NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dalam mimpi pun tak sudi

Rumah itu sunyi. Hanya suara langkah kecil Audy yang terdengar memantul di lantai marmer. Aroma bunga lili dari vas meja masih segar—seperti baru diganti sore tadi oleh para pelayan.

“Daddy belum pulang…” bisiknya, setengah lega, setengah kosong.

Tanpa melepas heels-nya, Audy langsung berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Detik itu juga, dunia luar seolah tak berarti. Ia menutup pintu kamarnya dengan cepat, bersandar pada daun pintu sambil menekan dada yang berdebar tak karuan.

Napasnya terengah.

Wajahnya masih panas.

Dan di kepalanya, suara Aldrich terus terngiang—

“Aku tidak akan membiarkanmu lari sejauh ini dariku.”

Nada suaranya… dalam, berat, dan seolah menancap di dada Audy.

Ia memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya keras-keras, “apa yang tadi terjadi…?”

Dengan langkah terburu-buru, Audy menuju kamar mandi. Cahaya putih di ruangan itu membuat wajahnya terlihat lebih pucat. Ia menatap bayangannya di cermin besar di atas wastafel, kedua tangannya menumpu di tepinya, tubuhnya sedikit bergetar.

Ia menurunkan sedikit gaunnya, lalu matanya membulat.

Napasnya tercekat.

“Ya Tuhan…”

Ia menunduk, menatap pantulan leher dan sekitarnya—dan di sana, samar tapi jelas, beberapa bercak merah menghiasi kulit pucat di bawah tulang selangka. Tidak dalam, tidak kasar, tapi cukup untuk membuat kepalanya berputar.

“Tidak… ini tidak mungkin…”

Tangannya refleks menyentuh kulit itu—hangat, masih terasa sisa denyut di sana. Ia mundur selangkah, punggungnya menempel pada dinding dingin. Matanya mulai basah.

Semua kejadian di mobil tadi menari di pikirannya—tatapan Aldrich, jarak yang terlalu dekat, desahan napas yang bercampur gugup dan keinginan yang tak sempat ia pahami.

Dan kini, bukti kecil di kulitnya seperti pengingat yang menyengat.

“Kenapa aku…” suaranya bergetar. Ia menatap cermin lagi, kali ini lebih lama. Tatapan gadis berambut hitam dengan gaun satin lembut di sana bukanlah sosok yang biasa ia lihat setiap pagi. Ada sesuatu yang berbeda—samar, tapi jelas: rapuh dan nyata.

Audy menutup wajahnya dengan tangan, “aku bodoh… aku terlalu dekat…”

.....

Guyuran air shower jatuh deras membasahi wajahnya. Audy menunduk, membiarkan air hangat itu menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil. Setiap kali ia mengingat perjalanan pulang tadi, napasnya tercekat—antara marah, bingung, dan malu sendiri.

Ia bukan gadis yang mudah diombang-ambingkan perasaan. Tapi sejak bekerja dekat dengan Aldrich, seolah seluruh sistem logikanya kacau balau.

“Kenapa aku bisa begini…” gumamnya pelan, suara itu tenggelam di bawah derasnya air.

Beberapa menit kemudian, Audy keluar dari kamar mandi dengan rambut masih setengah basah. Ia mengenakan piyama sederhana, lalu duduk di pinggir ranjang. Ponselnya bergetar di meja nakas.

Layar menampilkan satu pesan baru.

Dari: Aldrich.

“Sudah sampai rumah dengan selamat?”

Audy menatap pesan itu lama. Tangannya hampir mengetik balasan, tapi kemudian berhenti. Ia menggigit bibir, memejamkan mata.

Beberapa detik kemudian, pesan baru masuk lagi.

“Jangan terlalu lama memikirkan hal-hal yang tak perlu. Istirahatlah. Dan… jangan terlalu lama memandang tanda kehadiranku malam ini.”

Audy membeku. Ia menatap layar itu cukup lama hingga huruf-hurufnya seolah menari di matanya.

“Tanda kehadiran…?” ulangnya pelan, menirukan sebagian kata itu, seolah berusaha menafsirkan makna yang mungkin lebih dalam dari sekadar pesan iseng.

Ia meletakkan ponselnya dengan napas berat.

“Dasar pria absurd…” gumamnya kesal, tapi rona merah di pipinya tak bisa berbohong.

Audy lalu menarik selimut, menenggelamkan wajahnya di bantal, mencoba melupakan semua yang terjadi hari itu. Tapi entah kenapa, bayangan Aldrich—dengan senyum tengil dan tatapan yang terlalu sulit dibaca—selalu muncul di sudut pikirannya.

Dan di antara rasa kesal dan malu, ada sesuatu yang baru: degup yang ia tak tahu harus ditolak atau diterima.

