NovelToon NovelToon
Always Gonna Be You

Always Gonna Be You

Status: tamat
Genre:Romantis / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:4.2M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

Season 2


Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.

Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.

Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. I'll Be By Your Side

Rakai

Ia mendadak terbangun demi mendengar suara getar ponsel yang tersimpan di atas nakas.

Dddrrrttttttt Dddrrrttttttt Dddrrrttttttt Dddrrrttttttt Dddrrrttttttt Dddrrrttttttt

Dengan sebelah tangan ia meraba nakas, berusaha mencari letak ponsel. Namun tak ketemu juga, sementara ponsel kembali menggelepar.

Sambil menyipitkan mata yang pedas karena terpaksa bangun, ia sedikit mengangkat kepala untuk mencari ponsel di atas nakas.

Dddrrrttttttt Dddrrrttttttt Dddrrrttttttt

Rendra calling.....

Ia pun langsung mendengus sebal begitu melihat nama yang tertera di layar ponsel. Namun meski kesal tetap diangkatnya panggilan tersebut.

"Gila lu ya pagi buta gini!" salaknya kesal.

"B-bang R-rakai....."

Suara gemetar campur ketakutan di seberang sana membuatnya spontan terbangun.

Hatinya mendadak berdebar tak karuan, asumsi liar mulai banyak bermunculan di kepalanya. Kenapa Anggi sampai menelepon dini hari, melalui ponsel Rendra, dengan suara gemetar pula. Jangan bilang tuh anak brengsek kambuh lagi penyakit nakalnya! Sampai bikin Anggi nangis-nangis gemetaran. Atau justru lebih parah, ada orang tak dikenal menyerang mereka. Duh, Reeen, kenapa sih hidup lo nggak jauh-jauh dari yang namanya masalah?! Ujung-ujungnya gua yang pusing kan.

"A-abang sakit....."

Namun jawaban terpatah Anggi membuatnya bernafas lega, "Ya udah sih, suruh minum obat," ujarnya enteng. Gila aja tuh bocah, cuman sakit doang nyuruh bininya nelepon dini hari. Ganggu orang lagi tidur aja. Harus dikasih pelajaran nih besok biar bisa sopan dikit sama senior!

"A-abang badannya panas....."

Suara Anggi masih terpatah tak jelas. Membuatnya semakin mendengus kesal. Nih lama-lama laki bini ngeselin banget an jir, segala masalah diamprokin, dikira ia sejenis problem solving apa.

"Dikompres Nggi," desisnya sebal sambil menahan kantuk.

"U-udah Bang....M-masalahnya...."

"Ya udah besok pagi gua mampir ke apartemen kalian."

"S-sekarang Bang...."

Ia hampir melontarkan kata makian namun masih tertahan.

"Aku nggak kuat bawa Abang turun ke mobil."

"Kenapa mesti bawa ke mobil? Mau ke dokter? Besok pagi juga bi...."

Kalimatnya terpotong di udara karena Anggi keburu berkata dengan gemetar, "A-abang barusan pingsan...."

"APA?!?" ia terperanjat dan langsung terduduk.

"Aduh sayang....," lagi-lagi orang yang tertidur di sebelahnya mengeluh. Namun kali ini ia tak menggubris.

"Oke, Nggi, tenang.....," ia berusaha berpikir taktis. "Aku coba telepon sekuriti di lobby buat bantu angkat Rendra ke mobil."

"Aku kasih nomor ponsel kamu. Nanti kalau ada yang ngetok pintu tolong dibuka. Berarti itu sekuriti yang mau bantuin."

"Terus kamu tolong siapin semua yang perlu dibawa ke rumah sakit."

"Kita ketemu di IGD oke?" pungkasnya sambil menyebut nama RS yang terletak paling dekat dengan apartemen Rendra.

Dengan terbanting-banting ia bangun dari tempat tidur, meraih pakaian terdekat sekenanya.

***

Anggi

Ia duduk dengan gelisah di kursi tunggu IGD. Menanti dokter yang menangani Rendra keluar, juga menunggu Rakai yang berjanji akan datang.

Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruang tunggu. Meski masih dini hari namun suasana ruang tunggu cukup ramai. Tampak beberapa orang duduk menunggu seperti dirinya. Berwajah resah dan gelisah. Menanti dokter muncul membawa kabar baik.

"Anggi?!" sebuah panggilan bernada cemas campur lega mampir di telinganya. Terlihat Rakai datang setengah berlari dengan wajah pias dan nafas tersengal. "Mana Rendra?!"

"Di dalam," jawabnya cepat. "Masih diambil tindakan."

Rakai bersandar di salah satu sisi dinding ruang IGD sambil berusaha mengatur nafas. Setelah mulai bisa bernafas normal Rakai kembali bertanya, "Kenapa? Kemarin aku datang ke kantor dia udah pulang."

"Awalnya muntah-muntah, badannya menggigil kedinginan, terus tengah malam panas tinggi, sampai tadi sebelum nelpon Abang, tiba-tiba nggak respon lagi waktu aku....waktu aku....," ia mulai terbata-bata tak sanggup melanjutkan kalimat. Matanya mulai berkaca-kaca demi mengingat detik paling menakutkan yang dialaminya beberapa saat lalu.

 ----------------

"Abang?" ia menempelkan punggung tangan ke dahi Rendra, terasa panas luar biasa, dengan kelopak mata yang terbuka sebagian, hanya memperlihatkan warna putihnya saja, namun kali ini ia sedikit heran karena sklera milik Rendra telah berubah menjadi warna kuning. Sementara tangan Rendra terkulai lemas jatuh ke bawah tempat tidur.

"Abang?!?" ia langsung meraih tangan kanan Rendra yang terkulai, lalu meletakkannya di sisi tempat tidur. Perasaan kalut mulai menguasai pikiran karena Rendra tak juga merespon panggilannya meski dengan suara rintihan sekalipun.

Dengan gemetaran ia mencoba meletakkan telunjuk tepat di jalan nafas di depan hidung Rendra. Ia bisa sedikit bernafas lega karena masih terasa hembusan angin walau pelan.

Diliriknya jam digital di atas nakas, 01.30 WIB. Ia jelas harus membawa Rendra ke rumah sakit sekarang juga. Namun perawakan tubuh Rendra yang dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya, pasti akan menyulitkannya untuk berjalan membawa Rendra menuju ke tempat parkir.

Di saat genting seperti sekarang ini, yang pertama kali diingat adalah hal yang sering Rendra ucapkan berulang kali dalam setiap kesempatan, yang membuatnya jengah karena takut sesuatu benar-benar akan terjadi.

"Kalau terjadi sesuatu, langsung telepon Rakai. Kalau bisa pakai ponselku, Rakai bakal langsung bantu," begitu kata Rendra seringkali.

Dengan tangan gemetaran ia pun menelepon Rakai melalui ponsel Rendra.

 ------------------

Ia tak lagi mampu melanjutkan kalimat, membuat Rakai menepuk bahunya untuk menenangkan.

"Disini ada keluarga pasien yang baru datang? Laki-laki usia sekitar 25 tahun?" ujar seorang petugas berpakaian hijau yang baru keluar dari ruang IGD dengan membawa sejumlah kertas dokumen sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruang tunggu IGD.

"Saya," jawabnya cepat.

"Silahkan Mba urus administrasi di bagian pendaftaran lebih dulu," ujar petugas tersebut kembali masuk ke ruang IGD. Namun ia buru-buru menahannya.

"Suami saya gimana keadaannya?!"

"Masih dalam observasi dokter. Silahkan tunggu, nanti kami panggil kalau pasien sudah sadar," jawab petugas itu cepat sambil menutup pintu ruang IGD.

"Kamu disini aja, biar aku yang urus," ujar Rakai yang memintanya untuk duduk kembali.

"Pinjam kartu Rendra," lanjut Rakai lagi sebelum pergi menuju bagian pendaftaran.

