NovelToon NovelToon
Giziania

Giziania

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:643
Nilai: 5
Nama Author: Juhidin

Ada satu komunitas muda-mudi di mana mereka dapat bersosialisasi selama tidurnya, dapat berinteraksi di alam mimpi. Mereka bercerita tentang alam bawah sadarnya itu pada orangtua, saudara, pasangan, juga ada beberapa yang bercerita pada teman dekat atau orang kepercayaannya.

Namun, hal yang menakjubkan justeru ada pada benda yang mereka tunjukkan, lencana keanggotaan tersebut persis perbekalan milik penjelajah waktu, bukan material ataupun teknologi dari peradaban Bumi. Selain xmatter, ada butir-cahaya di mana objek satu ini begitu penting.

Mereka tidak mempertanyakan tentang mimpi yang didengar, melainkan kesulitan mempercayai dan memahami mekanisme di balik alam bawah sadar mereka semua, kebingungan dengan sistem yang melatari sel dan barang canggih yang ada.

Dan di sini pun, Giziania tak begitu tertarik dengan konflik yang sedang viral di Komunitaz selain menemani ratunya melatih defender.

note: suka dengan bacaan yang berbau konflik? langsung temukan di chapter 20

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juhidin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 26

30 menit kemudian salah seorang memberitahu bahwa pesenan mereka sudah selasai dibuat. Akhirnya sebagian dari mereka kembali ke warung seblak.

"Katanya beres jam dua. Gimana sih?"

"Ya allah. Semua udah dibungkus."

Tinggallah 2 siswi di toko parfum.

Ira dipinta mencium aroma beberapa botol yang diperdebatkan.

"Kak, bantuin nyium dong. Wanginya," asong siswi ini, memberikan botol kecil.

"Hhssh-hhs!"

"Sama gak?'

"Bukan."

"Ganti," kata siswi kedua.

Ira menerima secangkir biji kopi. Setelah Ira endus, menetralkan hidung..

"Coba yang ini, Kak," siswi ini mengasongkan punggung tangannya.

Ira pun mengendus. Hsss!

"Iya. Baunya kayak gini," beritahu Ira.

"Tuh bener khan, Lis. Ini fresh-"

Si pendengar langsung membekap mulut temannya.

"Ya udah kita beli. Beli yang ini Fris. Lo jangan kasih tau namanya. Pada dongo dibilangin juga."

Yang dibekap mengangguk-angguk.

Si teman segera menurunkan tangannya.

"Bang yang ini aja kami belinya," gadis yang dibungkam ini memajukan satu botol kecil ke pemilik toko.

"Kak makasih ya buat waktunya. Maaf ngerepotin. Ini buat Kakak. Mungkin gue malah menyita acara kalian. Ini gantinya ya Kak. Sekali lagi maaf gue nyela konten kalian. Bikin gembel itu jadi kabur. Tolong.. Salamin ya sama kakak lo tuh."

Sambil menyalami Ira, si pembekap mulut menyelapkan selipat uang, menyogok Ira dengan akting pura-pura menjabat tangan, bahkan pelukan.

April meninggalkan gedung kantor.

April terjengah. Dia melihat Ira yang ternyata sudah kembali dari penculikan. April dapati Ira sedang menyantap dadar gulung di tengah perjalanan.

"Lo mulung di mana?" tanya April, di tengah pertemuan.

"Aku dikasih sama temennya."

"Ada update belum?" tanya April lagi soal memo stick.

"Hh," geleng Ira, tanggung karena masih mengunyah makanan.

"Gak ada Rose di sini. Lo serius mau nyari ke mall yang jauh itu, Ra?"

"Tisu, tisu.." asong Ira atas mulutnya.

April memeriksa sekitarnya. Lapangan terminal masih kosong dari orang-orang. "Kita gak boleh mencolok di lamsad, Ra. Ntar Mawar kebawa-bawa pasal sekian didetek petugas Panti."

Glith!

Ala pesulap, April segera mengelap bibir Ira dengan tisu hasil gesek jarinya.

Ira memajukan bibirnya, April sibuk menyekanha dengan tisu jadi-jadian.

Glith! Kertas tisu kembali masuk ke kulit April.

April menepuk-nepuk tangan, membersihkan sisa remah saus yang kering dan menempel.

Kedua gadis meneruskan pencarian, terminal ditinggalkan. Ira membuang plastik makanan saat menemukan tumpukan sampah di bawah tong.