_____

Sementara itu di tempat lain, uap hangat memenuhi kamar mandi. Aldrich berdiri di depan wastafel, hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya masih basah, tetes air menuruni leher hingga dada bidangnya.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin.

Beberapa detik diam. Lalu bibirnya terangkat—senyum yang samar, tapi jelas penuh arti.

Pikirannya kembali pada wajah Audy tadi.

Bagaimana gadis itu memalingkan pandangan dengan pipi merah, bagaimana matanya bergetar ketika mencoba bersikap tegas, dan bagaimana… suaranya melemah di antara ketegangan.

“Lucu sekali,” gumam Aldrich pelan, “selalu ingin marah, tapi tetap saja menuruti.”

Pandangannya bergeser ke ponsel yang tergeletak di meja. Layar masih menyala, menampilkan pesan terakhir yang baru saja ia kirim.

“Jangan terlalu lama memandang tanda kehadiranku malam ini.”

Ia terkekeh pelan, menatap pantulan dirinya lagi.

“Ya Tuhan, aku bahkan belum pernah sekonyol ini karena perempuan,” ucapya, separuh geli, separuh tak percaya.

Namun di balik nada main-main itu, ada sesuatu yang lebih dalam.

Sesuatu yang bahkan Aldrich sendiri belum siap akui—bahwa gadis itu, dengan segala kepolosan dan sikap keras kepalanya, mulai menyentuh sisi dirinya yang lama tertutup.

Ia berjalan keluar kamar mandi, menyalakan lampu redup di kamarnya.

“Tidurlah, Sinclair kecil,” gumamnya lirih, hampir seperti doa yang tersembunyi di antara kesombongan seorang pria.

“Besok, aku akan membuatmu semakin sulit membedakan antara benci dan suka.”

_____

Lampu kamar sudah diredupkan. Audy baru saja menyalakan diffuser di meja riasnya, aroma lavender mulai memenuhi ruangan. Rambutnya masih lembap, kulitnya yang sensitif masih terasa perih di sekitar leher—hasil ulah bos menyebalkan itu.

Ia baru saja hendak memejamkan mata, namun ponselnya bergetar di atas nakas.

Nama di layar membuatnya otomatis mendengus.

Aldrich. Lagi.

“Serius? Malam-malam begini?” gumamnya sebal.

Panggilan pertama ia abaikan.

Lalu panggilan kedua muncul.

Ia tetap tidak menjawab.

Namun saat layar kembali menyala untuk ketiga kalinya, rasa kesalnya kalah oleh rasa takut.

Takut jika bos itu tiba-tiba marah dan menjadikannya alasan untuk ceramah sepagi buta.

Dengan pasrah, Audy menekan tombol hijau.

“Ya?” suaranya datar, nyaris seperti orang yang baru dibangunkan.

Suara bariton di seberang terdengar santai, bahkan terlalu santai.

“Sudah tidur?”

“Harusnya sudah,” balas Audy cepat. “Tapi ada seseorang yang tampaknya senang mengganggu waktu istirahat asistennya.”

Aldrich tertawa pelan, “tepat sekali dugaanku. Jadi kau belum tidur.”

Audy menghela napas panjang, “Bapak tidak punya pekerjaan lain selain menebak jadwal tidur saya?”

“Punya,” jawab Aldrich ringan, “tapi malam ini… pikiranku agak penuh.”

“Dengan apa? Proposal klien?” sindir Audy.

“Hm, lebih ke seseorang yang membuatku sulit tidur,” sahut Aldrich santai.

Audy spontan menegakkan tubuhnya di ranjang. “Astaga, jangan bilang Bapak masih membahas makan malam tadi! Saya bukan alasan insomnia Anda, Pak Aldrich Dario Jourell.”

“Siapa bilang?” ucap Aldrich lembut, tapi menggoda, “kau terlalu cepat menyimpulkan, Nona Sinclair.”

Audy terdiam sejenak.

Nada lembut itu membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Tapi ia buru-buru menegakkan suara lagi. “Saya mau tidur, Pak. Besok pagi saya harus datang lebih awal, bukan untuk menerima telepon jam segini.”

“Hm, baiklah. Tapi pastikan kau benar-benar tidur, bukan membayangkan sentuhanku,” kata Aldrich, nada suaranya terdengar menahan tawa.

“Dalam mimpi pun saya tidak mau,” sergah Audy ketus.

“Lihat saja nanti,” balas Aldrich ringan, sebelum sambungan terputus.

Audy melempar ponselnya ke bantal, menatap langit-langit kamar dengan wajah campur aduk antara jengkel dan… entah apa.

“Dasar bos aneh. Siapa pula yang memikirkan dia?” gumamnya, tapi senyum kecil tak bisa ia tahan di sudut bibirnya.

Ia menarik selimut, memejamkan mata, berharap benar-benar bisa tidur.

Namun di balik kelopak matanya, suara tawa Aldrich terus bergema pelan—menyebalkan, tapi hangat.

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!