Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekuatan Kemarahan
Pujian demi pujian manis terlontar dari satu mulut ke mulut para ibu yang saat itu berkumpul di depan tokonya Parto, dari yang awalnya hanya dua orang kini menjadi sekitar enam orang.
“Apik tenan loh, Yu. Iki Piro regane gelangmu Iki?” tanya salah satu teman Bu Gemi.
“Halah, murah itu, aku kemarin cuma asal wae milih njur langsung tak bayar, gitu. Jadi lupa harganya berapa.” Bu Gemi semakin gelap mata, ia begitu pandai beralasan hanya demi mendapatkan pujian yang sebenarnya bisa saja tak tulis dari dalam hati mereka.
Jumini terisak karena sakit hati, ia teringat bagaimana perlakuan sang mertua semenjak ia menuruti sang suami untuk pindah rumah, setelah Sukijo selesai membangun rumah. Sialnya tepat saat itu, Sukijo kecelakaan.
……
Beberapa bulan lalu saat Sukijo baru saja keluar dari rumah sakit.
“Mantu ngisin-isini, ngapa kamu ajak tinggal di sini, Jo! Ibu jadi sumpek tiap hari lihat kelakuannya selalu pulang pagi!”
Hampir setiap pagi Bu Gemi akan terus mengomel di samping rumah Jumini yang memang hanya tepat berdampingan dengan rumahnya, seakan sengaja agar Jumini mendengarnya. Tak jarang Bu Gemi akan sengaja meletakkan beberapa barang dengan kasar, untuk menciptakan suara gaduh.
Glontang!
Suara tutup panci yang sengaja dilempar Bu Gemi saat mencuci perkakas dapur di sumur yang menjadi penghubung dua rumah itu.
Jumini yang saat itu baru saja bangun, terkejut, lalu bergegas menuju ke seberang suara.
Jumini membuka pintu belakang yang langsung menghubungkannya dengan sumur yang sama. “Ada apa Bu?” tanyanya panik melongok memeriksa.
Namun Bu Gemi tak menjawab, hanya melengos berlalu masuk ke dapurnya sendiri seraya membawa seember peralatan dapur yang sudah selesai dibersihkan.
Merasa tak ditanggapi sang mertua, Jumini kembali masuk ke rumahnya, tanpa menutup pintu belakang itu.
“Wong wedok kok malesan! Jam enem lagi Tangi!” gerutu Bu Gemi yang entah sudah kembali di sumur.
Jumini berdiri di depan kompor, hendak menyalakannya, namun ia mengurungkan niatnya, sengaja ingin mendengarkan omelan apalagi dari sang mertua.
“Jan bikin malu banget punya menantu seperti itu, harusnya dulu aku tak merestuinya! Coba Sukijo dulu jadi nikah sama Yuli, wes makmur hidupnya, secara Bu Yuli kan bidan desa.”
“Atau sama Ningrum, dia anak juragan beras, pasti yo makmur, aku bisa ketularan. Lah ini sama Jumini, anak petani, malah kerjaane ora jelas.”
Sebenarnya ini bukan kali pertama Bu Gemi sering menyudutkan Jumini, namun kali ini Jumini merasa tak tahan lagi. Ia melangkah memberanikan diri menjawab kicauan sang ibu mertua yang sering membandingkannya dengan mantan-mantan pacar Sukijo.
“Pemalas nek bangun mesti nunggu wong tuwo ngomel dulu!”
“Aku kan kerja, Bu. Mas Sukijo butuh uang banyak untuk operasi tangannya yang patah itu, kalau aku nggak kerja, gimana nasib ayahnya Seli!” jawab Jumini tegas, sudut matanya berkaca-kaca menahan sakit hati yang ia pendam sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu.
“Bu,” Seli pun yang terbangun menyusul ibunya bergelayut di kaki sang ibu.
Dengan mata yang menyipitkan kecaman, Bu Gemi mengucapkan kata-kata yang menusuk, “Heleh, kerja apa jual diri.”
“Ya ampun, Bu, kok bicaranya begitu, ada Seli loh!” Juminieraih sang putri, lalu menutup telinga dan memeluknya, berharap anak kecil itu tak perlu mendengar dan melihat ucapan dan tatapan buruk dari neneknya.
Bu Gemi memandang dengan mata yang tajam dan penuh celaan, seolah-olah sedang menghakimi setiap tindakan yang dilakukan Jumini. “Aku kan cuma ngomong apa adanya!”
……
Kilasan kenangan pahit semakin membuat Jumini murka. Tiba-tiba seperti mendapat kekuatan dari gelombang panas yang dihasilkan oleh amarahnya sendiri.
Jumini mengangkat kedua tangannya, bersiap mencengkeram, matanya pun menyala merah terdorong oleh rasa sakit hati dan amarah, “Memang harus dicekek mertua sepertimu!” ucap geram Jumini.
Namun saat ia bersinggungan dengan Bu Gemi, tiba-tiba Jumini merasa tertarik keras, lalu menyatu dengan tubuh Bu Gemi.
Jumini merasa sedikit bingung dengan kontrol tubuh baru ini. Ia mencoba menggerakkan tangan dan kaki Bu Gemi, dan merasa sedikit tidak biasa dengan tubuh yang lebih besar dan berat.
"Apa yang terjadi?" Jumini berpikir, sambil mencoba mengontrol tubuh Bu Gemi. Ia melihat sekitar dan melihat beberapa teman Bu Gemi yang terkejut dengan perubahan sikap Bu Gemi.
