Selama ini Amara memberikan kehidupannya kepada Dion dan mengabdikan diri sebagai istri yang sempurna. sudah 3 tahun sejak pernikahan tidak ada masalah pada rumah tangga. namun fakta lain membuat hati Amara begitu teriris. Dion berselingkuh dengan seorang wanita yang baru ia kenal di tempat kerja.
Amara elowen Sinclair berusia 28 tahun, wanita cantik dan cerdas. Pewaris tunggal keluarga Sinclair di london. Amara menyembunyikan identitasnya dari Dion Karena tidak ingin membuat Dion merasa minder. mereka menikah dan membina rumah tangga sederhana di tepi kota London.
Amara menjadi istri yang begitu sempurna dan mencintai suaminya apa adanya. Tapi saat semuanya terungkap barulah ia sadar ketulusannya selama ini hanyalah dianggap angin lalu oleh pria yang begitu ia cintai itu.
Amara marah, sakit dan kecewa. ia berencana meninggalkan kenangan yang begitu membekas di sisa sisa hubungan mereka. akankah Amara dapat menyelesaikan masalahnya?....
ikuti terus ya guysss
selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Terlihat Dion mengeraskan rahangnya saat menatap Vanya, " Vanya, kamu harus tanggung jawab atas semua ini." tatapan tajam Dion menelisik dan sangat tajam.
" Enggak Dion, aku nggak mau lagi terlibat dengan kamu. Hubungan kita berakhir sampai di sini. Kamu bukan siapa siapa lagi sekarang, tidak ada yang bisa aku manfaatkan darimu." Vanya menunjuk ke arah Dion dengan mata yang me merah.
" Apa maksud kamu Vanya, kamu harus bertanggungjawab." ucap dion tak terima dengan ucapan Vanya.
"Kami akan menikah, jangan campuri urusan Vanya lagi jika kamu tidak mau mati." Gery datang dan langsung bicara membuat perhatian keduanya teralihkan.
Dion terdiam dengan pikiran bergelut. Pria yang merupakan ayah kandung dari anak yang selama ini dinantinya sudah datang, seolah akan mengambil kembali haknya. Dion sadar selama ini ia hanya menjaga bayi yang bahkan bukan darah dagingnya.
Vanya menyambut kedatangan Gery dengan menggenggam lengan pria itu. "Ayo sayang, kita pergi." ucap Vanya sambil menatap remeh ke arah Dion.
Dion mengepalkan tangan, belum sampai sehari kini Vanya sudah punya gandengan baru, wanita murahan!.
" Vanya, kamu memang wanita penghancur." teriak Dion dengan nada tinggi.
Sementara Vanya tak lagi menggubris perkataan Dion, Vanya meminta Gery untuk mengangkat kopernya. mereka melangkah santai meninggalkan Dion sendirian dengan penuh kehampaan. Jiwanya kosong, seakan hilang dari raganya. Kenyataan yang begitu pahit membuatnya tak memiliki semangat hidup. Ia menatap punggung Vanya yang sudah mengabur karena semakin jauh.
" Apakah ini semua balasan atas dosa dosaku. Amara..." ucapnya lirih dengan hati yang berdenyut perih. Dion menatap bayangannya sendiri dengan penuh sesal. Tak ada lagi harapan untuknya bisa hidup tenang. Dapat dipastikan jika Dion tidak akan sembuh dari rasa penyesalannya.
Dion berjalan pelan ke arah mobil, ia masuk dan mulai menyetir. Dion akan menuju ke rumah. Selama di perjalanan, Dion hanya termenung dengan pikiran kalut, ia membanting setir mobil berkali kali bahkan kepalanya ia benturkan pada setir mobil.
Rasa sakit nya tak berarti apa apa dibandingkan dengan penyesalannya.
Saat di perjalanan, tiba tiba suara notifikasi pesan masuk di ponselnya. Dengan sisa tenaga yang masih ada, Dion berhenti dan melihat siapa yang mengirimkan pesan padanya. Harapannya tentang Amara masih ada, Dion sangat berharap jika Amara yang mengirimkan pesan padanya.
Ternyata nomor baru, Dion sedikit kecewa namun ia tetap membuka pesan itu. Di sana ada sebuah vidio. Dion memutarnya. Matanya membelalak saat menyaksikan perbuatan Alis. Adik yang sangat di lindunginya itu sedang melayani tiga pria sekaligus.
Tubuh Dion bergetar hebat, ia menutup mulutnya dengan tangan sambil menahan air mata serta amarah yang meluap. " Aliss." ucapnya getir.
Ia tak menyangka, adiknya yang selalu berkata buruk tentang Amara ternyata pelaku sebenarnya. Alis kerap menghina Amara sebagai wanita pelacur, ternyata dia sendiri yang menjadi pelacur.
Dion melemparkan ponselnya kasar pada kursi di samping. Dengan kemarahan yang membuncah, Dion menancap gas penuh menuju ke rumah.
.
.
"Terimakasih atas kesempatan yang anda berikan nona Amara. Saya merasa sangat terhormat dengan kerja sama ini." ucap Leonard saat mereka berbincang santai dengan Amara.
Amara tersenyum ramah, ia mengangguk pelan dengan anggun " Sama sama Tn leo, saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik."