Hampir satu jam ia menunggu. Sungguh waktu yang sangat lama untuk berkubang dalam rasa gelisah, cemas, dan takut yang berkumpul menjadi satu. Sementara Rakai belum juga kembali dari bagian pendaftaran. Tak lama kemudian, petugas berpakaian hijau akhirnya kembali keluar dari ruang IGD dan berteriak lantang, "Keluarga pasien Syailendra."

Ia langsung berdiri.

"Sudah diurus ke bagian pendaftaran?"

"Sudah. Abang saya yang urus, tapi mungkin belum selesai."

"Baik," petugas itu mengerti. "Mari, pasien sudah bisa ditemui."

Ia sampai harus menahan nafas saking merasa leganya. Dengan langkah-langkah panjang ia pun mengikuti petugas berpakaian hijau menuju tempat dimana Rendra dirawat.

"Silahkan ditunggu, sebentar lagi dokter akan datang untuk menjelaskan," petugas itu mempersilahkannya untuk duduk di kursi yang terletak di samping tempat tidur Rendra. Kemudian menutup tirai pembatas.

"Makasih," ia tersenyum dan mengangguk, lalu mendudukkan diri di kursi yang dimaksud. Dengan perasaan berkecamuk ia memandangi Rendra yang sepertinya tengah tertidur, dengan selang oksigen di hidung, dan selang infus di tangan kiri. Ia pun meraih tangan kanan Rendra yang masih terasa panas menyengat.

"Sweetie....," bisik Rendra lemah hampir tak terdengar.

"Abang?" ia terperanjat mendengar suara Rendra, kelegaan yang luar biasa membuatnya langsung memeluk tubuh besar Rendra dan meletakkan kepala di atas dada bidang yang juga terasa panas membara itu.

"Abang udah sadar?" bisiknya sambil menitikkan air mata saking leganya. Begini rasanya takut kehilangan. Sangat menakutkan.

"Aku nggak papa," bisik Rendra dengan suara lemah.

"Nggak papa apanya!" ia mencebik sambil menenggelamkan kepala dalam-dalam di dada Rendra. Disusul dengan sebuah telapak tangan yang lebar, besar, dan berat, yang kini mulai mengelus kepalanya lembut. Sungguh telapak tangan favoritnya.

"I'm okay....," bisik Rendra lagi.

Kulit pipinya yang menempel di dada Rendra semakin terasa panas, meski sudah terhalang baju seragam pasien rumah sakit yang kini telah dikenakan oleh Rendra. Membuatnya tersadar jika mereka tengah berada di rumah sakit. Pelan-pelan ia pun beranjak bangun, lalu menatap kelopak mata Rendra yang hanya terbuka segaris, itupun dengan susah payah.

"Abang istirahat aja," bisiknya sambil mengecup lembut pipi Rendra, yang juga terasa panas membara.

Bibir kering dan pucat Rendra sekilas menyunggingkan seulas senyum.

Sreeekkkk!

Tirai pembatas yang mengelilingi tempat tidur Rendra dibuka dengan gerakan cepat oleh seseorang, "Selamat Pagi Mba, dokternya sudah datang," begitu kata petugas berpakaian hijau.

Ia pun beringsut berdiri dan mendekati seorang berjas putih bersih dengan stetoskop di leher yang telah berada di sisi kaki tempat tidur Rendra.

"Selamat Pagi, perkenalkan saya dokter Ronald yang tadi menangani pasien."

Ia tersenyum mengangguk, "Suami saya sakit apa dok?"

"Untuk sakitnya apa masih kami lakukan observasi. Kurang lebih empat sampai lima jam ke depan."

"Jadi masih harus bersabar menunggu disini ya, belum bisa pindah ke ruang perawatan."

Ia mengangguk mengerti.

"Karena kami belum memiliki rekam medik pasien, jadi saya ingin bertanya beberapa hal."

"Iya dok, ini baru pertama kali kami kesini," jawabnya. "Emergency. Karena tadi suami saya nggak merespon apapun. Jadi saya bawa kesini yang terdekat dari tempat tinggal kami."

