Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Cara Mencintai Yang Mahal
Kekhawatiran yang tiba-tiba datang membuat Alma sudah berdiri di depan gerbang rumah mewah. Rumah besar dengan penjagaan yang begitu ketat. Sebelum masuk perempuan itu mengatur napas terlebih dahulu.
Sedangkan di Kota yang lain, seorang lelaki sangat terlihat cemas. Meeting dengan para petinggi sungguh membuatnya tidak fokus setelah mendapat kabar jikalau Alma menuju satu tempat.
Menghubungi Jeno tak dijawab. Padahal, dia sangat membutuhkan bantuan lelaki tersebut. Hanya satu yang ada di kepala Anggasta sekarang. Ingin meeting cepat selesai.
Setelah meeting usai. Anggasta kembali menghubungi Jeno dan makian yang lelaki itu terima.
"Bisa enggak sih lu--"
"Alma di rumah gua."
Jeno sangat terkejut. Dan satu kata yang terucap. Ngapain? Anggasta sendiri tak tahu dan menyuruh lelaki itu untuk memeriksanya ke rumah besar itu.
"Eh, Angsa! Lu amnesia atau apa? Rumah lu itu udah kayak penjara Nusa Kambangan. Keamanannya ketat dan enggak bakal bisa ditembus."
Anggasta tak menjawab. Lelaki itu sudah menghubungi orang rumah. Tak ada satupun yang menjawab. Meminta bantuan Achel pun tak mungkin karena kakak iparnya itu sedang berada di kediaman papi Restu.
"Kenapa lu khawatir sih, Angsa? Kan si Selir ke rumah lu. Keluarga lu juga udah pada kenal."
Belum juga selesai bicara, sambungan telepon Anggasta matikan sepihak hingga membuat Jeno mengeluarkan makian.
✨
Seorang perempuan sudah duduk di depan cukup banyak orang yang baru saja makan malam bersama. Mereka menatap Alma dengan tatapan penuh tanya.
"Kedatangan Alma ke sini ... mau bilang sesuatu ke Om, Tante, Pak Gyan dan yang lainnya."
Berkata dengan jantung yang berdegup tak karuhan. Telapak tangan yang begitu dingin dengan tulang yang mulai merasakan sakit.
"Mumpung masih ada waktu menuju hari pertunangan Alma dan Gagas. Om, Tante serta Pak Gyan bisa mengambil keputusan apapun atas apa yang Alma beritahukan."
"Ada apa, Alma?" tanya mama Salju dengan begitu lembut.
Sambil menahan takut dan sakit, Alma pun mulai berkata, "Alma menderita penyakit yang belum menemukan obatnya."
Dia berusaha untuk terus menegakkan kepala karena ingin melihat respon keluarga Anggasta. Diamnya mereka membuat rasa sakit di tubuhnya semakin menjalar.
"Alma gak ingin mempermalukan keluarga Gagas. Jika, Tante, Om dan Pak Gyan keberatan, Alma akan bilang ke Opa untuk membatalkan pertunangan."
Sunyinya ruangan itu membuat hati Alma tersenyum getir. Masih berdiri tegap menanti respon dari keluarga Anggasta ditengah rasa sakit yang sudah tak terkira.
"Apa kamu tak menyayangi Gagas? Dan ingin membatalkan pertunangan ini?" Alma menggeleng dengan cepat mendengar pertanyaan ibunda Anggasta.
"Alma juga sayang Gagas, Tante. Tapi, Alma juga sadar kalau Alma tidak seperti perempuan pada umumnya. Alma takut, kondisi Alma akan membuat nama keluarga Wiguna tercoreng dan malah merepotkan Gagas ke depannya."
Menahan bulir bening yang ingin sekali terjatuh. Ditambah rasa sakit yang semakin menjadi membuat Alma semakin mengepalkan tangannya dengan kencang.
Wanita yang masih sangat cantik mulai menghampiri. Ritme detak jantung semakin tak terkendali serta rasa sakit yang semakin menyerang. Tapi, Alma harus tetap bertahan. Dam Tubuh Alma menegang ketika sebuah pelukan dia rasakan.
"Tak ada yang perlu dibatalkan karena kami tidak keberatan."
Bulir bening akhirnya menetes dan tubuh Alma tiba-tiba luruh ke lantai. Rasa sakit membuat tubuhnya tak mampu bertahan.
"ALMA!!"
.
Ponsel yang masih digenggam mulai bergetar. Sang pemilik segera melihat layar benda pipih.
