Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 28
♦️ Versi Revisi:
***
Begitu Alea melangkah masuk, aroma kayu dan teh melati menyambutnya lembut. Tante Mira langsung menepuk-nepuk lengannya, senyum hangat menghiasi wajahnya yang berkerut manis.
“Duduk sini, Nak. Kamu pasti capek,” ucapnya sambil menunjuk kursi rotan di ruang tamu.
Alea menurut. Kursi itu sederhana, tapi nyaman—empuk dan berderit pelan saat ia duduki. Beberapa detik kemudian, Tante Mira kembali dari dapur membawa segelas teh hangat dan sepiring pisang goreng yang masih mengepul.
“Minum dulu, ya. Perutmu pasti kosong dari tadi.”
Alea menatap teh itu sesaat, lalu memandang Tante Mira. Ada cahaya lembut di mata wanita itu—hangat seperti pelukan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
“Terima kasih, Tante,” ucapnya lirih, suaranya bergetar pelan.
Tante Mira tersenyum, duduk di hadapannya. “Kamu ini seperti anakku sendiri, Alea. Di sini jangan sungkan, ya. Anggap rumah ini rumahmu.”
Alea mengangguk pelan. Ada sesuatu di dadanya yang terasa mencair. Setelah sekian lama menahan segalanya sendiri, rumah kecil dengan aroma kayu dan suara burung di luar jendela ini seperti memeluknya tanpa kata.
Suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Tak lama, pintu terbuka dan sosok Paman Budi muncul sambil menenteng helm dan tersenyum lebar.
“Lho, ini yang dari kota itu, ya? Wah, tambah cantik aja, udah kayak artis sinetron!”
Alea menahan tawa kecil, pipinya sedikit bersemu. “Ah, Paman bisa aja.”
Paman Budi tertawa, suaranya berat tapi hangat, memenuhi ruangan. “Ya ampun, Tante Miramu ini sampai heboh banget waktu dengar kamu mau datang. Katanya, rumah ini akhirnya rame lagi.”
Tante Mira terkekeh, menatap suaminya dengan lembut. “Sudah, sudah, kamu duduk dulu. Aku bikinin teh.”
Begitu mereka duduk bertiga, suasana ruang tamu berubah hangat. Canda ringan mengalir di antara aroma teh dan pisang goreng.
“Jadi, Alea,” ucap Paman Budi sambil menatapnya ramah, “kira-kira kamu betah nggak di desa? Jangan-jangan kaget lihat sawah sama kebo nanti.”
Alea tertawa kecil. “Kayaknya malah seru, Paman. Di kota nggak ada pemandangan kayak gitu.”
“Wah, kalau begitu besok ikut Paman ke sawah, ya. Biar sekalian latihan lempar lumpur. Siapa tahu jadi atlet lomba balap kerbau!” katanya sambil mengedip jahil.
Tante Mira langsung menepuk lengan suaminya sambil tertawa. “Ih, Mas ini, ada-ada aja. Alea jangan dipercaya semua omongannya.”
Alea ikut tertawa. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tawanya lepas dan tulus. Semua ketegangan dan letih yang ia bawa dari rumah besar di kota terasa mulai luruh.
Namun di sela tawa itu, Alea menangkap sorot mata Tante Mira yang dalam sesaat terlihat… kosong. Hangat, tapi juga menyimpan kesepian yang samar.
Setelah hening sesaat, Tante Mira menatap Alea pelan. “Kamu tahu, Le,” panggilannya lembut, “Tante sama Pamanmu ini belum dikasih rezeki anak sampai sekarang. Sudah lama sekali.”
Paman Budi menimpali dengan senyum pasrah. “Kadang kangen juga ada suara bocah di rumah. Tapi ya mungkin rezeki kami memang di lain tempat. Jadi kalau ada keponakan datang, rasanya kayak rumah ini hidup lagi.”