"Rute deket, lewat mana, Pril?"

"Jalan Martadinata. Tujuh dua menit."

"Pasti jalan yang paling macet."

"Ntar bilang kalo lo capek."

Ngueng! Jsssh..! Jsssh..! Jessh!

Gerbang kereta dipadati para pemotor. Jalan ini terbagi dua, namun ruas kosong untuk lawan arus itu sedang diduduki mereka.

Sirene pos padam. Palang pembatas naik secara perlahan-lahan.

Deru-deru mesin roda dua mulai masuk melintasi rel. Suara klakson mengiringi aktivitas yang berlangsung.

Di sisi terpinggir, tampak Ira dan April yang berjalan kaki. Mereka sedang menyeberangi rel dua sepur dan hanya mereka yang jalan kaki.

Perlintasan kereta api siang ini sekadar tempat menunggu, adalah pentas kesabaran yang setiap hari diuji, di antara terik, debu, dan mesin yang tak pernah berhenti berderum.

Matahari sudah agak menyondong, sekitar jam 13-an, memantulkan cahayanya di aspal yang mulai lembek oleh sang surya.

Jalan utama kota Cinanas yang hanya selebar 8 meter, masih ramai sejak tadi. Kendaraan berlalu-lalang tak karuan, sepeda motor tua yang bunyinya seperti batuk kronis, dan sesekali truk pengangkut barang yang melintas dengan berat membuat jalan bergetar.

Kedua walking girl, masuk ke jalan Martadinata yang mana tiang papan nama terbaca di tikungan jalan tersebut.

Di situ, pedagang kaki lima berjajar. Ada yang menjual gorengan berminyak, es teh manis yang dinginnya bikin gigi ngilu, hingga pakaian bekas yang digantung asal-asalan.

Suara tawar-menawar berseliweran, kadang disela teriakan pemilik warung yang memanggil pelanggan setia. Bau minyak goreng, asap rokok, dan aroma keringat bercampur jadi satu, menjadi udara khas jalanan di kota ini.

"Kita bisa khan ya nelepon kak Rosma, Pril?"

"Lo mau kansel?"

"Gak, ihh.. Saldo aku bisa nyambung gak kalo aktif di sini. Pake Qris. Gitu."

"Oh mau nine exchange."

"Iya. Ehh. Aku ada cash juga sih, Pril. Aku dikasih sama cewek tadi. Kata dia kita lagi ngonten katanya."

"Ya udah. Lo naek ojol kek. Kalo mau cepet, Ra."

"Gak. Gue punya motor."

April diam tak menimpali selain terus melangkah menembus keramaian.

Sesekali, suara klakson nyaring memecah suasana, biasanya dari ojek fast food yang kesal karena jalannya terhalang pejalan kaki atau gara-gara pedagang yang nekat menyeberang.

Jalanan ini mungkin sempit dan berdebu, tapi di sini, hidup bergerak dalam irama sendiri tanpa terburu-buru, tapi juga tak pernah benar-benar berhenti.

Setiap sudut punya cerita, tiap wajah punya riwayat, dan setiap siang adalah pentas sederhana betapa ramainya kebebasan.

Di mall yang terlantar..

Nama bangunannya ternyata Star Mart Nasmall. Dari depan si besar sudah tampak kusam. Warga tidak berdagang di sekeliling zona ini mungkin karena dilarang.

Bagian sisi mall terlihat runtuh, tapi bukan akibat gempa. Proyek untuk membongkar bangunan ini tertunda. Mungkin masih bingung dengan air yang menggenang di bawah.

Ira dan April sudah di dalam. Lokasi cukup sunyi. Ira menggunakan senter ponsel saking gelapnya, tidak begitu takut dan abai dengan keringat yang membasahi.

"Adem. Hh.. Hh.."

Mereka sampai di lantai tengah, naik menapaki eskalator.

"Rose..?!" panggil April, membiarkan perutnya menyinari sekitar, beda dengan Ira yang menggunakan lampu senter.

Setelah gema ditelan gedung, mereka mulai menelusuri lorong lagi.

"Emang cara nyarinya harus gitu ya?" tanya Ira.

April mengiyakan sekaligus.. "Namanya juga usaha gak ada salahnya dicoba, Ra."

"Aku pengen nyoba pake toa. Boleh gak?"

"Gak."

"Emang toa-nya ada?"

"Jangan mencolok. Mawar bisa kebawa pasal gara-gara kita, Ra."