Leo tersenyum, membuat Steven yang memperhatikan nya dari jauh merasa geli. " Pria dingin seperti tuan Leo tersenyum, peristiwa yang langka." ungkapnya dengan nada kecil.
Amara tersenyum ramah pada semua orang, ada sedikit rasa cemburu di dada Leo saat Amara tersenyum seperti itu di hadapan pria lain.
Steven menghampiri Leo, " Tuan, anda di panggil tuan besar." ucapnya dengan nada kecil.
Leo menatap Amara, sesaat kemudian ia mengangguk.
Leo melangkah mendekati Amara, "Nona Amara, saya sepertinya tidak bisa mengikuti acara sampai selesai, selamat atas pelantikan anda. Saya harus pergi sekarang." jelasnya.
Amara mengangguk" baik tuan Leo, terimakasih. hati hati di jalan." ungkap Amara dengan sopan.
Leo tersenyum dan mengangguk, sesaat kemudian ia mulai berbalik dan melangkah pergi.
Amara menatap punggung Leo. " Kenapa rasanya aku mengenal Tn Leo. Dia seperti tak asing bagiku. Tapi siapa?." pikirnya.
Sementara itu Leo sudah berada di dalam mobil, matanya langsung menatap datar dan senyuman di bibirnya hilang seketika. Steven merasakan aura menakutkan sekarang. "Tuan, apa anda yakin akan bertemu dengan tuan besar."
" Ya, saya yakin." jelas Leo dengan tatapan datar. Steven tak lagi bertanya dan mulai mengemudikan mobil menuju mension keluarga Vaughn.
Selama di perjalanan, Leo terus menatap ke arah jendela dengan pikiran kalut. Rasanya ia seperti tak mengerti ke arah mana ia akan melangkah. Namun sekilas bayangan Amara melintas di pikirannya, tanpa sadar senyumannya kembali terukir.
Setelah beberapa saat mengemudi, akhirnya mereka tiba di Mension keluarga Vaughn.
Leo masuk ke dalam rumah, di sana ia di sambut para pelayan yang langsung menuntunnya menuju ruang tamu.
Leo memperlihatkan wajah dingin tanpa sedikitpun perubahan, ekpresi datarnya membuat siapa saja akan takut untuk sekedar menyapa.
" Ayah, dia sudah datang." ucap seseorang yang dapat Leo dengar dari kejauhan.
Leo tiba di ruang tamu dan langsung di lempari setumpuk berkas yang mendarat di dadanya. Kertas itu kini berserakan di lantai.
"Darimana saja kamu anak sial. Ayah sudah menunggumu sejak lama." ucap Edward yang merupakan putra pertama dari keluarga Vaughn. Ia dikenal dengan kekasarannya dan ia sangat benci pada Leo karena dia tidak di pilih menjadi penerus keluarga Vaughn. Edward dan ayahnya memang terkenal dekat dibandingkan dengan Leo. Leo menjadi penerus keluarga Vaughn karena ibunya. Ibunya merupakan CEO perusahaan Vaughn, tak lama setelah pelantikan Leo, ibunya meninggal dunia dan penyebab kematiannya belum ada yang tahu sampai sekarang.
Leo hanya diam dengan perlakuan kasar yang ia terima.
"Leo, sudah ayah bilang jangan membangun kerja sama dengan perusahaan manapun. Kamu malah melakukan kerja sama dengan perusahaan Sinclair, perusahaan terbesar di Inggris. Apa kamu sudah gila?." ucap William yang merupakan ayah dari Leo dan Edward.
"Ya ayah, dia harus diberi hukuman. Mentang mentang seorang CEO dia tak membicarakan apapun pada kita. Keterlaluan." umpat Edward tak terima.
Leo masih menatap datar ke arah dua pria yang dibencinya itu. Sedari kecil ia tak bisa berbuat apa-apa. Semua perlakukan buruk Edward hanya bisa di cegah oleh ibunya. Namun sekarang, tak ada yang melindunginya. Walau bagaimanapun harta warisan masih tetap di tangan Leo, karena ia sudah di tetapkan sebagai pewaris dalam surat resmi yang di simpan oleh orang kepercayaan nyonya Hena, ibu dari Leo dan Edward.
" Kalian tidak perlu mengatur urusanku." tegas Leo setelah cukup lama menahan sabar.
" Apa katamu?. Beraninya kamu berkata begitu pada ayah. Mana sopan santun mu?." ucap Edward mengompori.
"Aku lebih tahu yang terbaik untuk perusahaan. Jangan membodohi ku." ucap Leo dengan tatapan datar.
Edward bangkit dan memungut kembali dokumen yang tadi dilemparnya. " Kamu memang bodoh, kamu baru sadar?." Edward kembali memukul kepala Leo dengan dokumen di tangannya. Tepat pada kepala pria itu.
" Kamu hanya anak yang mendapat kasih sayang ibu karena bodoh, harusnya kamu sadar." ucap Edward lagi. Namun saat akan memukul tangannya di cegah dan di cengkram Leo dengan kuat.
" Jangan memukul lagi jika kamu tidak ingin mati." ucap Leo dengan suara di tekan.
Edward berusaha menarik tangannya namun tak bisa. " Leo, jangan berani mengancam ku!." ucap Edward dengan wajah sangar.
"Hentikan!."