Alea terdiam sejenak, lalu senyum tipis muncul di bibirnya. Ada getar hangat yang menjalar pelan di dadanya.
“Terima kasih, Tante… Paman. Alea… senang banget bisa di sini.”
“Sudah, nggak usah banyak terima kasih,” kata Tante Mira sambil menepuk punggung tangan Alea. “Kamu capek, istirahat dulu, ya. Nanti sore kita jalan ke kebun belakang. Tante tanam bunga mawar, pasti kamu suka.”
Alea mengangguk. Senyumnya mengembang lembut—untuk pertama kalinya, bukan karena terpaksa.
_-_-_-_
Di Surabaya
Langit Surabaya siang itu kelabu, seolah ikut menyimpan sesuatu yang berat. Di lantai dua belas hotel bintang lima, Faizan berdiri tegap di depan jendela besar, merapikan dasinya dengan gerakan presisi.
Wajahnya tampak lelah, tapi matanya tetap tajam, seperti menolak menunjukkan sisi rapuh yang mungkin sedang bergejolak di dalamnya.
Di sofa, Arka—asisten pribadinya—sudah siap dengan tablet di tangan. “Agenda hari ini padat, Pak. Rapat dengan investor pukul sembilan, lalu makan siang bisnis jam dua belas.”
Faizan hanya mengangguk tipis. “Arka,” ucapnya pelan namun tegas, “hari ini aku pergi seharian. Pastikan ada suster profesional yang datang sore ini untuk jaga Nayla. Aku nggak mau dia sendirian.”
Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu di ujungnya—seperti sisa rasa bersalah yang ditelan paksa.
Arka menatap sekilas bosnya itu. “Baik, Pak. Saya urus sekarang.”
Faizan menatap jam tangannya. “Sore ini aku harus ke kantor pusat. Pastikan semuanya aman sebelum aku kembali.”
Setelah itu, tanpa banyak bicara lagi, ia mengambil jas dan keluar.
Pintu tertutup pelan. Sunyi.
Arka menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah ranjang. Nayla duduk bersandar di sana, mengenakan sweater abu-abu longgar. Wajahnya tampak lebih segar, tapi matanya masih menyiratkan kelelahan.
“Gimana, Nayla? Kakimu masih sakit?” tanya Arka sambil mendekat.
Nayla menggeleng pelan. “Udah mendingan, Kak. Cuma masih agak nyut-nyutan.”
“Baguslah. Nanti sore suster datang. Sementara itu kita pesan makan dulu, ya. Kamu harus isi tenaga.”
Nayla tersenyum kecil. “Iya, Kak. Makasih.”
Tak lama, aroma sup ayam hangat memenuhi kamar. Arka menata makanan di meja kecil, sementara Nayla mulai makan perlahan.
“Aku nggak nyangka bisa tinggal di sini, Kak,” gumam Nayla, menatap pemandangan kota dari jendela.
Arka menoleh sekilas, tersenyum tipis. “Kenapa? Karena Pak Faizan itu orangnya dingin banget?”
Nayla terkekeh kecil. “Iya… tapi ternyata dia juga perhatian, ya. Cuma caranya aja beda.”
Arka ikut tersenyum. “Dia memang begitu. Nggak pandai ngomong, tapi kalau udah janji, dia tanggung jawab sampai akhir.”
Nayla terdiam, menatap jendela yang menampilkan gedung-gedung tinggi. “Aku kadang bingung, Kak. Orang sekeras itu… kok bisa punya sisi yang lembut juga, ya?”
Arka menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Mungkin karena dia pernah kehilangan sesuatu yang penting. Orang kayak gitu biasanya cuma berani nyimpan perasaan, bukan nunjukin.”
Nayla menatap sup di tangannya, uapnya mengepul pelan. Ada sesuatu dalam kata-kata Arka yang membuat dadanya terasa aneh—hangat tapi perih.
...----------------...
Bersambung....
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/