"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 | EKSEKUSI SANG PEMBUKA (III)
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
…
Suasana yang sejak tadi memang sudah senyap dan tenang, kini semakin dikerubungi sunyi dan hening. Tawaran Nero untuk mengantar Klara sukses mengundang pelototan dari mataku, baru lah sekarang aku paham alasan Zofan menunjuk-nunjuk Nero semenit yang lalu.
Jadi, maksudnya, Zofan memintaku untuk menyuruh Klara pulang bersama Nero? Begitu?
Kulempar pandanganku ke arah Zofan yang sudah lebih dulu menatapku penuh heran. Tatapannya seperti mengatakan “isyarat sederhana seperti ini saja kau tak mengerti?” padaku.
Bibir bawahku maju setengah sentimeter. Malu sedikit, karena otakku tak berpikir sampai ke sana.
“Kau mau pulang juga, Ner? Duluan saja, aku bisa pulang sendiri, kok.”
Oh, oh! Klara juga sepertinya tak menangkap maksud Nero dan Zofan. Lihat, kan? Aku tak sendiri!
“Bukan, aku pulang biar sekalian mengantarmu. Tak baik perempuan sendirian di jalan.”
“Hah? Sekalian … mengantarku?” Klara menunjuk dirinya sendiri dengan gaguk. “Tapi—”
Belum pun Klara meluncurkan dalihnya, tangan Nero segera menggapai milik Klara dan menggeleng seolah tak tertarik mendengar apapun yang hendak Klara katakan. “Aku tak suka penolakan. Ayo.”
“Kami pulang duluan. Zo.”
Zofan mengangkat tangannya, membalas santai salam perpisahan dari Nero.
“Eh, tunggu! N – Nat, sampai jumpa besok!”
Begitu lah penutupan dari mereka. Klara hanya sempat berpamitan singkat sementara tangannya yang ditarik pergi mengikuti Nero. Sorot matanya seolah meminta tolong padaku.
Kedua manik besarku masih terpana melihat mereka berdua yang sudah semakin jauh, berjalan meninggalkan kafe. Klara, maafkan aku yang tak bisa membantumu. Aku juga kesulitan di sini.
Dan, kumohon, jaga hatimu selama perjalanan pulang kalian, Klara!
Tolong ingat percakapan kita beberapa waktu lalu, untuk tidak menjalin hubungan dengan siapa pun dari tiga serangkai ini! Jangan biarkan bunga-bunga mati dalam dadamu hidup disiram Nero!
Tak cukup hanya mengirim telepati yang mustahil sampai pada Klara, kusempatkan menyambar ponselku untuk mengirim pesan singkat dengan inti yang sama ke kontaknya. Secepat turbo aku mengetik!
∞
Beres memperingati Klara perihal kesepakatan rahasia kami, kepalaku lantas menoleh ke arah meja yang sekarang hanya tersisa Cika dan Bian, pasangan itu ternyata juga mengamati takjub kepergian Klara dan Nero.
Yah, siapa juga yang akan menyangka seorang pendiam seperti Nero, bisa memaksa manusia secerewet Klara untuk tunduk dan menurut padanya?
“Cika, kau tidak pulang sekarang, kan? Temani aku dulu sampai ini selesai, ya? Ya?” Kulemparkan tatapan paling memelas yang kupunya kepada Cika, dan Cika terkekeh sebagai respon.
“Iya, Nata. Aku temani kamu di sini sampai kalian berdua selesai dengan urusan kalian.”
Huhu, Cika, kau memang yang terbaik!
Senyumku mengembang, tersirat kelega di baliknya. “Terima kasih, Cika! Aku menyayangimu!”
“Jangan menyayanginya, hanya aku yang punya hak.”
Bian menatapku tajam, sementara tangannya buru-buru menggenggam tangan Cika, dan aku bisa lihat genggaman itu tampak mengerat. Bahkan tangannya yang lain dengan sengaja menutup mata Cika, menghalanginya dari memandangiku.
Setelah melihat adegan serupa terjadi pada Nero dan Klara, sekarang aku harus menyaksikannya lagi dari dua budak cinta ini? Apa hidupku sebegitunya kekurangan asupan romansa, sampai harus berkali-kali menjadi saksi kisah cinta orang lain?!
Eh, tidak, tidak, aku salah. Nero dan Klara bukan pasangan, kok!
“Cih, ikut campur saja, sih? Padaku pun kau cemburu?”
Aku mengatakan itu hanya untuk mengalihkan pikiranku yang mulai melalang buana.
“Hei, Bian, ingat! Sebelum denganmu, Cika sudah lebih dulu denganku, ya! Aku yang menjaganya sebelum kau peka terhadap perasaanmu itu! Berterima kasih lah padaku yang sudah melindungi ‘tuan putri’mu, wahai ksatria kesiangannya Cika!”
Lidahku terjulur meledek Bian selagi wajahnya tampak merah. Sudah pasti dia malu mendengar pernyataan dariku, mengingat dia yang dulu sempat jadi saksi bisu atas perundingan yang pernah dialami Cika.
Tek!
