NovelToon NovelToon
Cinta Di Atas Abu

Cinta Di Atas Abu

Status: sedang berlangsung
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: RizkaAube

Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter : 23

Nara sontak berhenti melangkah. Wajahnya seketika berubah. la mengenali suara itu.

Zoya ikut berhenti di belakang Nara.

Pandangannya tertuju pada wanita cantik di hadapan mereka, berdiri angkuh dengan tatapan menilai dari ujung kepala hingga kaki. Aura sombong dan penuh penilaian terpancar jelas dari keduanya.

"Lusi," jawab Nara pelan, suaranya terdengar dingin namun masih berusaha tenang.

Lusi melangkah mendekat. Matanya menelusuri penampilan Nara dengan ekspresi mengejek, lalu melirik sekilas ke arah Zoya yang berdiri dibalik tubuh Nara.

"Wah, aku nggak nyangka perempuan murahan ini sekarang bisa santai-santai setelah menikah dengan Zean," katanya sambil menyeringai. "Sekarang sudah jadi nyonya ya?"

Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Tapi Nara tetap berdiri tegak.

"Jaga ucapan Anda!" sahut Zoya dengan nada tegas, tak bisa menahan amarahnya.

Namun Nara menoleh padanya dengan lembut dan menggeleng pelan. "Sudah, Zoya," ucapnya singkat namun tegas.Tatapannya kembali beralih ke Lusi, malas dan tidak tertarik.

"Kalau kamu ingin menyindir, cari tempat lain. Aku sedang tidak punya waktu untuk permainan seperti itu," balas Nara dengan suara rendah dan tatapannya yang dingin.

Zoya melirik Nara dengan takjub. Di balik wajah tenangnya, ia tahu hati Nara pasti tergores. Tapi nyonya mudanya itu memilih menahan diri, sesuatu yang tidak semua wanita muda bisa lakukan.

Lusi mendengus pelan, lalu tersenyum miring. "Berani juga sekarang. Tapi ingat, ini belum selesai. Lihat saja nanti."

Tanpa menunggu balasan, Lusi berbalik, diikuti dua temannya yang sejak tadi hanya menjadi penonton bisu.

Begitu Lusi benar-benar menghilang dari pandangan, Nara menghela napas panjang. Bahunya sedikit turun, seolah menumpahkan lelah yang baru saja dirinya tahan.

"Bu.." Zoya melangkah maju, "Anda tidak apa-apa?"

Nara tersenyum tipis, meski matanya tak ikut tersenyum.

"Tidak apa-apa. Dia hanya masa lalu yang belum selesai," ucapnya lirih.

Mereka pun melanjutkan langkah menuju mobil. Tapi hati Nara tahu, ini memang bukan akhir dari pertemuan mereka dengan Lusi, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar.

...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...

Malam mulai merayap turun, menyelimuti rumah besar itu dengan keheningan. Lampu-lampu taman menyala redup, memantulkan cahaya lembutnya ke jendela-jendela rumah yang kini tampak tenang di luar. Namun, di dalamnya, hati Nara justru terasa lebih gaduh dari biasanya.

Setelah mandi dan berganti pakaian tidur, Nara berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengusap perut datarnya dengan pelan. Di sana ada kehidupan kecil yang belum tahu apa pun tentang dunia. apalagi tentang kedua orang tuanya yang menjalani pernikahan tanpa cinta.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Zean masuk.

Wajahnya dingin, datar, tak menunjukkan ekspresi. Ia baru pulang dari kantor, dan seperti biasanya, tak menyapa, tak juga bertanya apa pun.

Nara hanya melirik melalui pantulan cermin. “Kamu sudah makan malam?” tanyanya pelan, sekadar basa-basi.

“Sudah,” jawab Zean singkat. Ia meletakkan jasnya di gantungan, lalu duduk di sisi ranjang, membuka jam tangan.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Udara terasa dingin, bukan karena pendingin ruangan, tapi karena jarak yang tak terlihat di antara dua orang yang terpaksa tinggal bersama. Padahal baru semalam mereka tidur berpelukan, namun kini sudah terasa asing kembali.

Nara duduk di sisi lain ranjang. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Namun bayang-bayang Lusi tadi membuat hatinya tak bisa diam.

“Zean,” ucapnya akhirnya.

