NovelToon NovelToon
Berenkarnasi Menyelematkan Kahancuran Keluarga

Berenkarnasi Menyelematkan Kahancuran Keluarga

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Reinkarnasi / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Light Novel
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Michon 95

Hidup terkadang membawa kita ke persimpangan yang penuh duka dan kesulitan yang tak terduga. Keluarga yang dulu harmonis dan penuh tawa bisa saja terhempas oleh badai kesialan dan kehancuran. Dalam novel ringan ini kisah ralfa,seorang pemuda yang mendapatkan kesempatan luar biasa untuk memperbaiki masa lalu dan menyelamatkan keluarganya dari jurang kehancuran.

Berenkarnasi ke masa lalu bukanlah perkara mudah. Dengan segudang ingatan dari kehidupan sebelumnya, Arka bertekad mengubah jalannya takdir, menghadapi berbagai tantangan, dan membuka jalan baru demi keluarga yang dicintainya. Kisah ini menyentuh hati, penuh dengan perjuangan, pengorbanan, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam.

Mari kita mulai perjalanan yang penuh inspirasi ini – sebuah cerita tentang kesempatan kedua, keajaiban keluarga, dan kekuatan untuk bangkit dari kehancuran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Michon 95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 :Seleksi hari pertama

Setelah selesai diskusi di kamarnya Ralfa di asrama sekolah, aku ikut Cindy kembali ke rumahnya. Rumahnya cukup besar dengan dua tingkat dan halaman yang luas, di sekelilingnya ada dinding yang mengelilingi rumah dan pagar yang tinggi.

Di dalam rumahnya, terdapat beberapa lukisan yang bagus.

"Dapat dari mana semua lukisan ini?" tanyaku, sama sekali tidak sanggup untuk tidak terpesona.

"Dapat hadiah dari teman ayahku , dan beberapa dia memenangkannya dari lelang amal," sahut Cindy kalem.

Kami masuk ke kamarnya Cindy. Di sana terdapat kasur lateks yang berbentuk persegi panjang, meja rias antik dari kayu jati yang kokoh dengan sofa kecil untuk duduk, rak buku dari kayu jati dengan banyak buku di dalamnya. Kamar itu dilengkapi AC dan televisi LCD ukuran besar. Dan harus kuakui, aku enjoy bersantai di kamar ini, suasananya mirip kamarku.

Kami keluar dari rumah pada jam delapan malam. Aku dan Cindy berangkat dengan naik motornya Cindy. Kami berkendara dengan kecepatan normal dan tiba di sekolah dalam waktu yang lebih singkat dari yang kami duga. Tentu saja, kami tidak berani berhenti di depan sekolah, melainkan di tempat penitipan sepeda motor yang terletak tidak jauh dari belakang sekolah. Setelah membayar uang parkir, kami berjalan menuju belakang sekolah. Gedung sekolah di balik pagar tinggi tampak kosong dan menyeramkan.

Aku menatap pintu di depan kami. "Kita akan masuk lewat sini? Emangnya sejak kapan kamu tahu ada pintu ini?"

"Tentu saja, aku baru tahu belakangan ini."

Kami segera mengenakan topeng kami.

"Ayo kita masuk," kata Cindy datar setelah membuka pintunya dengan kunci.

Pintu ini mengarah ke belakang toilet cewek. Setelah masuk, kami menutup kembali pintu dan menguncinya kembali, dan tentu saja Cindy yang menyimpan kuncinya.

Kami pun masuk ke toilet. Seperti dugaan kami, ruangan itu kosong melompong. Kami bercermin dan merapikan kostum kami yang tidak seberapa, cukup puas karena tak ada yang bisa mengenali kami dari balik topeng. Cindy bahkan menggunakan rambut palsu putih yang riap-riapan yang dia pinjam dari ibunya yang membuka salon (tentu saja, tanpa izin dan mengambil dari dalam kamar ibunya), sementara aku mengenakan wig pendek berwarna coklat.

Saat keluar toilet, kami langsung melihat api unggun yang dinyalakan di tengah-tengah lapangan basket.

"Kita samperin tempat itu secara terpisah," bisik Cindy. "Kamu berlagak keluar dari gedung sekolah. Aku akan masuk melalui gedung lab. Nanti aku nongol duluan, abis itu kamu, oke?"

Aku mengangguk, lalu segera bertindak sesuai rencana Cindy.

Aku memasuki gedung sekolah sendirian dari arah belakang, menyusuri koridor bawah yang sepi. Langkahku bergema, tak keras-keras amat, tapi membuatku merasa rapuh dan gampang disergap. Tapi untungnya, hingga koridor itu berakhir, tak ada orang yang menyerangku. Aku memandangi tujuan kami, lapangan basket SMA Harapan Internasional.

