Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penghianatan Terang-Terangan
Ana, yang bersembunyi di balik pintu ruang kerjanya yang tersembunyi, mendengar setiap kata, setiap tawa yang diikuti langkah kaki yang menaiki tangga. Dadanya terasa sesak, sakit yang menusuk lebih dalam daripada trauma fisik semalam. Dia pikir Enzi akan menyesal, akan meminta maaf, dan akan berubah. Tapi tidak. Pria itu justru semakin menjadi-jadi. Dia menggunakan wanita lain sebagai alat untuk menghukumnya karena penolakannya.
Langkah kaki itu berhenti di depan pintu kamar utama. Pintu itu terbuka, lalu tertutup kembali.
Ana tahu apa yang terjadi di balik pintu itu. Malam itu, di ranjang yang masih menyimpan noda pengkhianatan dan pemaksaan, Enzi melanjutkan kejahatannya, bukan dengannya, melainkan dengan wanita yang pernah dia cintai, Amel.
Air mata Ana tidak jatuh. Dia hanya merasakan kehampaan yang luar biasa, seolah jiwanya sudah terkuras habis. Selesai. Keputusannya bulat.
Keesokan paginya, suasana di rumah Radeva terasa tegang dan canggung. Bi Darmi dan Bi Marni berjalan dengan kepala tertunduk, menghindari kontak mata satu sama lain, karena mereka sempat mendengar suara wanita lain semalam di rumah ini.
Enzi turun ke ruang makan, tampak segar dan arogan. Amel berjalan di sampingnya, mengenakan robe sutra Enzi yang kebesaran, rambutnya tergerai indah, senyum kemenangannya tak tertahankan. Mereka duduk di kursi makan utama, seolah mereka adalah pasangan sah di rumah itu.
Enzi memanggil Bi Darmi. Ana, yang sudah bangun dan sudah bersiap, keluar dari ruang tamu, berjalan menuju dapur, berusaha terlihat tenang.
"Bi Darmi," suara Enzi terdengar nyaring di seluruh ruangan. "Mulai hari ini, Amel akan tinggal di rumah ini. Siapkan kamar tamu terbaik di lantai dua untuknya. Perlakukan dia dengan baik, layaknya nyonya rumah kedua. Semua kebutuhannya harus dipenuhi."
Pengumuman itu adalah tamparan keras, penghinaan yang disengaja oleh Enzi. Amel tersenyum penuh kemenangan dan melirik ke arah Ana, dengan sinis. Enzi menatap Ana, matanya keras, menantang istrinya untuk memberontak atau marah kepadanya.
Dada Ana terasa remuk bagai di hantam paku godam. Bukan karena kecemburuan, melainkan karena dia sadar, pria itu selamanya tidak akan pernah berubah. Enzi tidak hanya melanggar ucapannya, dia tidak menganggap keberadaan Ana di rumah itu. Pria itu sudah melewati batas.
Ana tidak bereaksi dengan amarah, sikapnya tenang walau dadanya dihantam ombak samudra. Dia hanya berhenti di ambang pintu dapur, menatap Enzi dan Amel sejenak. Wajahnya sedikit pucat karena kurang istirahat.
"Bi bawakan makanan ke kamarku, " pintanya pada bi Darmi.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada mereka berdua, Ana berbalik menaiki tangga. Langkah kakinya terdengar tergesa-gesa di tangga, menuju kamarnya Dia bahkan tidak peduli Amel berada di sana.
Enzi sama sekali tidak mengejarnya. Dia hanya menatap Amel dengan puas.
"Dia tahu posisinya sekarang," desis Enzi pada Amel.
"Tentu saja," jawab Amel, mengaitkan tangannya di lengan Enzi. "Wanita yang baik tahu tempatnya."
Di dalam kamarnya, Ana menutup pintu dengan sekali sentakan dan menguncinya. Dia bersandar di pintu, akhirnya membiarkan air mata penuh kekecewaan membasahi wajahnya. Dia menangis pilu, bukan karena cinta yang hilang, tetapi karena janji yang dia pertahankan selama ini telah dikhianati dan dihancurkan oleh suaminya sendiri.