"Ohh.."

Di tikungan lorong, mereka melihat dua perempuan. Begitu juga dengan penghuni gedung, melihat dua pengunjungnya.

Ira mengenal salah satu penunggu tersebut, yang tak lain Rosma, yang seorang lagi wanita dewasa. Sesampainya, Ira diam saja di depan mereka, belum berani menanyakan atau memberitahu maksud dan tujuannya datang ke mall ini.

"Jadi masih nihil ya?" tanya April pada Rosma yang masih bersandar.

"Ada saran Girl? Kami lagi diskusi buat ke luar pulau. Mau nyisir di Aceh."

"Hai Ira," sapa wanita berbondu ini. "Salam dariku. Jika berkenan, engkau dan April akan pergi hari ini bersama kami."

Ira nyengir menatap wanita bersahabat itu. Dia menoleh pada April dan meraih tangan si algonet alias minta bantu bicara.

"Ira ingin tau nama Sri Ratu. Termasuk nama barang yang dikenakan di kepala."

"Ketahuilah bila kau ingin mendengarnya. Namaku Nanda. Aku mengenakan mahkotaku."

"Hehe.."

"Jawab kek.. Malah cangar-cengir. "

"Ng.. Iya, bentar April. Aku belum bisa halus."

"Lo mau ngobrol? Gue sama Rosma pergi duluan kalo gitu."

"Ng, Ratu.."

"Sampaikanlah," tanggap Nanda.

"Hehe.. Ng.. Anu.. Ratu.."

"Saudarimu? Hendaklah sampaikan sebagaimana cara engkau bicara padanya."

"Iya Kak. Tapi aku.. keburu tersanjung. Lu-lupa.. mau ngomong apa. Itu halus banget ngomongnya."

"Sungguh aku telah mengurangi kewaspadaan terhadapmu dari kewaspadaan di negeriku. Negeri jins. Engkau memilih jadi pendengar?"

"Hu-um. Hehe.. Tau aja. Iya aku nyimak aja Kak."

Nanda yang juga punya wajah muda segera menegakkan badan. Dua tangannya disatukan, sikapnya ini seperti memperlihat suatu etika dalam diskusi formal atau mungkin memang kebiasaannya begitu di negeri jins.

"Rose. Mengenainya aku dalam keraguan. Dikatakan kepadaku. Hendaklah kau mengunjunginya demi apa yang diberitakan."

Ira melirik April. Gadis hoodie putih ini bingung dan untunglah April dapat membaca pikiran Ira. "Sri Ratu ngejelasin alasannya singgah ke dunia manusia."

"Ohh."

"Demi fajar, aku mendapati diriku dalam suatu yang berkepanjangan. Dan sesungguhnya yang demikian telah ditetapkan untukku."

"Maksudnya Sri Ratu sudah nyari-nyari. Berhari-hari. Tapi Rose tak juga ditemukan," tafsir April, membiarkan dirinya dipandangi Ira.

"Rose mengadakan bahwa dirinya penuh murka paradok hingga dia jadikan yang demikian itu hukuman atasnya dalam waktu yang lama."

"Maksudnya kak Rose kenapa, Pril?"

"Trauma. Kurang lebih gitu pendapat Sri Ratu."

"Ohh. Trus gimana ya, Pril? Nih mirip sama kak Hen Hen."

"Aduhai. Kiranya tadi aku berpaling, maka aku termasuk orang-orang yang merugi," ucap Nanda lagi, berubah gelisah.

Hening. Semua menunggu Nanda dan menatap sang ratu yang tampak sedang memasang kuping, mendengar sesuatu.

1 menit kemudian..

"Hai, tamu-tamuku. Sudikah engkau berdua

membantu kami?" tanya Nanda.

"Ng, kami emang lagi nyari kak Rose, Ratu. I-iya. Ka-kami sudi," kata Ira dengan agak terbata.

"Aku tak mengetahuinya melainkan sedikit saja. Terdapat halangan pada tempat itu. Dia mengenal salah satu dari kalian yang ketika itu melalui untuk kedua kalinya."

"Protokol nih," ucap Rosma berubah serius begitu mendengar kalimat Nanda. "Akhirnya turun juga."

"Kita berpencar ato gimana?" tanya April.

"Gue pikir nunjuk ruangan paradok di Circlet sana, Pril. Kecuali gue lapar," beritahu Rosma.

