Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemitraan Rahasia
Rasa sakit di leher Shalih perlahan mereda berkat sentuhan Fitriani (Lunavera), tapi trauma yang membekas jauh lebih dalam.
Di gubuk petani yang gelap, Rohim (Heliogar) memeluk Shalih yang terlelap. Tangan Rohim mengepal erat di balik sarung tangan kostumnya. Dia masih mengenakan bodysuit barunya. Kostum itu telah menahan panasnya, tapi tidak bisa menahan rasa bersalahnya. Miss Armstrong telah mencuri darah Sang Bintang—sebuah harga yang tak ternilai.
"Mereka nggak akan menang, Yah," bisik Fitriani, menyandarkan kepalanya di bahu Rohim. Cahaya perak lembut dari tubuhnya menyebar, menenangkan suasana.
"Mereka sudah menang, Bu," Rohim membalas, suaranya parau. "Dia dapat yang dia mau. Sekarang, dia punya blueprint genetiknya. Kita hanya punya waktu sebelum dia tahu cara menggunakan darah Shalih untuk sesuatu yang buruk."
Tiba-tiba, ponsel tua yang dipegang Raisa berdering nyaring. Alex yang sedang berjaga di pintu langsung menoleh.
"Nomor siapa, Ra?" tanya Alex, setengah berbisik.
Raisa melihat layar, alisnya terangkat. "Ini... nomor terenkripsi yang pernah aku pakai untuk logistik pribadi Dharma Wijaya."
Raisa menatap Rohim, matanya bertanya. Rohim mengangguk pelan, rasa takut bercampur harapan. "Angkat. Mungkin dia sudah gila karena aku mencuri jet The Vault."
Raisa menjauh, mengatur napasnya. "Ya, halo?"
"Raisa, ini Dharma," suara Dharma Wijaya yang berwibawa dan bernada tinggi terdengar cepat dan tanpa basa-basi dari speaker ponsel Raisa. "Jangan berani-berani memutus sambungan ini. Saya tahu di mana kalian. Saya tidak peduli kalian mencuri jet The Vault. Saya peduli pada visi saya."
"Bapak Dharma, kami buronan. Bapak seharusnya melaporkan kami ke polisi," ujar Raisa, mencoba menjaga ketenangan.
"Omong kosong! Setelah melihat footage di Batara Raya, saya tahu Anda bukan teroris, Rohim! Anda adalah Heliogar! Dan Anda tidak meledak! Kostum baru Anda terlihat fashionable," potong Dharma, nadanya tegas, namun ada sedikit humor yang menunjukkan kegilaannya. "Saya tidak menelepon untuk memarahi. Saya menelepon untuk membantu. Project Tesla Nova akan berjalan, dan saya tidak akan membiarkan wanita gila dari CIA itu merusaknya!"
Rohim segera mengambil ponsel itu dari Raisa. "Dharma. Jangan bodoh. Indo Tech Energy akan hancur kalau kau membantu kami."
"Diam, Rohim!" seru Dharma. "Perusahaan saya adalah alat, sama seperti PT Harapan Jaya yang didanai The Closer! Hanya saja, alat saya untuk listrik gratis! Selama kau menjunjung visi itu, saya adalah pendukungmu!"
Keheningan melanda gubuk itu. Rohim terdiam, terkejut dengan loyalitas Dharma yang total dan berani.
"Dengar baik-baik, Rohim," lanjut Dharma, suaranya melunak, kini terdengar tulus. "Saya tahu kalian kekurangan blueprint Transmisi Nirkabel Skala Besar. Alex mencari info tentang Bella Septiani di PT Harapan Jaya, kan? Lupakan Bella!"
Rohim menoleh ke Alex dan Raisa. Mata mereka membulat.
"Indo Tech Energy sudah punya blueprint itu, Rohim! Kita telah mengerjakannya secara rahasia selama setahun terakhir, disembunyikan di balik dana Riset & Pengembangan. Itu adalah warisan dari ayahmu dan mimpimu! Saya punya backup utamanya, terenkripsi berlapis-lapis di server pusat Indo Tech Energy di Jakarta!"
