Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
His Way
Langkah sepatu bergema di dalam kamar, pelan namun tetap terdengar jelas di tengah keheningan. Udara seakan makin berat, setiap tarikan napas pun terasa menekan.
Dr. Léon Marchand, pria paruh baya dengan sorot mata jernih dengan kacamata tipis di wajahnya, berdiri di sisi tempat tidur.
Jari-jarinya mengetuk ringan layar tablet digital sebelum akhirnya ia menatap Nicko yang berdiri tegak, tanpa suara, di sebelah ranjang.
Tatapan dokter itu datar. Tenang, profesional, tanpa ekspresi berlebihan.
“Kondisinya mengarah pada respons akut akibat trauma kompleks,” ucap Dr. Léon dengan suara stabil. “Ada indikasi gangguan neurologis. Kemungkinan besar prosopagnosia.”
Ia menurunkan pandangan sebentar ke tablet di tangannya, lalu melanjutkan.
“Saat Nona Sara sadar, tubuhnya mengalami kejutan emosional yang sangat berat. Sistem sarafnya tidak mampu menahan lonjakan itu...sehingga otomatis masuk ke mode tak sadarkan diri.”
Ia menggeser data di layar, nadanya tetap rata tanpa intonasi berlebih.
“Pingsan selama hampir dua hari bukan efek lelah atau stres biasa. Itu reaksi biologis terhadap rasa takut yang tidak tersalurkan. Jika pola ini berulang, dampaknya bisa jauh lebih serius.”
Nicko tidak menjawab.
Ia hanya menatap Sara yang terbaring di ranjang dengan mata tertutup rapat. Napasnya lemah, kulitnya pucat. Tapi tubuh itu masih bernyawa.
Masih bisa dia jaga. Masih bisa... dia miliki.
"Kalau Anda sungguh ingin dia pulih," lanjut sang dokter.
"Maka Anda harus menciptakan lingkungan yang stabil. Aman. Tidak boleh ada tekanan, tidak boleh ada emosi berlebihan."
"Jangan paksa dia mengingat. Dan jangan pernah... membuatnya tertekan lagi."
Nicko hanya mengangguk pelan.
Dokter menatapnya sesaat sebelum akhirnya berkata,
"Kami akan siaga di luar. Jika kondisinya berubah, silakan tekan tombol."
Begitu pintu tertutup, ruangan kembali sunyi. Hanya deru AC dan suara detak jam di dinding yang terdengar.
Nicko duduk di sisi tempat tidur. Tangannya menyentuh selimut dengan perlahan. Ada luka yang tidak kelihatan, tapi terasa dalam di balik dada kirinya. Luka yang dulu dia ukir sendiri.
Nama itu...
Sara Elowen.
Terukir di kulitnya, jauh sebelum ia bertemu Sara kembali. Tertanam di bawah mawar berduri dan seekor burung yang mengepakkan sayap.
Luka yang jadi tanda. Janji dan kutukan.
Ia mengembuskan napas berat.
Obsesinya tidak pernah berhenti. Bukan sejak tujuh tahun lalu. Bukan sejak dia, satu-satunya sosok yang pernah ia cintai, meninggalkannya dalam kehancuran.
Jika Sara harus merasakan sakit... maka biarlah ia juga terluka bersamanya. Asal wanita itu tetap berada dalam pandangannya. Dalam jangkauannya.
Di sisinya tempat yang seharusnya.
Pintu terbuka sedikit. Matheus muncul di ambang pintu, tegap dan tenang seperti biasa. Suaranya datar namun langsung pada inti.
"Tuan Velmier kakek Anda sudah menunggu di ruang atas."
Nicko menoleh sejenak ke arah Sara yang masih terbaring lemah. Wajahnya tetap pucat, tapi napasnya sudah lebih tenang.
"Jaga dia," ucapnya singkat.
Tanpa berkata lebih, Nicko keluar dari kamar. Langkahnya mantap. Di lorong sunyi yang menyambung ke ruang pribadi atas, ia baru menyelipkan satu batang rokok dari sakunya.
Dan seperti yang selalu terjadi: Tuan Raynhard tidak pernah datang tanpa alasan.
...----------------...
Lorong lantai atas sunyi. Cahaya sore menerobos masuk dari jendela panjang. Di ujung ruangan, sebuah pintu kaca mengarah ke balkon pribadi ruang kerja Nicko. Ia mendorongnya perlahan.