"Circlet apa sih Pril? Aku boleh tau gak sih? Aku juga mau ngebantu."

Ira tampak deg-degan dan wajahnya sedikit cemas, gelagatnya seperti orang yang lama tak berguna alias merasa jadi beban negara.

"Circlet tuh tempat. Lokasi yang lebih jauh dari gudang xmatter di Pnin. Dulunya goa. Ntar gue jelasin lagi Ra. Lapangan sisir kita bukan di sana. Zona sisir kita tetap di Cinanas ini. Protokol barusan ngingetin Rosma. Itu juga buat kita yang lagi cari update."

"Eh, iya juga. Bentar," pinta Ira sambil merogoh saku bawah celana cargonya.

Rosma menatap April pernuh tanya.

"Agen Kencana," beritahu April, mencoba menjawab kebingungan Rosma.

"..??" Nanda.

"Fani hobi amat bikin suprise," komen Rosma agak kagum.

"Eh, ada Pril!"

Ira mendapati pesan baru di memo stick yang diambilnya. Di situ terbaca; TERDAPAT HALANGAN PADA TEMPAT ITU. DIA MENGENAL SALAH SATU DARI KALIAN YANG KETIKA ITU MELALUI UNTUK UNTUK KEDUA KALINYA.

Cratt! Kepala Nanda agak terdorong.

"Aduhai. Innalilah.. Betapa buruknya berita yang disampaikan oleh pemimpin-pemimpin mereka."

"Ada apa ya..?" bingung Ira.

April tak menjawab selain mendekat ke sisi Ira sambil melirik ke kiri dan kanannya. Begitu juga Rosma.

"Nature jin. Warga lokal, Pril."

"Bismillah..!" ucap Nanda.

Zrrthh! Nanda mengeluarkan mustika berupa tongkat invisible. "Aku telah memberitahu mereka tentang mustika ini. Mereka telah melampaui batas."

"Setuju, Ratu. Tanah mall ini bukan hasil korupsi."

Cratt! Bunyi misterius terdengar kembali mendorong kepala Nanda dan tertangkap oleh kuping Ira.

"Ayo Ra. Pergi."

"Kalian waspada di tangga."

Namun April dan Ira sudah berlari meninggalkan tempat.

Traang..! Treeng..

Bunyi tersebut sayup terdengar. Ira berhenti saat menyadarinya, tampak khawatir pada Nanda.

"Ra, ayo. Gue inget objek itu di terminal."

April kemudian menuruni eskalator begitu Ira mengiyakan.

Trang..

Bunyi itu terdengar lagi di kejauhan lorong. Ira tak melihat rambatan cahaya karena sudah mengikuti April turun.

Grrkkh! Satu anak tangga yang Ira pijak patah

"Ah!!"

Beruntung Ira masih berpegang pada pagar eskalator, kakinya tak jadi tergelincir.

"??!"

"Lanjut, lanjut..!" pinta Ira saat turun melewati April di mana masih menatapnya.

April memandang ke sekelilingnya, mencari tahu sesuatu yang baru dirasakan.

Traang..! Teng..!

"Urusan gue."

April diam menunggu. Di situ tetap sepi tak ada dentang denting pedang lagi.

"Ya udah! Tunggu Rose kalo gitu. Dia yang berwenang..."

Tak ada suara. Lorong telah sepi. April segera pergi meninggalkan tangga.

Dua jam kemudian, Ira dan April tiba di Dukuh. Mereka kembali ke kantor terminal sore ini. Namun di dalam, mereka masih tak menemukan apa-apa. Tidak ada artis terminal.

"Gak ada siapa-siapa, Ra. Apa malem aja gitu kita ke sini? Dateng di jam tidur artis?"

"Bukan dia kali, Pril.."

"Terus di mana halangannya?"

Ira masih sibuk meneguk air mineral. Tiba-tiba Ira diam.

"??"

"Apa halangan yang dimaksud itu jam?"

Ira berbalik. Dia cepat-cepat meninggalkan lawan diskusi. April bingung melihatnya karena Ira mendadak berjalan cepat, bahkan Ira kemudian lari.

Di tikungan tempat Ira nyaris tertabrak motor, gadis hoodie ini melihat-lihat sekitarnya. Dia membiarkan April menghampirinya, tapi begitu April datang...

"Hei, ini dia. Halangannya Ra."

.. April berjalan ke sisi jalan.

April tiba-tiba tertarik dengan roll kayu yang setinggi rumah itu, yang sembarangan ditaruh di tikungan ini.

