Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Disangka Merebut
Saat aku kembali ke kelas, ternyata semesta masih berpihak padaku, kelas sedang jamkos (jam kosong). Tanpa guru. Tanpa pelajaran. Tanpa interogasi dari wali kelas atau hukuman yang melelahkan. Hanya suara gaduh ringan dari teman-teman yang mengisi waktu dengan candaan.
"Sya, darimana lo?" tanya Khalif sambil menoleh ke arahku.
"Sepertinya dari jadi koki di kantin deh," sela Raka cepat, dengan senyum jail khasnya.
Aku cuma duduk diam di bangkuku tanpa membalas. Energi buat bercanda? Kosong. Bahkan untuk tersenyum pun rasanya berat. Khalif dan Raka saling pandang, jelas melihat ada yang berbeda.
"Sya, lo kenapa?" tanya Khalif lagi. Namun kali ini lebih serius.
"Gapapa," jawabku singkat.
"Pipi lo merah gitu," kata Raka sambil memperhatikan wajahku lebih dekat.
Aku reflek mengusap pipi kanan dengan telapak tangan, mencoba menyembunyikan bekas tamparan yang masih terasa perih.
"Ngga kok," kataku lagi. "Cuma kepanasan aja tadi di luar. Butuh ngadem."
"Masa sih?" suara mereka penuh curiga, tapi aku tetap bertahan pada kebohongan kecil itu. Bukan karena takut, aku cuma nggak mau memperpanjang masalah. Udah cukup keributan hari ini.
Aku buru-buru mengalihkan topik.
"Eh, kalian udah liat belum daftar tempat magang sesi dua?"
"Belum," jawab mereka serempak. "Emang udah keluar?"
"Iya, udah. Gue di Cabang Bank Daerah."
"Gue dimana, Sya?" tanya Raka dan Khalif bersamaan.
"Gak tau. Liat aja sendiri sana," jawabku setengah bercanda.
"Liatin sekalian kek," protes Raka.
"Emang ya anak ini," tambah Khalif, kesal.
Aku nyengir.
"Lo satu tempat sama siapa?" tanya Khalif lagi.
Aku diam sejenak, lalu pandanganku melayang ke arah Afiq, yang sedang asik ngobrol dengan Jevan di kursi belakang.
"Hmm... Sama Afiq. Sama Safira juga."
Mendengar namanya disebut, Afiq langsung menoleh.
"Bener Sya kita satu tempat?" celetuknya.
"Iya," jawabku singkat.
"Wiihh, bisa jadi bestie kita, Sya!" ucapnya dengan tawa.
"Ogah bestiean sama lo," jawabku refleks.
Mereka semua tertawa.
...****************...
Sore itu, angin berhembus pelan membawa sisa lelah dari hari yang panjang. Aku duduk di depan rumah, menatap jalan kosong, mencoba menenangkan kepala setelah insiden siang tadi di sekolah. Belum sempat benar-benar tenang, notifikasi masuk ke ponselku.
...Yumna...
Sya, sibuk ga?
^^^Ngga. Kenapa Yum?^^^
Mau nelfon boleh?
^^^Boleh. ^^^
Tak lama kemudian, ponselku berdering. Aku mengangkat ponsel dengan senyum yang mulai terbit, berharap obrolan ringan dari sahabat bisa menutup hari yang melelahkan ini.
"Halo Yumna," sapaku, mencoba ceria. "Kangen gue ya?"
Yumna tertawa kecil. "Hahaha, iya kangen lah." Tapi entah kenapa, suaranya terdengar ganjil, seperti sedang menahan sesuatu.
Aku langsung bisa menangkapnya. "Ada apa Yum?Ngomong aja gapapa."
Ia diam sejenak. Lalu ia berkata pelan, tapi jelas.
"Sya, lo bisa nggak jauhin Raka?"
Aku terdiam. "Ha? Gimana Yum?"
"Gue cemburu Sya. Raka sekarang suka chatan sama lo."
Aku menghela napas pelan. "Chatan? Lo emang nggak baca isi chatannya apa?"
"Ngga sih. Gue ga mau makin overthinking, apalagi sekarang kami lagi ga bareng. Dia sekolah, gue magang. Gue harap lo ngerti ya, Sya."
Aku menahan kata-kata yang sempat menumpuk di ujung lidahku. Tapi akhirnya aku memilih tenang dan tidak menjelaskan isi kepalaku lebih lanjut.
"Oke, Yum. Gue bakal jauhin Raka biar lo tenang. Santai aja. Gue malah seneng lo jujur langsung ke gue daripada ngomongin gue di belakang."
"Okay Sya," jawabnya lirih, lalu menutup telepon.
Setelah panggilan itu, aku masuk ke kamar dan merebahkan diri di kasurku. Berat sekali hari ini. Siang dilabrak dengan kasar, sore dilabrak dengan halus. Kayaknya tinggal malam aja yang belum nendang gue, gumamku dalam hati.