"Baik....," dokter Ronald memeriksa dokumen, lalu kembali bertanya. "Apa pasien baru melakukan perjalanan? Ke luar negeri mungkin?"

"Ya....mm....sekitar tiga bulan lalu."

"Ke?"

"UK, Spanyol, Perancis."

Dokter Ronald mengangguk-angguk sambil memberi catatan pada dokumen yang ada di tangannya.

"Apa sebelum sakit yang sekarang ada keluhan? Atau pernah opname di rumah sakit selama tiga bulan terakhir?"

"Tidak."

"Kalau dari hasil pemeriksaan lab awal, pasien mengalami kelelahan hingga menyebabkan dehidrasi. Kalau kita lihat hasil cek darahnya....ini, silahkan dilihat," dokter Ronald mengangsurkan selembar kertas berisi hasil uji lab darah lengkap.

Ia menerima dengan kening berkerut, disana tertulis Hb, leukosit, trombosit, dan seterusnya panjang hingga ke bawah.

"Hb nya rendah, leukosit tinggi tanda ada infeksi di dalam tubuh."

"Kemudian trombosit rendah, hanya 70.000. Tapi tadi sudah kami ambil darah lagi yang kedua kali untuk cek NS1 dan serologi, untuk mengetahui secara pasti ini DBD atau bukan. Nanti hasilnya bisa kita ketahui sekitar satu jam ke depan."

"Lalu kekentalan darah lumayan tinggi."

"Widal juga positif."

Ia semakin mengkerut, "Jadi suami saya sakit apa dok? DBD atau tipus?"

"Untuk lebih memastikan kita tunggu hasil cek lab yang kedua. Karena dua penyakit tersebut, DBD dan tipus, gejalanya hampir sama."

"Namun ada satu lagi yang perlu diperhatikan."

"Apa dok?"

"Warna putih mata pasien yang berubah kekuningan, menjadi salah satu indikasi terkena Hepatitis. Jadi, kita tunggu bersama hasil cek lab yang kedua. Sambil menunggu, pasien bisa beristirahat."

"Nanti petugas kami yang akan memberitahukan langkah selanjutnya."

"Apakah masih tetap disini atau bisa pindah ke ruang perawatan."

"Hepatitis dok?" ia menyergah. "Tapi beberapa bulan lalu, sebelum menikah, kami berdua sudah pernah melakukan tes HBsAg dan anti HBs, dua-duanya negatif."

"Oya?"

"Setelah hasil tes anti diketahui negatif, kami langsung melakukan suntik vaksin Hepatitis B sebanyak tiga kali."

"Kapan itu?"

"Kurang lebih sekitar enam bulan lalu....atau mungkin lebih dok. Kami mengikuti semua prosedur standar vaksin sebelum menikah. Salah satunya vaksin Hepatitis B."

"Baik," dokter Ronald kembali memberi catatan di dalam dokumen yang dibawanya.

"Setelah ini akan saya rekomendasikan ke dokter Haikal, spesialis penyakit dalam. Untuk penanganan lebih lanjut."

"Sekarang, silahkan tunggu disini, nanti ada petugas kami yang akan menginformasikan langkah selanjutnya."

Ia mengangguk, "Terima kasih banyak dok."

Dokter Ronald tersenyum dan mengangguk, kemudian pergi menuju pasien selanjutnya. Sementara itu, petugas berpakaian hijau menutup kembali tirai pembatas sambil berkata, "Ditunggu dulu ya Mba, nanti saya kesini lagi."

"Saya boleh tunggu disini?" tanyanya sambil menunjuk kursi yang berada di sisi tempat tidur Rendra.

"Boleh, silahkan."

"Makasih," ia tersenyum dan mengangguk. Begitu duduk, tirai pembatas kembali terbuka. Lalu muncul wajah Rakai dengan penuh rasa ingin tahu.

"Gimana? Sakit apa?"

"Masih nunggu cek lab yang kedua."