"Rose..!"

Tukh! Tukh!

"Kamu yang mencolok, Pril. Masa iya, kayu diajak ngomong."

Di dekat mereka, tepatnya di lapak PKL yang terbengkalai, seseorang terbangun.

"Gue ngerasain.. Rose lagi di dalam Ra."

"Tapi kamu mencurigakan, April. Terus gimana, apa kayunya ngomong?"

April diam melihat lapak PKL. Ira menoleh, turut penasaran pada objek yang didiamkan April. Di sana ada perempuan yang juga sedang terpaku melihat mereka.

"Rose!"

Sesampainya di depan tenda, April masih diamati si gadis lusuh.

"Rose.. Hhh.. Kami nyariin lo. Gue April. Iya. Gue asistennya Tifani Aprilia."

"Fani?"

"Benar. Abah-abah itu ratu lo. Mereka ngelabuin mata lo."

"Hhh.. hhh, hh.."

Tiba-tiba lawan bicara April mulai berdengus-dengus.

"Ini Kak," asong Ira, langsung menyerahkan memo stik.

Si gadis membaca teks yang ada. JANGAN DENGAR APRIL. TANYAI MAWAR TENTANG ROSE.

"Hh.. hhh.. Hh, hh.."

Si gadis membalikkan kertas, dengus nafasnya semakin cepat saat membaca pesan yang ada. Entah ada masalah apa.

"Rose? Lo okay..?"

Si rambut semrawut tak menjawab. Dia memberikan memo stick yang dibacanya pada April.

Seunit Ninja lewat di dekat mereka, namun tiba-tiba berhenti. Brrm-

"Eh.. Kok diam?"

Ira tak hanya bingung melihat si pengendara motor, kebisingan di situ pun lenyap, lokasi tiba-tiba hening.

"Duh. April. Ini gara-gara kamu."

Ira mendapati kejadian lain, semua yang sedang bergerak di pasar Dukuh sudah diam. Gadis penunggu lapak pun turut diam dengan rambut sudah menutupi wajah, sedang nunduk, kedua tangannya mengepal.

"Berikan pada Ira," ucap April sambil memberikan memo stik.

PERGI KE PANTI. IKUTI ARPIL.

"Tapi.." cemas Ira setelah membaca pesan Ken dan memasukkannya ke saku sweater.

Zrrthh! Seruas garis vertikal muncul membelah diri jadi segi empat.

April langsung memburu memasukinya.

"Udah, Ra. Ayo cepet. Ditungguin."

"Tapi.."

"Ira! Masuk..!" pinta April di dalam lawang.

DRRRRHH..! Tikungan jalan bergetar, orang-orang di pasar menghilang, Ira masih saja bingung melihat pemandangan yang berlangsung.

Bluarh!! Motor di situ mendadak meletus melemparkan pengendaranya yang anti-raib.

Ledakan tersebut menghempaskan tubuh Ira ke roda kayu pinggir jalan.

"Aarh!!"

Tanpa pikir panjang, Ira segera bangun dari jatuhnya. Dia berlari ke lawang dimensi.

Tiang listrik roboh dan..

Rggh! Kabelnya yang nyaris putus mengencang dan menahan penyangga. Namun..

"Cepetan!"

Brughh..!

"Aarrh..!" seru Ira saat ada tiang yang baru ambruk di belakangnya.

Tiang tersebut membuat tanah jadi longsor dan Ira jatuh. Brugh!

Ira bangun kembali dari jatuhnya. Namun terlalu lambat, dia terjatuh lagi, gempa yang ada membuat tanah gembur langsung meluruh jatuh.

Ira yang mengapai tangan April berhasil ditarik masuk ke dalam portal.

"Hh, hh, hh..! Aduh.. hampir aja kebawa."

Nafas Ira tersengal-sengal, dia berhasil naik ke bibir portal dan berpijak di lantai Panti.

Zwtth..! Portal langsung menutup sendiri.

"Cek.. update. Hh, hh.. hh, hh.."

Ira merogoh saku jaket. Dia melihat pesan baru dan langsung membacakannya.

"Mading sekolahmu."

"Hadeh. Bangke.. Nyesel gue narik lo, Ra."

"Haha. Apa sih? Kamu mau bunuh aku?"

April diam sambil berbalik. Dia pergi meninggalkan Ira.

"April! Aku mau motorku..! Ahah.. Haha!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!