Blurb
Arjuna Syailendra dan Anggita Jelita, menerima perjodohan demi kepentingan masing-masing. Bersama bukan karena cinta, tetapi hanya sebatas azas manfaat.
Akankah rasa berdebar tak terencana tumbuh di hati mereka? Sementara Arjuna hanya menganggap Anggita sebagai pelampiasan dari cinta tak berbalas di masa lalu.
Ikuti kisah mereka yang akan menguras emosi. Selamat membaca🤗.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senjahari_ID24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11b
BAB 11b
"Jadi, apakah kamu berhasil meyakinkan lurah juga warga setempat akan penawaran yang kita buat?"
Juna masih berdiskusi banyak hal dengan Pandu di ruang kerjanya. Sejak Pandu datang sore tadi mereka membahas pekerjaan hingga hari larut.
"Semuanya berjalan sesuai harapan, Pak. Saya juga sudah membuat surat perjanjian tertulis dengan mereka agar keabsahannya lebih kuat, untuk Berjaga-jaga jika nantinya terjadi tuntutan tak berdasar di kemudian hari. Ini berkasnya." Pandu menyerahkan map lain dari dalam tasnya dan menunjukkan kepada Juna.
Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Sementara Juna membaca berkas-berkas secara detail dan terperinci, Pandu yang memang kelelahan mulai menguap berkali-kali disusul mata terkantuk-kantuk.
Begitulah Juna. Terkadang lupa waktu ketika sedang berkutat menggeluti pekerjaan. Baru tersadar bahwa malam telah larut saat Wulan menelepon dan mengingatkannya tentang jadwal Anggi meminum obat.
"Untuk hari ini cukup. Kamu bisa pulang sekarang. Hari Senin kita akan menggelar rapat. Berhubung besok akhir pekan, kita diskusikan bahan untuk rapat secara daring saja."
"Baik, Pak. Terima kasih. Kalau begitu saya pamit." Pandu undur diri bergegas pulang, sedangkan Juna naik ke lantai dua tergesa-gesa.
Saat pintu terbuka sempurna, tampaklah Anggi yang sedang menggapai-gapai meja hendak mengambil tempat obat. Juna bergerak cepat dan mengambilnya lalu duduk di tepian ranjang.
"Aku lupa waktu karena membahas pekerjaan dengan Pandu. Jadinya jadwal minum obatmu terlewat satu jam," ucap Juna sembari membukakan kemasan obat dan menyiapkannya.
"Letakkan saja tempat obatnya jangan terlalu jauh, biar bisa kuambil sendiri, jadi tidak merepotkan Mas," sahut Anggi pelan. Sekujur badannya masih lemas sehingga berimbas pada nada bicaranya yang juga ikut melemah.
Juna tidak menimpali. Menyodorkan gelas berisi air minum beserta obat-obatan ke tangan Anggi. "Minumlah," titahnya dengan nada datar.
Tak ada alasan untuk menolak. Tubuhnya yang kesakitan berteriak meminta penawarnya. Anggi menelan semua obat tanpa bantahan. Inginnya membuka topik pembicaraan demi meluruskan kesalahpahaman berujung amarah Juna yang meledak kemarin malam, sehingga menyebabkan dirinya sampai jatuh sakit seperti sekarang.
Namun, Anggi menunda niat. Tidak mudah bicara dari hati ke hati dengan Juna tanpa melibatkan perseteruan, dan untuk berkonfrontasi Anggi butuh tenaga. Di saat lemah seperti ini bukanlah waktu yang tepat, ia akan menunda sampai dirasa energinya mumpuni.
Anggi yang sibuk dengan pikirannya tersentak kaget saat rasa dingin menyapa kulit pergelangan tangannya. "Biar aku oles sendiri." Anggi refleks menarik tangannya yang sedang diobati, tetapi Juna menahannya.
"Biarkan aku yang mengobati. Tugasmu adalah diam dengan tenang," sahutnya tanpa menoleh. Fokus menunduk mengoleskan salep di bagian pergelangan tangan Anggi yang memar akibat ulahnya kemarin yang menarik paksa tanpa ampun.
Juna enggan mengakui bahwa semua kepeduliannya ini lantaran didera rasa bersalah. Egonya masih lah sehingga langit, tidak bersedia turun ke Bumi. Jujur saja, sakitnya Anggi yang diakibatkan olehnya memupuk rasa bersalah juga pedulinya untuk bertunas. Ternyata di lubuk hatinya mencuat rasa takut jika hal buruk menimpa wanita yang kemarin malam digagahinya dengan kobaran amarah.
Selesai dengan urusan salep, Juna meraba kening dan pipi Anggi. "Demamnya sudah mulai turun. Sekarang tidurlah, agar lekas pulih."
Juna membereskan obat-obatan dan meletakkannya kembali ke atas meja, beranjak menuju sofa seberang ranjang dan merebahkan diri di sana.
"Mas, kenapa berbaring di situ?" tanya Anggi keheranan. Semenjak satu atap, baru kali ini Juna bersikap demikian.
"Aku akan tidur di sofa supaya kamu bisa beristirahat dengan leluasa. Cepat tidur. Ini sudah larut." Juna membalikkan tubuh memunggungi dan tidak butuh waktu lama dengkuran halus pun terdengar.
Anggi mencoba memejam walaupun sulit. Mendadak resah tanpa alasan. Bukankah seharusnya ia merasa lega karena bisa terlelap tanpa gangguan? Tetapi entah mengapa terasa ada yang kurang.
Tengah malam terlewati. Juna sebetulnya tak bisa tidur sejak tadi, hanya berpura-pura mendengkur supaya Anggi segera beristirahat. Berbaring berjauhan membuat dirinya tiba-tiba merasa hampa, tak terbiasa. Juna berbalik posisi sehingga bisa memandangi Anggi yang sudah nyenyak, dengan begitu akhirnya kelopaknya perlahan mengatup, berangsur-angsur menyusul ke alam mimpi.
TBC
JUNA NYEBELIN TINGKAT TINGGI 😡