Rakai meraih kursi lain yang berada di salah satu sudut, kemudian mendudukkan diri diatasnya.

"Tapi tadi Hb rendah, trombosit rendah, widal positif."

"Wah, kena tipus lagi nih kayaknya."

"Ya, semoga cuma tipus Bang," ujarnya penuh harap. "Soalnya kata dokter Ronald tadi, nunggu hasil cek lab Hepatitis juga."

"Hepatitis?" Rakai terkejut. Sementara ia hanya mengangguk lemah.

Wajah Rakai berubah keruh, "Jangan kena lagi lah man," keluh Rakai sambil memijat ujung kaki Rendra. "Gila, badannya panas banget."

Namun ia lebih tertarik untuk membahas hal lain, "Emang Abang pernah kena Hepatitis?" Rendra tak pernah cerita secara detail penyakit apa saja yang pernah diderita. Ditambah, dengan hasil MCU rutin Rendra yang selalu bagus, membuatnya tak pernah berpikir untuk bertanya lebih detail.

Rakai mengangguk, "Dulu....udah lama banget, jaman masih sering keluar malam, lagi nakal-nakalnya," Rakai terkekeh pahit.

"Hepatitis apa?"

"Hepatitis B. Beh, lama sembuhnya sampai pas mau kuliah kayaknya baru bener-bener bersih. Kambuh-kambuhan terus."

"Mana anaknya nggak bisa diam. Pakai ikutan taekwondo, sering ikut kompetisi lagi, hadeh," Rakai geleng-geleng kepala, mungkin sedang mengingat kekeraskepalaan Rendra.

"Belum pas awal-awal kuliah sering kena tipus. Tuh tanya si Aji yang sering ngantar ke rumah sakit," lanjut Rakai sambil memandang masygul kearah Rendra yang tertidur pulas.

"Tapi waktu mau nikah, HBsAg nya negatif, anti HBs juga negatif," ia ikut memandangi Rendra yang sedang terlelap. Pikirannya kembali berkecamuk.

"Ya semoga saja memang cuma tipus," jawab Rakai berusaha menenangkan. "Jangan sakit aneh-aneh lah man. Jagoan masa sakit sih!"

Ia akhirnya memutuskan untuk ijin tidak masuk kerja. Rakai juga masih menunggu di IGD, dan sekarang sedang tertidur di bagian kaki Rendra. Sepertinya lelah sekali. Sementara ia sama sekali tak bisa memejamkan mata, apalagi untuk tidur. Kepalanya penuh dengan berbagai macam kekhawatiran sekaligus ketakutan.

Seperti, apakah ini efek jangka panjang dari free lifestyle Rendra selama bertahun-tahun silam? Satu dari sekian hal yang paling ditakutinya sejak pertama kali ia berani membuka hati untuk Rendra.

Tidak, jangan, ia menggeleng keras-keras saat bayangan buruk tiba-tiba melintas. Ya Allah, tolong sembuhkan Rendra. Sehatkan Rendra. Bisik hatinya sungguh-sungguh saat tersungkur diatas sajadah usai sholat Subuh di musholla rumah sakit.

Selama menunggu pula, hampir setiap setengah jam sekali, suster mengecek suhu tubuh, denyut nadi, dan detak jantung Rendra, sekaligus mengganti cairan infus yang cepat sekali habis.

Di pengecekan yang terakhir, suster berkata, "Sudah turun demamnya ya," sambil memperlihatkan termometer digital yang baru saja diarahkan ke dahi Rendra. 38,5 derajat.

"Tadi waktu pertama masuk 41 derajat," sambung suster lagi sambil menuliskan sesuatu di atas buku yang dibawanya. Pantesan badan Rendra panas membara seperti gunung berapi.

"Alhamdulillah," ia pun kini mulai bisa sedikit bernafas lega. "Makasih Sus," sambungnya sambil tersenyum mengangguk.

"Tunggu sampai suhunya 37, baru bisa pindah ke ruang perawatan."

Ia kembali mengangguk.