Mata Rohim berkaca-kaca. Ia tidak pernah menyangka, di tengah kehancuran, perusahaan yang ia tinggalkan justru memiliki kunci untuk menyelamatkan visinya.
"Tapi… Dharma… kenapa kau tidak melaporkannya?" tanya Rohim.
"Saya CEO, Rohim! Bukan pengkhianat! Saya juga tidak ingin Genetika Bintang dicuri oleh CIA!" balas Dharma dengan kesal. "Saya akan mengalokasikan seluruh sisa sumber daya rahasia perusahaan untuk Anda! Intelijen Indo Tech mengindikasikan Miss Armstrong sedang menyiapkan semacam eksperimen berbahaya dengan Genetik Bintang Shalih. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus menyelesaikan Tesla Nova sebelum dia bertindak!
"Kita hanya punya tiga minggu, Rohim!"
Rohim terkejut mendengar batas waktu yang sangat sempit itu. Tiga minggu untuk membangun prototipe yang bisa mengubah dunia.
"Tiga minggu?" gumam Rohim, nadanya penuh urgensi.
"Ya! Tiga minggu! Sekarang, ini rencananya," Dharma melanjutkan, suaranya berubah menjadi komandan militer. "Anda dan Fitriani harus tetap di Muria Kencana. Fokus pada pengendalian kekuatan dan membuat generator yang stabil. Saya akan mengirim paket material tambahan ke lokasi Anda. Tapi saya butuh seseorang di Jakarta untuk mengambil blueprint dan data engineering."
Dharma berhenti sejenak, lalu terdengar kekeh bangga. "Saya butuh duo paling brilian yang saya kenal, yang punya skill keamanan dan hacker terbaik. Saya butuh Alex dan Raisa."
Alex tersentak, wajahnya menunjukkan campuran adrenalin dan kegembiraan. "Gue suka ini. Mission Accepted, Bos Dharma!"
Raisa, yang sudah kembali profesional, langsung mengambil catatan. "Kami siap, Pak Dharma. Apa detail misinya?"
Dharma menjelaskan dengan cepat. Mereka harus menyusup ke server farm pusat Indo Tech Energy di Jakarta. Tugas Alex adalah memecahkan enkripsi dan tugas Raisa adalah mengambil hard disk data yang tersembunyi di dalam brankas fisik.
"Server itu aman, tapi sekarang saya curiga ada mata-mata dari CIA di Indo Tech. Kalian harus cepat, dan jangan tinggalkan jejak," pesan Dharma.
Setelah panggilan berakhir, suasana di gubuk itu berubah total. Keputusasaan lenyap, digantikan oleh rencana yang membara.
"Kita melakukannya, Ra," ujar Alex, menepuk bahu Raisa. "Kita akan kembali ke Jakarta, ke medan perang cyber gue. Kita akan mengambil kembali blueprint paling keren di Indonesia."
"Ini bukan mencuri, Alex," koreksi Raisa, matanya tajam. "Ini adalah mengambil kembali hak milik untuk menyelamatkan visi Pak Rohim."
Rohim menatap Alex dan Raisa. "Kalian harus hati-hati. Jika kalian tertangkap, Dharma dan Indo Tech hancur. Kita hancur."
Alex menyeringai, matanya memancarkan humor khasnya. "Tenang, Pak Rohim. Gue nggak akan pakai hoodie yang sama dua kali. Dan kalau ada yang nangkep gue, gue akan bilang gue sedang menyelamatkan pacar gue dari pekerjaan yang overrated."
Raisa memukul lengan Alex. "Jangan banyak bercanda! Kita harus berangkat sekarang."
Fitriani mendekat, memeluk Raisa dan Alex. "Terima kasih. Kalian adalah keluarga kami. Hati-hati di Jakarta. Aku akan mendoakan kalian berdua."
Rohim memberikan Alex hard drive cadangan yang dimodifikasi. "Ini. Kau harus bisa menyalin semua data teknis yang kita butuhkan. Aku butuh data logistik juga, Alex. Dharma bilang dia akan mengalihkan bahan prototipe ke Muria Kencana. Aku butuh tahu rute dan titik pengiriman."
"Siap, Bos Heliogar!" Alex memberi hormat main-main.