"Ma--"
Tubuh Anggasta lemas seketika mendengar suara sang mama di balik sambungan telepon. Segera dia mencari nomor seseorang dan menghubunginya.
"Berapapun saya bayar."
Baju yang belum diganti serta tubuh yang belum dibersihkan mulai keluar dari kamar hotel dan menuju rooftop. Berdiri di sana dengan segala resah dan takut menjadi satu. Mulai terasa angin yang cukup kencang mengenai tubuh. Dilihatnya ke atas dan benda memiliki baling-baling sudah mulai melandai.
Wajah cemas tak bisa berdusta. Dia pun terus merapalkan doa dan berharap akan segera tiba. Jeno sudah menunggu Anggasta di depan kantor Wiguna Grup. Suara baling-baling dan mesin helikopter terdengar. Dia meyakini di dalam sana membawa Anggasta.
Tak sampai lima belas menit, Anggasta sudah keluar dari gedung Wiguna Grup. Dia menyuruh Jeno untuk mengendara sedikit kencang agar cepat sampai.
Lelaki itu segera berlari setelah turun dari mobil yang Jeno kendarai. Senyum melengkung di wajah tampan sahabat Anggasta tersebut.
"Cara lu mencintai sangat mahal, Gas."
Langkah Anggasta terhenti ketika hendak menaiki tangga. Sang papa sudah menatapnya dengan begitu tajam.
"Pa, Gagas--"
Gerakan kepala menunjuk ke arah kamar memotong ucapan Anggasta yang belum selesai. Anggasta mengangguk dengan cepat dan segera menaiki satu per satu anak tangga.
Baru saja hendak membuka mulut, telunjuk sang mama sudah diletakkan di depan bibir. Menandakan Anggasta tak boleh berisik. Langkahnya mulai dipelankan. Dan hatinya merasa lega ketika melihat Alma yang tertidur dengan begitu nyaman.
Sang mama melarang Anggasta mendekat. Pakaian formal yang masih menempel di tubuh menandakan jika sang putra bungsu belum mengganti pakaian.
"Mandi dulu."
Sudah bersih dan sudah berganti pakaian. Anggasta mulai duduk di samping tempat tidur. Membenarkan anak rambut yang mulai berantakan. Teringat penjelasan sang mama perihal kondisi Alma yang tiba-tiba drop.
"Harusnya kamu tunggu aku kembali, Al. Kita bilang bareng-bareng." Dikecupnya kening Alma dengan begitu dalam.
Mata Anggasta tak bisa terpejam. Dia terus memandangi wajah Alma yang terlihat begitu damai. Tangan putihnya terus Anggasta genggam.
Senyum hangat layaknya mentari yang baru saja terbit membuat Alma yang baru membuka mata sedikit terkejut.
"Ga-gas--"
Tubuh Alma dipeluk begitu erat. Sebuah kalimat dengan nada penuh kecemasan terdengar di telinga.
"Jangan bikin aku cemas, Al."
Alma pun tersenyum karena merasakan sebuah ketulusan dari ucapan yang dilontarkan.
Larangan Mama Salju untuk istirahat di rumah besar Alma ikuti. Anggasta mengatakan jika ibunya sudah bersabda, tak akan ada yang bisa menolak. Termasuk papanya sekalipun.
Anggasta yang sudah berada di ruang makan mulai menukikkan kedua alisnya ketika Alma menghubunginya. Jantungnya mulai sudah tak aman.
"Kenapa, Al?"
"Ke atas sebentar."
Segera Anggasta menghampiri Alma yang terduduk di pinggir tempat tidur dengan raut yang berbeda.
"Ada yang sakit?"
Alma mulai menatap wajah Anggasta sambil menggelengkan kepala. Perlahan dia mulai berdiri. Tangannya mulai menyingkap selimut yang masih berantakan. Noda merah yang cukup banyak sudah menempel di sana. Anggasta malah tertawa dan mencubit gemas pipi Alma.
"It's okay. Tinggal minta tolong Mbak buat ganti sprei."
"Itu pasti tembus ke bed-nya."
"Terus kenapa?" Anggasta malah melontarkan pertanyaan. Anggasta mulai mendekatkan wajahnya di telinga Alma.
"Jangan mengkhawatirkan noda merah pada bed karena--"
"Akan ada noda-noda yang lain yang akan menempel di sana setelah kita menikah."
...*** BERSAMBUNG ***...
Boleh kan minta komennya? Gratis kok.
lnjut trus Thor
semangat
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
cuman gyan yg turun tangan 🤭gimana kalo opa nya Aksara Wiguna
pengsan kalean Setya sama alsa
itu lah keturunan Wifuna