"Mbanya istirahat dulu. Nungguin yang sakit, nanti malah ikutan sakit," seloroh suster. "Di sayap timur ada kafetaria," lalu melihat kearah jam di pergelangan tangan. "Sekarang udah buka."

Ia jadi ikut tertawa, "Iya Suster, makasih banyak."

Begitu suster menutup kembali tirai pembatas, Rakai terbangun sambil menguap. "Ya ampun, kamu nggak tidur?" sambil mengucek mata mengernyit melihat kearahnya.

Ia hanya menggeleng pelan.

"Ya udah, aku beliin sarapan dulu ya. Mau makan apa?" Rakai melihat pergelangan tangannya.

Ia kembali menggeleng. Membuat Rakai menghembuskan nafas panjang.

"Oke, aku beliin makanan, nanti kamu makan ya," ujar Rakai akhirnya, sembari membuka tirai pembatas.

Setelah menunggu hingga sekitar pukul 08.10, akhirnya petugas berpakaian hijau kembali membuka tirai pembatas, kali ini datang bersama spesialis penyakit dalam, dr. Haikal.

"Assalamualaikum, apakabar?" dr. Haikal, yang sebelumnya ia bayangkan adalah seorang pria paruh baya dengan rambut beruban, namun ternyata masih sangat muda dan menarik, lengkap dengan gesture energik.

"Saya periksa dulu ya," dr. Haikal mulai melakukan pemeriksaan standar ke tubuh Rendra yang masih tertidur pulas.

"Dari tadi tidur ini? Belum bangun?" tanya dr. Haikal.

"Iya dok. Belum bangun," jawabnya cepat.

"Bagus. Biar istirahat, cepat sembuh," dr. Haikal menuliskan sesuatu di atas kertas dokumen yang disodorkan oleh suster.

"Jadi, suami saya sakit apa dok?"

Dr. Haikal masih menulis di beberapa lembar dokumen, sebelum akhirnya menjawab, "Pasien positif terkena virus hepatitis A."

Matanya membelalak kaget.

"Tapi nggak papa," dr. Haikal tersenyum menenangkan. "Bukan penyakit kronis. Bisa cepat sembuh, asal istirahat total dan teratur minum obat."

Kemudian beralih kearah suster, "Suhu sudah turun ya?"

"37,6, Dok," jawab Suster.

"Ya, karena suhu sudah mendekati normal, sekarang pasien bisa pindah ke ruang perawatan. Nanti tunggu informasi dari petugas ya," ujar dr. Haikal sambil menandatangani dokumen yang sedari tadi ditulisinya.

"Terima kasih banyak Dok," ia tersenyum mengangguk.

"Sama-sama. Semoga lekas sembuh ya," dr. Haikal pun menutup visit pertamanya.

Praktis ia mengajukan cuti besar. Biarlah, bagaimana perhitungannya nanti, yang penting ia bisa mendampingi selama Rendra dirawat di rumah sakit. Ia pun hanya sempat pulang ke apartemen sekali waktu, untuk mengambil baju dan keperluan lain. Karena setiap hari full tidur di rumah sakit, menemani Rendra.

Meski Rendra sering memintanya untuk pulang saja, tidur di apartemen, namun ia menolak. Hingga akhirnya Rendra menyerah, mau ditemani olehnya selama 24 jam penuh.

"Everythings gonna be okay...."

Rakai juga setiap hari datang ke rumah sakit. Membawakan makanan untuknya, membawakan perlengkapan untuk Rendra, membantu mengurus administrasi rumah sakit. Hingga menceritakan hal yang menurut Rakai lucu sampai membuat Rendra tertawa. Namun baginya justru terdengar aneh. Hmm, benar-benar selera humor yang berbeda.

"Orang sakit harus sering ketawa. Biar imunnya naik, bisa cepat sembuh," begitu terang Rakai saat ia mengernyit melihat Rakai dan Rendra tertawa bersama, entah sedang menertawakan apa.