Melihat Alex dan Raisa yang penuh semangat, Rohim merasa sedikit lega. Ia kembali menatap Shalih yang masih tertidur. "Kita akan jaga Shalih. Kita akan menguji pengendalian kekuatan kita, Bu. Kita akan buat generator itu stabil. Heliogar harus bisa menyalurkan energi tanpa membakar kabel."
"Dan Lunavera akan menganyam serat-serat kosmik ke generator itu agar energi Ayah menjadi lebih lembut," tambah Fitriani, matanya bersinar.
Mereka berpisah. Alex dan Raisa meninggalkan gubuk itu, menuju ke stasiun kereta terdekat, menyamar sebagai pasangan muda yang sedang liburan.
Pergerakan Jenderal Wirayudha
Namun, kegembiraan dan rencana mereka diawasi.
Di dalam Mobile Lab ISTC yang kini ditarik mundur dari Muria Kencana, Miss Armstrong sedang mengamati data yang diperolehnya. Di meja depannya, Jenderal Wirayudha tampak tegang, wajahnya kaku.
"Jenderal, pergerakan ini mencurigakan," ujar Miss Armstrong, menunjuk ke layar. Di sana, data logistik menunjukkan adanya pergerakan dana besar dan transfer aset rahasia dari Indo Tech Energy. "Dharma Wijaya terlalu setia pada Rohim. Dia adalah CEO yang berisiko, atau dia adalah sekutu Rohim."
"Kami tidak punya bukti, Nona Armstrong. Dharma Wijaya adalah konglomerat terkemuka," bela Jenderal Wirayudha, mencoba mempertahankan kedaulatannya.
Miss Armstrong tersenyum dingin, tatapannya tajam. "Bukti? Saya punya darah Shalih Wiradipa di sini, Jenderal. Saya tidak butuh bukti. Saya butuh tiga minggu."
Ia mengambil ponsel canggihnya, memutar nomor. "Saya ingin Anda memindahkan target. Lupakan Muria Kencana untuk sementara. Fokus ke Jakarta. Saya ingin tahu setiap detail pergerakan Dharma Wijaya dan Indo Tech Energy. Mereka adalah kunci untuk alat transmisi, dan alat transmisi adalah kunci untuk memanen Energi Bintang Shalih."
Jenderal Wirayudha, meskipun merasa jijik dengan perintah itu, mengangguk. Dia tahu, menentang Miss Armstrong berarti menentang CIA dan seluruh sekutu Barat.
"Baik, Nona Armstrong. Kami akan memburu Dharma Wijaya. Jakarta menjadi zona merah."
Jenderal Wirayudha segera menghubungi unitnya, mengalihkan seluruh fokus perburuan dari pegunungan Jawa Tengah ke metropolitan Jakarta.
Alex dan Raisa tiba di Stasiun Gambir, Jakarta, di tengah hiruk pikuk kota yang sibuk. Mereka berpegangan tangan, menyamar sebagai pasangan kasual, siap menyusup ke Indo Tech Energy. Mereka tidak menyadari, di balik keramaian, puluhan agen rahasia dan militer kini memindai wajah Dharma Wijaya.
Di salah satu sudut stasiun yang sepi, Jenderal Wirayudha sedang berbicara dengan seorang wanita berambut hitam yang dingin, mengenakan setelan mahal.
"Nona Bella," bisik Jenderal Wirayudha, merujuk pada Bella Septiani, Manajemen Keuangan PT Harapan Jaya dan kunci penghubung The Vault. "Anda harus mengawasi setiap pergerakan Indo Tech Energy. Ada yang salah dengan Dharma Wijaya. The Vault harus tahu bahwa ada yang mencoba mencuri blueprint teknologi transmisi di Jakarta. Dan saya curiga mereka akan menggunakan jaringan Anda."
Bella Septiani hanya mengangguk kecil, matanya tajam dan tanpa emosi. "Saya mengerti, Jenderal. Siapa pun yang mencoba mengganggu corporate structure di Jakarta akan berhadapan dengan The Vault."
Alex dan Raisa baru saja kembali ke Jakarta, tanpa menyadari mereka kini berada di tengah pertarungan dua superpower korporat: Indo Tech Energy yang diburu, dan PT Harapan Jaya yang mengawasi.
Bersambung....