Sudah ada tujuh orang bertopeng yang berdiri di situ. Meski semuanya sudah berusaha keras menyembunyikan identitas mereka, aku langsung mengenali dua cowok bertubuh tinggi; yang satu adalah Danny, dan yang satu lagi adalah Yuhal, si pemain basket harapan sekolah kami. Cowok bertubuh sedang di samping Danny adalah Ralfa, teman sekelasku dan sekaligus pacarku. Cowok kekar di dekat Yuhal pastilah Amirudin, bintang baru klub sepak bola. Cewek berambut panjang tergerai yang berdiri di seberang Amirudin, kurasa anggun dari kelompok paduan suara. Cowok bertubuh tinggi kurus... hmmm, bukankah itu Zaidan, cowok yang jago matematika? Cewek tinggi kurus yang di sebelah anggun pastilah Kak Putri, satu-satunya yang tak bisa kutebak adalah cewek tinggi yang berada di samping anggun.

Aku melihat Cindy bergabung dengan mereka, berdiri di dekat para cewek. Semenit kemudian aku menyusul dan berdiri di samping Kak Putri. Tiba-tiba seorang cowok tinggi kurus menghampiri kami dengan heboh, terutama karena dia tidak mengenakan topeng seperti yang lain.

"Aku udah telat, ya?" serunya. "Sori, topengku tadi terbang gara-gara waktu kesini aku kebut-kebutan naik motor. Tapi daripada cuma aku yang nongol tanpa topeng, tadi aku ke toko fotokopi buat beli kertas dan bikin sendiri topengnya."

Sambil berkata begitu, dia mengenakan topengnya yang dibikin dari kertas folio. Topeng itu dibolongi di bagian mata dan dua lubang untuk lubang hidung.

"Dasar Wahyu, selalu ngebanyol aja kerjaanmu," kata cowok tinggi kurus yang menurutku adalah Zaidan, menepuk-nepuk bahu cowok itu. "Kamu kok bisa diundang datang kesini?"

"Wah, itu ceritanya seru!" kata cowok yang dipanggil Wahyu. "Cerita gini, tadi pagi aku lihat ada anak megang-megang surat berwarna hitam yang kelihatannya keren. Kamu inget kan, cewek berambut pendek dari kelas XI-IPA 3 itu? Karena penasaran, kurebut surat itu. Si anak protes, tapi apa daya, aku lebih kuat. Tuh anak aku gebukin sampai babak belur. Pas kubaca, rupanya ada pertemuan rahasia. Jadilah aku ikutan nongol di sini."

Oke, cerita ini jelas-jelas bohong, karena cewek berambut pendek dari kelas XI-IPA 3 adalah Cindy Amelia, sahabatku yang terkenal hebat dalam berkelahi, yang juga berada di sini gara-gara undangan yang diterimanya (dan siapapun yang berani membuat masalah dengannya bakalan di gebukin sampai babak belur, jadi tidak mungkin Wahyu masih bisa nongol di sini), tapi Zaidan tertipu. Suaranya terdengar gemetaran saat dia bertanya,

"Lho, jadi kamu kesini dengan undangan nggak sah?"

"Begitulah," sahut Wahyu serius. "Nggak apa-apa kan? Kalian cuma main-main kan?"

"Ini organisasi elit, kalau kamu nggak diundang, kamu nggak berhak ada di sini," protes Zaidan.

"Berhak aja," sahut Wahyu seenaknya. "Siapa yang kuat dia yang menang. Lagian kamu tau nggak, kita semua dikumpulin di sini buat diadu. Yang bertahan bakalan jadi anggota, sisanya ya dibiarin mati mengenaskan. Berhubung aku nggak mau mati mengenaskan, sori ya kalau aku terpaksa harus mencelakakan sebagian besar dari kalian!"

Kalimat terakhir ini diucapkan sambil memelototi cowok-cowok yang langsung melangkah mundur tanda mereka memercayai setiap kata yang dilontarkan cowok yang sepertinya hobi mengarang cerita itu. Semua, kecuali Danny dan Ralfa yang tampak tenang-tenang saja. Mereka pasti menyadari kejanggalan cerita itu berhubung mereka juga sahabat Cindy.

Aku bisa mendengar dengusan dari arah Cindy. Sepertinya dia sudah siap mendebat Wahyu yang sok jago dan barusan memfitnah dirinya seenak jidat, tapi Cindy masih cukup bijak untuk menahan diri. Tidak lucu kalau belum apa-apa identitasnya sudah ikut terbongkar.

"Wahyu berhak bergabung dengan kita malam ini," tiba-tiba muncul lima orang dari arah kantin, semuanya mengenakan pakaian berkerudung serba hitam yang sama tanpa membedakan cowok atau cewek dan topeng dengan warna yang sama pula. Sepertinya mereka mengenakan pengubah suara atau apa, karena suara yang barusan mengucapkan kata-kata itu terdengar mirip suara kaset rusak.

"Seperti yang lain, Wahyu juga diundang secara pribadi karena prestasi-prestasinya yang luar biasa," kata orang pertama dari deretan anggota berseragam serba hitam itu. "Dia adalah motivator ulung, dan dianggap pemimpin oleh sebagian besar murid-murid sekolah kita."

"Nah, berhubung semua orang yang diundang sudah tiba, kami akan memulai acara ini," kata si orang pertama tersebut, yang hingga kini tidak jelas cowok atau cewek, namun terlihat jelas adalah pemimpin organisasi ini (mungkin dialah yang menandatangani undangan kami dengan sebutan Hakim Tertinggi).