Alphonse Raynhard Velmier berdiri di sana. Elegan dalam setelan gelapnya. Tangan kirinya menggenggam tongkat berlapis kayu ebony, sementara tangan kanan menyentuh pagar balkon. Pandangannya lurus ke kota di bawah. Dinginnya tak memudar oleh usia.
Nicko tidak menyapa.
Ia hanya menyalakan rokok, menarik satu tarikan pelan, lalu berdiri di samping sofa kulit hitam.
Raynhard berbicara duluan. Suaranya rendah tapi tajam.
"Apa yang kau pikirkan, Velmier?"
Nicko menyeringai tipis.
"Banyak hal. Tapi tak semuanya bisa kau pahami."
Tatapan Raynhard tajam. Nada suaranya tegas seperti memperingatkan.
"Jangan bermain-main denganku. Kau ulangi kesalahan yang sama, membawa perempuan itu ke dalam lingkar ini. Kau tahu dia tidak seperti kita."
Nicko menghembuskan asap ke udara, tenang. "Dia milikku. Sudah lama. Bahkan sebelum dia tahu."
Raynhard menoleh. Matanya seperti bara yang tak padam. "Kau mengulang kegilaan ayahmu. Terlalu mudah terbakar. Terlalu sulit dikendalikan."
Nicko menahan senyum, tapi wajahnya tegang.
"Ayahku lemah. Dan ibuku? Dia pengecut. Keduanya meninggalkan segalanya, termasuk aku. Mereka memilih melarikan diri daripada memikul nama ini. Tapi aku tidak."
Raynhard menyipitkan mata.
"Lalu kau bangga dengan warisan itu, Velmier?"
"Tidak," jawab Nicko dingin. "Tapi aku tidak akan menyangkalnya."
Hening sesaat. Angin sore menyapu ujung jas Raynhard yang diam membatu.
"Kau pikir dengan menanamkan nama perempuan itu di dadamu, semuanya bisa ditebus?"
Nicko mengangkat dagu sedikit. "Itu bukan penebusan. Itu peringatan. Untuk diriku sendiri. Bahwa aku tidak akan kehilangan dia lagi."
"Kau kira dia akan bertahan hidup di dunia ini dengan caramu memperlakukannya?"
Nicko menoleh pelan. "Ya. Kalau dia harus menderita... maka aku akan ikut menanggungnya. Asal dia tetap di sisiku."
Raynhard menarik napas dalam, menggeleng perlahan.
“Lihat dirimu, Velmier. Kau hancur, bahkan tak sanggup menyatukan dirimu sendiri. Apa kau benar-benar pikir bisa melawan takdir hanya dengan kekerasan?”
Nicko mematikan rokoknya di asbak kristal.
"Aku tidak butuh takdir, Monsieur Raynhard. Aku butuh dia. Dan saat nanti seorang Velmier kecil berlari di lorong rumah ini, mungkin saat itu kau akan mengerti kenapa aku tidak pernah melepaskannya."
Raynhard tidak langsung menanggapi. Tatapannya bertahan pada wajah cucunya, seolah ingin membaca sisa-sisa warisan yang dulu ia tanam.
Yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi anak lelaki yang bisa ia bentuk dengan ancaman atau kebanggaan nama keluarga. Nicko Armano Velmier sudah tumbuh menjadi sesuatu yang berbeda, dingin, keras kepala, dan tak lagi bisa dikendalikan.
Raynhard menyadarinya. Ia melihatnya dari cara cucunya menatap orang lain, seperti sesuatu yang telah dimiliki dan tak akan dilepas. Ia juga merasakannya dalam sikap diam yang bukan lagi patuh, melainkan menolak tunduk.
Ia menarik napas dalam, bukan karena marah, tapi karena sadar dirinya kalah dalam hal yang seharusnya ia kuasai. Itu bukan hal yang mudah diterima.
Tanpa sepatah kata pun, Raynhard berbalik dan melangkah pergi. Gerakannya tenang, tapi setiap langkah terasa seperti pengakuan bahwa ada hal yang tak lagi bisa ia ubah.
Nicko tetap berdiri di balkon. Pandangannya tertuju pada langit yang perlahan menggelap, seakan malam datang lebih cepat daripada biasanya.
Velmier.
Nama itu berat. Tapi kini ia tahu... ia akan memikulnya dengan cara yang berbeda. Dengan caranya sendiri.
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
thor