Hari ketiga Rendra dirawat, Mamah Papah datang menjenguk. Sempat menginap sehari di rumah sakit. Namun esoknya harus segera pulang, karena Papah hanya mendapat ijin cuti selama dua hari.

Begitupula Papa, yang bahkan datang bersama Mama Amy dan Qeva. Menginap di hotel yang berada tak jauh dari rumah sakit.

Tak ketinggalan pula anak-anak ManjoMaju, Mreneo, teman-teman bisnis Rendra, hingga anak-anak kampus yang masih stay di Jogja, silih berganti datang menjenguk ke rumah sakit. Membuatnya dengan terpaksa memberi note ke suster jaga, jika pasien Syailendra tidak bersedia dijenguk. Berharap Rendra bisa maksimal beristirahat, agar cepat sembuh dan kembali pulih seperti sedia kala.

Hari ini adalah hari keenam Rendra dirawat di rumah sakit. Menurut dr. Haikal, jika cek lab sore ini semua elemen hasilnya bagus, maka besok Rendra sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Dengan catatan masih harus bed rest dan menjaga pola serta asupan makanan.

Saat ini ia sedang menumbuk temulawak di atas meja yang terletak di tengah paviliun. Untuk diminum Rendra dua jam sekali, sebelum dan sesudah jadwal minum obat. Resep yang diberikan oleh Mamah karena, "Dulu waktu awal menikah, Papahmu juga sempat kena liver. Dirawat sampai hampir sebulan malah di rumah sakit."

"Setiap hari, Mamah selalu buatin perasan temulawak untuk diminum. Alhamdulillah Papahmu cepat sembuh, dan nggak kambuh lagi sampai setua ini."

Alhasil, selama berhari-hari menyiapkan temulawak, membuat jari-jarinya berubah menjadi berwarna kuning dan susah untuk hilang. Untung Rendra adalah pasien yang baik dan penurut. Mau saja disuruh minum apapun yang ia berikan. Tanpa pernah protes dan rewel. Bahkan tanpa bertanya. Langsung hap. Menyenangkan sekali bukan?

Namun yang rewel justru Mama Amy. Sejak hari pertama datang menjenguk ke rumah sakit, Mama Amy selalu mengungkit tentang banyak hal yang membuat telinganya memerah panas.

"Gimana sih, kok bisa sakit? Suka makan sembarangan pasti. Anggi suka masakkin kamu nggak?" tanya Mama Amy kearah Rendra yang sedang tersenyum padanya.

"Jangan-jangan nggak pernah masak. Sibuk kerja. Suami nggak keurus."

"Memang udah waktunya sakit Ma," jawab Rendra sambil terus tersenyum kearahnya. Seolah memberi kode, 'tenang....tenang.....'

"Kecapekan kemarin abis honeymoon, langsung daftar paska, terus kuliah sambil kerja," lanjut Rendra.

Ia yang masih menumbuk temulawak hanya mencibir kearah Rendra yang terus saja melempar senyum.

"Kamu itu, jadi istri harus ngerti dan memahami suami," lanjut Mama Amy kearahnya semakin berapi-api. "Diurus, dirawat, diperhatikan. Bukan sibuk ngejar karier sama sekolah."

"Kalau udah sakit gini siapa yang repot? Ya semua!"

"Terutama Papamu itu yang khawatir Rendra kenapa-kenapa!"

"Kalau Papa khawatir berlebihan, kan malah tambah susah, bisa-bisa jantungnya anfal lagi, gara-gara mikirin Rendra!"

"Apalagi Rendra itu punya riwayat Hepatitis. Harus lebih apik. Harus....."

Ia masih bisa melihat Rendra tersenyum kearahnya, ia pun masih mendengar ocehan Mama Amy yang seperti mitraliur seolah tak bisa berhenti.

Namun sentakan kecil seperti arus listrik yang tiba-tiba menyengat tubuhnya membuat wajah tersenyum Rendra mendadak berubah samar, pun suara Mama Amy seperti berada di kejauhan.