Laki-laki itu menoleh perlahan. “Hmm?”

“Siang tadi… aku ketemu Lusi.”

Zean mengerutkan kening, namun ekspresinya tetap sulit ditebak.

Nara menunduk. “Dia… menghina aku. Menyebutku perempuan murahan.”

Zean hanya diam. Tidak membela, tidak juga menyalahkan.

“Dia menyindir soal pernikahan kita,” lanjut Nara. “Karena dirinya pikir… aku lah perempuan yang menjeratmu.”

Zean menatap Nara lebih lama kali ini. Tapi tatapan itu lebih dingin dari pada malam di luar jendela.

“Aku menikahimu karena tanggung jawab,” ucapnya pelan, tajam. “Dan kamu tahu itu sejak awal. Bukan karena aku cinta. Bukan karena juga aku ingin.”

Nara tersenyum miris. “Iya. Aku tahu.” Suaranya nyaris pecah. “Tapi kadang… kamu bisa berpikir untuk bersikap manusia, bukan hanya pria yang terpaksa akan bertanggung jawab.”

Zean berdiri. “Jangan mulai drama. Aku capek.”

“Aku juga capek, Zean,” ucap Nara sambil berdiri. “Aku capek dianggap seperti perempuan murahan yang merayu mu agar bisa menikah denganku. Padahal yang salah itu kamu. Yang merenggut hidupku… itu kamu.” Tangisan Nara pecah, dia berteriak sembari terus menunjuk Zean, hingga pada akhirnya dirinya terduduk ditepi ranjang, menangkup erat wajahnya dengan kedua telapak tangan yang sudah dibanjiri air mata kesedihan.

Untuk pertama kalinya, Zean menatapnya dengan sorot yang berbeda. Seolah ada sesuatu yang menyentuh relung hatinya, tapi terlalu cepat ditepis.

“Aku minta maaf karena sudah menghancurkanmu. Tapi jangan berharap aku akan mencintaimu.”

Srett…

Zean berjalan keluar kamar, membiarkan Nara sendiri di sana. gigil oleh kata-kata yang jauh lebih menusuk daripada penghinaan Lusi siang tadi.

Begitu pintu tertutup, Nara semakin tak mampu menahan tangisannya.memeluk dirinya sendiri.

“Aku nggak butuh cinta kamu,” bisiknya lirih. “Tapi bisakah kamu lihat aku… meski hanya sekali saja… sebagai perempuan yang terluka, bukan perempuan yang menyusahkan?”

Di perutnya, kehidupan kecil itu tetap tumbuh. Nara tahu, ia harus kuat. Bukan karena Zean. Tapi karena bayi yang kini menjadi satu-satunya alasannya bertahan.

...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...

Pagi itu, Zean terbangun lebih awal dari biasanya. Ada rasa tak nyaman di perutnya, seperti sesuatu yang terus mengaduk dari dalam. Ia menahan mual yang semakin mendesak, lalu bangkit dengan langkah tergesa menuju kamar mandi.

Tak lama kemudian, suara muntah terdengar. Nara yang sedang menyisir rambut di depan cermin refleks menoleh. Alisnya bertaut, wajahnya sedikit menegang oleh rasa panik yang ia sembunyikan.

Zean keluar sambil mengelap mulut dengan handuk kecil. Wajahnya terlihat pucat, matanya sayu.

Namun Nara hanya diam, membiarkan pandangan mereka bertemu sekilas lalu beralih begitu saja.

Ada sesuatu yang menahan lidahnya untuk bertanya. Mungkin karena sisa perdebatan semalam masih menggantung di antara mereka. Rasanya canggung untuk menunjukkan kepedulian, meski hatinya justru dipenuhi tanda tanya.

Ingatan Nara terlempar pada sesuatu yang pernah ia baca dalam panduan kehamilan. Mungkin beberapa pria bisa mengalami gejala mirip kehamilan. Mual, bahkan ngidam sebagai reaksi emosional dan fisik ketika pasangannya sedang mengandung.

Diam-diam dirinya melirik Zean, dengan perasaan menimbang-nimbang. “Apa mungkin… ini ada hubungannya dengan bayiku?” batinnya bergetar.

1
Bintang
Smgt 🌷
Etit Rostifah
lanjut ...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!