Setelah beberapa menit, isaknya mereda. Ana menghapus air matanya dengan kasar. Dia harus sadar. Dia tidak bisa terus-terusan menjadi korban dalam permainan kotor Enzi. Dan berhenti mengatasnamakan cinta untuk bertahan, karena saat ini cintanya benar-benar hilang.
"Kesempatan yang kuberikan sudah habis."
Ana berjalan ke sudut kamar, di mana tas selempang kecilnya tergeletak. Dia mengeluarkan ponselnya, dengan ragu. Dan dia tahu siapa yang harus dia hubungi. Bukan untuk mengeluh, melainkan untuk membantunya lari dari pria yang sudah menyakitinya sejak awal pernikahan mereka.
Dia memanggil Fabian. Panggilan itu langsung tersambung.
"Halo, Ana? Ada apa? Apa kau baik-baik saja?" Suara Fabian terdengar cemas.
"Aku butuh bantuanmu, Bian," kata Ana, suaranya pelan seolah menyembunyikan apa yang terjadi. "Bantu aku pergi dan menghilang dari sini. "
Fabian terdiam sejenak. "Apa yang dia lakukan, Ana? Aku akan datang sekarang."
"Jangan datang," potong Ana cepat. "Jangan tunjukkan dirimu di sini. Aku tidak ingin Enzi tau, kalau kamu yang sudah membawaku pergi. Aku tidak ingin kamu memiliki masalah dengan Enzi. "
"Lalu apa yang harus aku lakukan, apa aku harus diam saat temanku dalam masalah?
" Bian dengarkan aku, beribaku wakti tiga hari. aku ingin melakukan sesuatu. Setelah tiga hari aku akan menemuimu, dan bawa aku pergi sejauh mungkin, apa kamu sanggup, Bian. Hanya tiga hari."
"Tiga hari? Kenapa harus tiga hari? Aku bisa membawamu pergi sekarang juga. " desak Fabian, suaranya penuh kekhawatiran.
"Aku harus melakukan sesuatu, agar aku tidak menyesal setelah pergi meninggalkannya ," jelas Ana.
"Aku ingin kamu menjauhi Enzi. Aku tidak ingin kamu terlibat apapun dengannya, baik secara pribadi ataupun bisnis. " Kata Ana, "Aku juga tidak akan membawa apapun dari rumah ini, aku hanya akan membawa apa yang aku dapatkan dari hasil jerih payahku. Aku tidak ingin satupun barang peninggalan Enzi, karena itu pasti akan meninggalkan penyesalan dan kekecewaan ku padanya. "
Fabian menarik napas dalam. Dia mengerti. Ana tidak hanya ingin melarikan diri, dia ingin memulai hidup baru dengan kemandirian penuh, tanpa mengandalkan kekayaan atau pengaruh Enzi.
"Baik, Ana. Aku mengerti," kata Fabian, suaranya kini tenang dan tegas, penuh dukungan. "Aku akan menyiapkan semuanya. Aku akan atur perjalanan kita dengan aman, jauh dari jangkauan siapa pun yang mengenalmu. Aku akan memastikan tidak ada yang bisa melacakmu, bahkan dia. Aku akan segera memutus semua hubungan bisnis dengan Enzi setelah kau pergi."
"Terima kasih, Fabian," bisik Ana, rasa lega membanjiri dadanya. "Kau adalah satu-satunya teman yang aku miliki."
"Kau sahabatku, Ana. Tiga hari. Jaga dirimu. Jangan membuatnya curiga dan tahu kalau kau akan pergi."
Ana mengakhiri panggilan. Dia menatap pintu kamar yang terkunci. Dia mendengar samar-samar suara Enzi dan Amel dari bawah. Dia sudah tidak pedili lagi , karena dia sudah membuat pilihan.
Ana berjalan ke lemari, mengeluarkan tas ransel kecil. Dia tidak mengisinya dengan pakaian, melainkan mengisinya dengan beberapa barang berharga miliknya yang sudah dia pindahkan dari kamar utama ke kamar tamu yang dia tempati. Hanya tiga hari lagi dia harus menahan diri di tempat ini. Setelah itu, dia akan pergi dan menjadi wanita bebas.
"Tiga hari untuk berpamitan kepada kawan-kawan dan dia harus menjelaskan sesuatu. Setelah itu, aku akan pergi, aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi. Selamanya."
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau