebisnis dan keluarga, anda tidak ada rahasia lain, bukan?" tanya Roby.
Wilber tidak langsung menjawab. Ia meraih ponselnya, menyalakan layar, dan terpampang foto seorang gadis muda di sana. Pandangannya terpaku beberapa detik.
"Di mana Cherry sekarang?" tanya Wilber.
"Tadi pagi saat saya mengantar nyonya ke rumah sakit, nyonya mengatakan akan pulang sendiri. Mungkin saja saat ini nyonya sudah dalam perjalanan pulang," jawab Roby.
"Letakkan saja di sini dokumennya. Aku akan periksa sebentar lagi," perintah Wilber.
"Baik, Tuan," jawab Roby sambil meletakkan map biru berisi dokumen di meja. Ia lalu melangkah keluar ruangan dengan tenang.
Begitu pintu tertutup, Wilber berdiri cepat, meraih jasnya dari sandaran kursi. Nafasnya terasa berat. Ia tak bisa lagi berkonsentrasi pada pekerjaan. Pikirannya dipenuhi oleh wajah istrinya, ekspresi terkejut dan terluka saat ia merebut dompet dan handphone tadi.
Tanpa pikir panjang, ia keluar dari ruangannya. Langkah kakinya cepat, seolah dikejar rasa bersalah.
Sesaat kemudian, Wilber sudah berada di balik kemudi mobilnya. Tangannya mencengkeram setir erat-erat, matanya menatap lurus ke jalan. Mesin menderu, mobil melaju meninggalkan gedung perusahaannya.
Mansion mewah Wilber.
Vivian yang baru pulang langsung mencari keberadaan Cherry. Ia bergegas menaiki tangga menuju lantai dua.
"Cherry!" seru Vivian sambil membuka pintu kamar sahabatnya. Namun, ruangan itu kosong, tidak ada siapa pun di sana.
Alis Vivian mengernyit. "Kemana dia pergi? Apa dia keluar bersama kakak?" gumamnya cemas.
Tak lama, salah satu pembantu rumah tangga muncul dari arah koridor. "Nona, Anda sudah pulang!" sapa sang pembantu sambil sedikit membungkuk.
Vivian segera mendekat. "Bibi, di mana Cherry?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Pembantu itu tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Nona, tenang saja. Nyonya baik-baik saja."
Kata nyonya itu langsung membuat Vivian tertegun. "Nyonya?" ulangnya penuh kebingungan.
"Ya, Nona... Nona Cherry dan Tuan sudah resmi menikah," jawab sang pembantu dengan polos.
"Apa?" teriak Vivian kaget, matanya melebar tak percaya.
Suara teriakannya membuat langkah kaki seseorang berhenti. Dari ujung lorong, Wilber baru saja tiba dengan jas masih melekat di tubuhnya. Ia menatap adiknya dengan sorot tajam.
"Vivian, ada apa denganmu?" tanya Wilber dengan nada tenang.
Vivian berbalik menatap kakaknya dengan ekspresi marah bercampur kecewa. "Kakak! Beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi antara dirimu dan sahabatku? Kenapa tiba-tiba saja menikah tanpa memberi tahu aku?" suaranya bergetar, penuh emosi.
Di sisi lain, Cherry baru saja turun dari taksi di depan mansion. Di tangannya, ia membawa sebuah kotak cake dengan senyum tipis mengembang di bibirnya.
"Tidak tahu apakah kakak Huo suka atau tidak dengan cake rasa mangga... tapi hari ini ulang tahunku. Aku hanya ingin makan cake bersamanya," gumam Cherry dengan nada lembut penuh harap.
Ia melangkah mendekati pintu rumah. Namun, sesaat sebelum masuk, langkahnya terhenti. Telinganya menangkap suara percakapan dari dalam rumah—suara Wilber dan Vivian. Dua bersaudara itu sedang duduk di ruang tamu.
Cherry berdiri kaku, memeluk erat kotak cake di dadanya, jantungnya berdegup kencang.
"Kakak, aku pernah dengar percakapanmu dengan Roby delapan tahun yang lalu," suara Vivian terdengar jelas, penuh tekanan. "Kakak sedang mencari seorang gadis... cinta pertamamu. Dan... dompetmu saja masih menyimpan foto dia, bukan? Kalau tidak, mana mungkin selama ini kakak selalu takut aku melihat isi dompetmu?"
Wajah Wilber mengeras, ekspresinya dingin. "Dompet adalah privasiku. Untuk apa kau ingin tahu isinya?" jawabnya singkat, suaranya tegas.
Vivian menatap kakaknya dengan sorot mata tajam. "Kakak, bukan itu maksudku. Saat itu aku masih anak-anak, aku hanya ingin mengambil uangmu untuk jajan. Tapi siapa sangka reaksimu langsung berubah begitu keras? Kalau bukan karena foto gadis itu... lalu apa yang sebenarnya membuatmu begitu cemas?"
Di depan pintu, mata Cherry mulai berkaca-kaca. Senyum yang tadi ia bawa perlahan memudar.
Sementara itu, di dalam rumah—Vivian menatap kakaknya dengan sorot mata kecewa. "Kakak... jadi apa sebabnya Kakak menikahi Cherry? Ini terlalu tiba-tiba. Yang membuatku tidak bisa menerima adalah... sahabatku dijadikan pengganti," ucapnya, nadanya penuh luka.
Wajah Wilber mengeras, namun matanya menyiratkan sedikit kegelisahan. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Jangan bicara sembarangan. Cherry bukan pengganti. Dia adalah istriku... dan kakak iparmu."
Vivian tersenyum miris, "Apakah itu artinya Kakak benar-benar sudah melupakan cinta pertamamu?" tanyanya dengan nada menekan. "Atau... hanya karena perjanjian keluarga yang mengatakan Kakak hanya bisa menikah sekali, kecuali maut yang memisahkan?"
Mata Wilber meredup, suaranya berat. "Aku tidak melupakannya... sampai kapan pun." Ia berhenti sejenak, lalu menatap tajam adiknya. "Tapi ingat satu hal. Cherry sekarang adalah kakak iparmu. Jangan pernah lagi memanggil nama itu."
Vivian terdiam sejenak, lalu suaranya berubah lirih namun penuh protes. "Iya, aku tahu... Aku hanya merasa tidak adil untuknya. Menjadi istrimu, tapi hatimu... bersama wanita lain."
"Kalau saja kau tahu siapa yang aku cintai selama ini, pasti seluruh perusahaan akan heboh dibuatmu!" gumam Wilber.
Cherry yang termenung seketika, ia tersenyum kembali." Kakak Huo begitu baik, dia berhak mencintai siapa pun. Justru aku yang harus sadar diri. Selama bersamanya aku tidak bisa memberikan apa pun. Selain balas budi, tidak ada yang bisa aku lakukan. Kalau suatu saat gadis itu kembali, aku akan pergi meninggalkan rumah ini. Agar mereka bisa bahagia. Saat ini aku hanya berharap papa cepat sadar. Mengenai hubungan aku dan Wilber mungkin bukan jodoh yang sebenarnya," batin Cherry.