Aku membuka kontak Raka, lalu scroll riwayat chat kami. Kali aja, siapa tahu memang ada yang kelewatan, atau aku tanpa sadar melewati batas.
...Raka...
Sya, Yumna kok berubah sekarang?
Bantuin gue surprisein Yumna dong, Sya. Tapi jangan bilang ke Yumna ya.
Sya, masa gue disuruh jemput Yumna depan gang, gue gamau lah. Gue harus apa ya Sya? Kasih saran dong biar dia izinin ketemu orang tuanya buat pamitan.
Yumna sukanya apa, Sya? Gue mau beliin hadiah, tapi gamau dia tau. Biar surprise.
Dia suka gue juga ngga sih? Atau dia suka cowok lain ya? Kadang kalau dichat suka cuek.
Sya, laporan laba ruginya bener ga kaya gini?
Sya, edit filmnya gini? Bagus yang mana cuy? Pusing gue.
Hampir seluruh isi obrolan kami tentang Yumna atau tugas. Aku membaca ulang beberapa kali, mencoba mencari celah sebagai kata-kata yang bisa disalahpahami. Tapi tidak ada. Ini semua murni percakapan teman.
Yah, anggaplah Yumna lagi bulol (bucin tolol).
Tapi tetap saja, ini mulai terasa sesak. Satu persatu orang di sekelilingku mulai menjauh atau malah menyerangku. Apakah aku memang salah? Atau memang aku saja yang terlalu mudah dianggap ancaman hanya karena jadi tempat nyaman bagi beberapa orang?
Kupikir drama hari ini sudah selesai. Tapi ternyata semesta belum puas menjatuhkanku. Malamnya, saat aku sudah rebahan dan hampir terlelap, ponselku kembali berdering. Nama Mira muncul di layar.
Aku tarik napas panjang sebelum mengangkat.
"Tisyaaa," sapa Mira dengan suara ceria, tapi entah kenapa, telingaku sudah bisa membedakan nada basa-basinya.
"Malem, Mir."
"Lo gak kangen gue, Sya?" tanyanya sok manja.
"Kangen lah. Sama kalian semua." Aku jawab seadanya.
"Abisnya gue liat lo asik banget sama geng baru. Kirain udah lupa sama kami."
Aku mengerutkan dahi. Teori apa lagi ini?
"Geng baru?"
"Iya. Gue liat di story lo, ada Khalif, Raka, Tisyam, Afiq, Jevan."
"Ya gimana, Mir. Kalian nggak ada. Yang deket cuma mereka. Main sama mereka ya udah paling logis," jawabku tenang.
Mira diam sejenak, lalu menghela napas panjang, nadanya berubah sedikit getir.
"Enak ya jadi lo, Sya. Udah pinter, cantik, keluarga cemara, kesayangan abang, semua cowok suka lo lagi."
Aku tersenyum miris, lelah sebenarnya.
"Temenan itu bukan berarti suka, Mira."
Tapi kalimat selanjutnya membuat jantungku berdegup sedikit lebih cepat.
"Kenapa sih semua cowok yang gue suka, lo rebut?" katanya sambil tertawa, tapi aku tahu, tawa itu lebih ke menutupi perih.
"Emang siapa yang gue rebut, Mir?"
"Nizan. Sekarang Afiq."
Aku langsung bangun dari posisi tidurku.
"Nizan? Afiq? Lo masih suka sama Afiq?"
"Masih," katanya jujur. "Gue rencana mau nembak dia pas kelulusan."
"Hah? Gimana-gimana? Bukannya lo sekarang deket sama Azzam?"
"Udah nggak. Gue sekarang lagi deket sama Afiq."
"Bukannya kata lo, Afiq anggap lo kayak kakaknya aja?"
"Iya, Sya. Tapi gue deket kok sama keluarganya. Berarti masih ada harapan kan?"
Aku menahan diri untuk tidak langsung memotong.
"Terus Azzam gimana?"
"Ya nggak gimana gimana. Kami nggak cocok, udah selesai."
Aku diam sejenak, lalu bertanya dengan hati-hati. "Lo serius sama Afiq? Yakin Afiq beneran suka sama lo? Gue nggak mau lo di PHP in Afiq lagi, kayak waktu kelas sepuluh."
"Enggak, Tisya. Kali ini gue serius. Gue cuma mau sama Afiq."
"Sama Nizan juga nggak?"
"Nggak. Gue maunya Afiq."
Aku mengangguk pelan, meski dia tak bisa melihat.
"Hm. Ya udah kalau gitu."
"Okey, Tisya. Lo emang sahabat gue paling pengertian."
Telepon pun berakhir. Tapi pikiranku malah baru mulai berputar.
Semua orang punya versinya sendiri. Versi siapa yang salah, siapa yang benar, siapa yang merebut, dan siapa yang terluka.
Dan aku? Aku hanya ada di tengah-tengah, dijadikan layar untuk mereka pantulkan rasa, keinginan, dan asumsi mereka.
Malam ini, aku akhirnya sadar, bahwa menjadi pusat perhatian ternyata lebih melelahkan dari kelihatannya.