"Kalian sudah tahu bahwa kalian kini tengah diundang oleh organisasi paling rahasia di sekolah ini yang disebut The Judges. Kita adalah para hakim sekolah ini. Kita yang memutuskan benar atau salah. Kita yang memberi keadilan bagi setiap siswa dan kita yang memberi hukuman pada mereka yang bersalah."

"Selama empat hari ke depan, kalian akan diberi ujian untuk menentukan apakah kalian cocok menjadi anggota organisasi ini atau tidak. Dari sebelas undangan, hanya tujuh yang akan lulus. Sisanya tetap harus merahasiakan semua yang terjadi selama empat hari ini. Sedikit kebocoran saja, kami akan menyelidiki hingga tuntas. Siapa yang diketahui melakukan pelanggaran, akan dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat." Nada suara kaset rusak itu begitu tenang, namun ada ketegasan di dalamnya yang membuat kami semua yakin ucapannya bukan ancaman belaka.

"Malam ini malam seleksi pertama. Tugas kalian adalah mencari sesuatu di seluruh penjuru sekolah, di dalam setiap ruangan yang tidak terkunci. Sesuatu itu adalah ini." Si Hakim Tertinggi mengeluarkan sebuah barang mirip lencana dengan simbol seperti yang ada pada amplop. Simbol perisai dengan ukiran pedang dan topeng di atasnya, namun kali ini semuanya berwarna emas.

"Semuanya ada sepuluh buah. Setiap orang yang berhasil menemukan satu saja benda ini, bisa langsung kembali ke sini lagi. Kalau kesepuluh benda ini telah berhasil ditemukan, kami akan membunyikan bel sebanyak lima kali. Orang terakhir yang belum menemukan benda ini dengan sendirinya akan dieliminasi."

"Waktu untuk mengerjakan misi ini adalah satu jam. Setelah satu jam berakhir, bila hanya ada delapan orang yang menemukannya, itu berarti tiga orang dieliminasi sekaligus. Bila hanya ada tiga orang yang menemukannya, itu berarti delapan dieliminasi dan kami akan mencari anggota baru lain yang lebih pantas mengikuti acara seleksi ini. Nah, sekarang, begitu bel berbunyi tiga kali, itu adalah tanda misi dimulai." Teng-teng-teng! Tanpa banyak bacot, kami semua segera berlari ke segala penjuru dan mulai mencari lencana yang kelihatannya mirip banget dengan emas murni itu.

Aku kembali ke arah kedatanganku, yaitu masuk ke dalam gedung sekolah. Berbeda dengan gedung lab dan gedung ekskul yang kebanyakan ruangannya dikunci, gedung sekolah dipenuhi dengan ruang-ruang kelas yang tertutup rapat namun tidak dikunci. Aku melihat beberapa orang yang mengikutiku langsung mengarah ke lantai atas, berhubung lantai bawah dipenuhi dengan ruang guru, tata usaha, dan tempat-tempat lain yang sudah pasti dikunci. Lagi pula, secara logika, mustahil orang-orang itu menyembunyikan lencana emas itu di lantai bawah yang pasti akan dilewati semua orang. Tapi aku tahu ada sedikit ruangan yang tidak terkunci di lantai bawah ini, dan siapa tahu orang-orang itu menginginkan kami menggunakan pengetahuan kami soal jalan pikiran para guru. Meski kebanyakan ruangan itu dikunci, ada dua ruangan yang selalu dibiarkan terbuka. Yang pertama adalah ruang makan para guru yang biasanya juga digunakan sebagai ruang rapat, dan yang kedua adalah gudang janitor. Aku memasuki ruang makan para guru yang gelap gulita. Semua jendela ditutup, namun ada sedikit sinar bulan yang berhasil lolos dari celah jendela. Dengan bantuan cahaya yang sangat sedikit itu, aku pun memeriksa ruangan itu. Tidak banyak perabotan di situ, yang ada hanyalah sebuah meja besar dan bangku-bangku kayu yang mengelilinginya. Aku merunduk dan memeriksa bagian bawah meja, yang sayangnya tidak ada apa-apa. Derit pintu membuatku langsung waspada. Dengan gerakan cepat, aku keluar dari bawah meja dan berdiri tegak. Gerakan itu membuat rambutku acak-acakan, tetapi aku tidak sempat memikirkan hal itu. Seseorang berdiri di depan pintu.

Aku menahan napas. Dalam kegelapan ini, aku tidak bisa mengenali siapa orang yang berdiri di situ. Yang aku tahu, dari postur badannya, orang itu adalah cowok.

Siapakah orangnya?

1
Mbak Inama
bagus banget ceritanya,dari segi alur sangat menarik
Matsuri :v
Gak akan bosan baca cerita ini berkali-kali, bagus banget 👌
Hachi Gōsha: makasih/Smile/
total 1 replies
Star Kesha
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
Hachi Gōsha: terima kasih
total 1 replies
Raquel Leal Sánchez
Bikin adem hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!