Aku refleks berkedip saat Zofan menjentik dua jarinya, tepat di depan mataku. Telunjuknya mengetuk-ketuk permukaan kertas, menyuruhku agar segera kembali mengerjakan “tugas”ku.
Tergesa-gesa sekali, Tuan Zofan. Ingin selamatkan temanmu dariku, hah?
“Iya, iya, aku tahu! Tak perlu mengaturku!”
Kepala Zofan bergoyang dengan matanya yang digerak-gerakkan pula, tampak meledek gerutuanku. Zofan dan temannya sama saja, menguji kesabaran semua!
Malas menanggapi tingkahnya yang semakin lama semakin menjengkelkan, serta tak mau semakin menyia-nyiakan waktuku, segera kutaruh kembali perhatianku pada kertas yang begitu sabar menungguku, tak seperti Zofan yang kesabarannya setipis tisu dibelah dua belas.
∞
Entah sudah berapa ratus soal yang kuselesaikan sampai terkumpul pula ratusan angka satu dan nol, dan akhirnya aku berhasil menamatkan kertas pertama ini. Refleks kuhempaskan kertas yang sudah penuh dengan coretan itu.
Sekarang tanganku terasa sangat kebas, dan penglihatanku semakin mengabur.
Begini lah efek samping kalau terlalu lama dan terlalu berlebihan menggunakan kekuatanku, kejernihan penglihatanku akan berkurang untuk sementara waktu.
“Sudah selesai. Silahkan kau lihat sendiri, aku tak bisa baca kode biner.”
Butuh lebih dari sejam juga aku mencoret-coret. Padahal bisa saja lebih cepat kalau aku tak perlu menandai setiap soal yang jarak antar angka dan simbolnya sangat rapat itu.
Bayangkan saja seperti kalian sedang membaca paragraf panjang yang ditulis sangat amat kecil dan antar hurufnya sangat rapat, bahkan tak ada spasi. Sampai-sampai harus gunakan kaca pembesar!
Belum lagi dengan tulisan-tulisannya yang agak pecah efek dari hasil cetak salinan, dan ditambah dengan penglihatan yang kabur.
Begitu lah rasanya ketika aku membongkar soal-soal dari kertas salinan yang baru beberapa detik lalu kutelantarkan di atas meja.
Kuregangkan tubuhku, merentangkan kedua tangan lebar-lebar sebelum satu tanganku terangkat tinggi, memanggil pelayan mana pun yang akan menangkap gerak-gerikku.
“Mmm!” Pandanganku beralih pada Zofan yang berusaha mendapatkan perhatianku. Dia menunjuk-nunjuk mulutnya yang masih tertempel selotip transparan milikku, tadinya. Tangannya itu menjadi sangat aktif, ya, kalau mulutnya terkunci; dari tadi menunjuk ke sana kemari.
“Terserah kau mau lepaskan atau biarkan seperti itu sampai pulang,” dan seketika terpancar kebahagiaan dari wajahnya saat kubilang begitu. Heh.
Kembali kuedarkan penglihatan, mencari pelayan yang sekiranya akan menghampiriku setelah panggilan tak langsung dariku sejak lima menit yang lalu. Tidak ada kah yang melihat?
Atau mereka tak mengerti maksud dari tanganku yang terangkat tadi? Mana mungkin!
“Apa yang kau lakukan?”
Sesuai dugaan, mulut itu tak akan diam kalau sudah bebas dari ‘bungkaman’.
Tentu Zofan akan secepat kilat melepas perekat itu, supaya mulutnya tak terlalu lama bisu dan bisa langsung meluncurkan suara-suara berisik yang mengganggu pendengaran.
“Kau tak bisa lihat kalau aku sedang memanggil pelayan?”
“Justru aku bertanya apa yang mau kau lakukan dengan memanggil pelayan?”
Dia bertanya sambil akhirnya meraih kertas yang sudah lumayan lama juga terbengkalai di atas meja.
“Kau ini banyak tanya, ya? Padahal bisa tinggal lihat dan simpulkan sendiri!” protesku. “Aku mau pesan makan malam untuk kubawa pulang. Sudah, jangan tanya apa-apa lagi, aku benar-benar pusing sekarang karena kertasmu itu.”
Zofan hanya berdeham sebagai reaksi, membiarkan aku memesan beberapa menu dan menyampaikannya pada pelayan yang melayani meja kami. Yah, akhirnya salah satu pelayan menghampiriku juga, walau itu berkat bantuan Zofan dengan memanggil ulang pelayan untukku.
Aku memesan banyak makanan untuk dibawa pulang, sekalian dengan titipan orang rumah. Hitung-hitung sebagai bayaran Zofan karena sudah memakai jasaku.
∞
“Wow, luar biasa!” puji Zofan hampir berseru keras, sepertinya dia sudah memeriksa seluruh coretan yang kutinggalkan di atas kertas itu.
Setelah meletakkan kembali kaca pembesar yang dipergunakan sebagai alat bantu, seperti yang kulakukan tadi, dengan antusiasnya dia menepuk tangan, persis kelakuan bocah SD yang baru dibelikan mainan.
“Apa? Apa isinya? Apa yang ditulis di situ?” tanyaku ikut menggebu-gebu.
...
Bersambung