"Bu Gemi, apa yang terjadi denganmu?" tanya salah satu teman Bu Gemi, sambil mundur sedikit karena takut. "Kamu kok tiba-tiba aneh?"
Bu Gemi yang dirasuki Jumini memandang teman-temannya dengan mata yang masih menyala merah karena amarah. "Aku baik-baik saja," ucap Bu Gemi dengan suara yang berbeda, lebih keras dan tegas.
Menyadari telah berhasil merasuki Bu Gemi, Jumini berjingkrak kegirangan, “Asik! Yes! Berhasil!” serunya yang tentu membuat teman-teman Bu Gemi saling menatap, bingung dengan perubahan sikap dan cara bicara tetangganya itu.
“Yu, kami hanya memujimu sedikit kok, kamu jangan terlalu kesenengan begitu, tingkahmu kok menakutkan, aku jadi merinding,” ucap ibu yang lain dengan dahi berkerut, dan ekspresi wajah takut.
Jumini membuat Bu Gemi berkacak pinggang, dengan ekspresi puas dan sombong. “Ah, benar! Dia ini mertua jahat! Pelit! Kalian jangan percaya dengan semua ucapannya!”
Merasa memiliki kesempatan suaranya didengar, Jumini jadi lupa tujuan awalnya ia kembali ke desa. Hingga akhirnya ia melihat Lasmi keluar dari toko dengan menenteng dua kresek di kedua tangannya, diikuti Seli di berjalan mengekor Lasmi.
“Seli!” pekik Jumini lalu menghambur memeluk Seli dengan tubuh Bu Gemi. “Anakku,” Isak lirih Jumini.
Lasmi terkejut, “A-anakku?” ucapnya merasa aneh dengan sikap Bu Gemi.
“Las, sini!” panggil salah satu ibu seraya melambaikan tangan agar Lasmi segera mendekat. “Bu Gemi tiba-tiba aneh, seperti orang lain,” bisiknya lagi saat Lasmi sudah di dekatnya.
Sontak Lasmi membulatkan kedua matanya, mulutnya pun menganga karena syok dengan apa yang dipikirkannya. Lasmie menoleh menatap Bu Gemi yang masih berjongkok memeluk Seli yang juga tampak pasrah dengan sikap sang nenek.
Lasmi segera menyerahkan dua kresek pesanan tetangganya itu, lalu menyuruh keduanya untuk pulang. “Bude, ini belanjaan kalian, biar aku yang urus, kalian pulang saja.”
“Kamu yakin? Soalnya aku buru-buru mau masak juga,” sahut salah satunya.
“Kalau makin aneh, lari aja, teriak sekenceng mungkin!”
“Huum, jangan lupa Seli dibawa, kasihan anak kecil itu kayak bingung.”
“Kita panggilkan Sukijo aja, biar dia yang atasi!”
“Ah, setuju, Bude, terimakasih ya!” balas Lasmi lalu berjalan perlahan mendekati Bu Gemi.
“Seli sayang, maafkan Ibu, ya Nak,” Isak lirih Jumini dalam tubuh mertuanya itu, membuat Lasmi semakin merinding sedikit takut, namun ada rasa penasaran.
‘Perasaanku nggak enak, mbak Jum merasuki mertuanya, lalu dimana Mas Parto?’ pikirnya lalu memberanikan diri bertanya. “Ka-kamu bi-bilang Se-Seli anakmu?”
Jumini menoleh ke arah Lasmi membuat gadis itu semakin bergidik ngeri, ditambah dengan senyum aneh dari bibir Bu Gemi, membuat Lasmi akhirnya mengalihkan pandangannya, ‘Auh, dia tersenyum atau menyeringai, asem bener, makin merinding akuh!’ gerutunya dalam hati.
“Eh, Lasmi. Ya tentulah dia anakku, udah tahu kok nanya toh, Las.” Begitu santai ucapan Jumini tak menyadari betapa keras jantung Lasmi terasa ingin pindah tempat karena menahan takut.
“Oh, iya! Gimana, kamu jadinya terima si Sugi jadi pacarmu nggak?”
Deg! Jantung Lasmi terasa berhenti berdetak. Kini ia semakin yakin bahwa dalam tubuh Bu Gemi, ada Jumini. Pasalnya hanya Jumini yang tahu satu rahasia tentang pertemanan Lasmi.
Lasmi mundur satu langkah, ia sedikit terhuyung kehilangan keseimbangan. “Ka-kamu m-m-mbak Jum?” ucapnya kali ini sangat tergagap karena ketakutan, hingga ia merasakan kedua kakinya sangat lemas.
“La-lalu di-dimana mas-mas Parto?!” tanya-nya lagi lalu menjatuhkan diri di tanah saking lemasnya.
“Ah, benar! Bantu aku, Las! Aduh, Parto dibakar bapakmu di gubuk! Di bukit sana!”
Ketakutan berubah menjadi kepanikan. Lasmi seakan mendapatkan seribu kekuatan baru, ia berlari sekencang mungkin, ia paham betul dimana letak gubuk itu. Air matanya mengalir deras, amarah, kecewa, panik, takut, kenangan buruk yang terjadi sebelumnya, semua bercampur jadi satu dalam benak gadis itu.
“Orang tua sialan! Kapan dia mau tobat!” pekiknya sambil berlari sekencang yang ia bisa.
...****************...
Bersambung....
Next bab sorean Ya, biar kalian emosi dulu🥴😎