Ia masih merasakan tubuhnya yang seolah melayang di udara untuk kemudian terhempas ke belakang, ketika tiba-tiba semua berubah menjadi gelap, dan suara Rendra yang berteriak panik, "Anggi?!?!"

***

Keterangan :

Sklera. : bagian warna putih dan keras pada bola mata

Temulawak : Pada pengobatan tradisional, temulawak bisa menjadi pilihan untuk mengobati hepatitis. Temulawak memiliki khasiat yang baik sebagai antioksidan dan antiinflmasi pada tubuh manusia.

Selain itu, temulawak mengandung kurkumin di dalamnya. Komponen kurkumin ini yang memberikan warna kuning di temulawak. Pada pengobatan hepatitis, kurkumin berperan sebagai pelindung terhadap hati atau disebut juga dengan hepatoprotektor. Mekanisme hepatoprotektif pada temulawak terjadi karena efek kurkumin sebagai antioksidan.

Sebagai antioksidan, kurkumin dapat melawan radikal bebas yang didapat dari hasil sampingan pada peradangan di hati. Dengan demikian, antioksidan ini dapat mencegah kerusakan sel hati semakin parah (sumber : hellosehat.com).

1
Esti Nengsich
ya ampun...
Mereka ngapain siii...
Afidatul Rifa
Owalahhh jadi pas Cakra masuk ganapati saat Regis ketemu Maba yg namanya Adit itu adeknya MBK Anggi Tah?? 😁 aduhhh baru ngeh pdahal baca novel ini sama si Cakra itu dah berkali" aduhh si othor memang the best bikin alur cerita dari ke 4 karya ini nyambung semua
Ardiansyah Gg
yg gk enak pas bagi raport bang... di panggil menurut absen... auto pulang terakhir kita 😆
"ariani's eomoni"
baca lagi,...gegara nonton jendela seribu sungai

gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
Erna P
kalo aq dah pingsang Nggi g sanggup.sejam perjalanan aja udah tepar.mabokan orangnya makanya g pernah kemana2 hu hu😭padahal pengen kek orang2.kalopun bisa jauh itu aq harus pake roda 2 baru kuat 3 4 jam jg ku jabanin
Erna P
sekarang justru momen2 sama si abang yg di inget ya bukan Dio 😁
Erna P
aq malah jd keinget momen mabanya Anggi sama si abang🤭kalo ada lagu kebyar2 gini
Erna P
abang Renen aq reread entah yg keberapa kali ini y ampun gamon bgt aq.aq salah satu mantanmu jg kah habisnya susah mupon😝😝
Naimatul Jannati
2025 aku balik lg baca,.nunggu kak thir bikin cerita bang riyadh sm inne ini😍😍
Anna Maria Hendraswari
Luar biasa
Hijri Rifai
sering bgt ku lihat nama KK author ini kl pas buka aplikasi ini... tp blm ada cerita baru... cuma judul ini yg blm di bukukan semua sudah di bukukan.... tp mmg semua ceritanya bagus bgt. apa mungkin KK author sedang melakukan riset dll utk judul baru...😂😂😂 sejujurnya ngarep bgt...
Hijri Rifai: kak nama penulisnya sama jg kl di kbm ... aku udah cari tapi blm ketemu.. aku sampai download kbm lho demi mau baca..
total 5 replies
mainrahasia
kota ini aman damai... ya Alloh... andai benar Jogja aman damai tak ada isu sara yg menjadi pemicu beberapa pertikaian... 😩😩😩
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
Haryo Tawang
Luar biasa
Haryo Tawang
Kecewa
St4891
udah baca gak tau udah yg k berapa kalinya, gak pernah bosen bacanya walaupun karya yg skrang udah banyak revisinya
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu
Esther Lestari
circle pertemanan yg gk kaleng2 nih....
Lala Trisulawati
Keren bngt.....♥️♥️♥️♥️♥️👍
Reni Novitasary
ga prnah bosan..baca lagi..lagi...dan lagi
Reni Novitasary
ngambil master sm dio d jepang/Smile/
Fitri Fitri
kepingin kayak cerita ini ☺☺☺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!