Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Dessert
"Kamu mau ke mana?" tanya Marchel dengan wajah khawatir, Hulya hanya tersenyum sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Ke apotik, obatku habis."
"Tunggu sebentar, aku akan menemanimu." Marchel mencari kunci mobilnya dan menyusul Hulya.
"Ayo!"
Mereka berdua keluar dari apartemen dan pergi ke apotik yang biasa Hulya kunjungi selama di sana.
Dia keluar dari mobil dan membeli obat yang diperlukan, kepalanya masih terasa berat dan seluruh tulang di tubuhnya terasa ngilu.
Dari dalam mobil, Marchel bisa melihat gestur tak nyaman dari Hulya, sesekali perempuan itu meringis, memegangi kepala dan lengannya.
"Pasti tubuhnya terasa ngilu, dasar bodoh kau Marchel, kau sudah menyakiti dia sedemikian rupa. Lihatlah bagaimana wanita yang kau cintai kesakitan," gumam Marchel pada dirinya sendiri sambil menghapus air mata yang perlahan menetes di pipinya.
Hulya masuk ke dalam mobil membawa obat, dia memasang seatbelt lalu tersenyum pada Marchel.
"Apa mau aku pijat?" tawar Marchel melihat Hulya sedikit menahan sakit.
"Tidak usah, minum obat ini nanti akan sembuh." Hulya meminum obat yang barusan dia beli, Marchel mengusap kepala Hulya dengan lembut.
"Aku boleh minta sesuatu tidak?" tanya Hulya menatap Marchel dengan puppy eyes-nya— seperti anak kecil yang mau minta permen pada orang tuanya.
"Tentu boleh, kamu mau apa?" tanya Marchel sembari mengusap pipi Hulya dengan lembut.
"Aku mau dessert matcha dan cokelat, apa kamu mau membelikannya untukku?"
"Oke kita akan ke toko dessert." Hulya bertepuk tangan kegirangan, dia seakan lupa diri ketika bersama dengan Marchel. Lupa bahwa statusnya saat ini bukan lagi istri dari pria di sebelahnya.
Marchel mengalihkan wajahnya dari Hulya dan mengusap air mata yang kembali menitik pelan, padahal dia sudah berusaha menahannya dari tadi.
"Aku tidak kuat melihat senyumanmu ini, Hulya. Bayangan ketika aku menyiksamu kembali membuat aku resah. Bagaimana aku bisa kehilanganmu kalau begini? Kau masih bisa tersenyum dan bermanja padaku setelah apa yang telah aku lakukan padamu," batin Marchel saat menahan rasa sesak luar biasa di dadanya, dia mengusap kembali mata yang sudah merah itu.
...***...
Sesampainya di toko dessert, Marchel turun sendiri karena Hulya tidak mau turun, dia berjalan memasuki toko tersebut. Sebenarnya Hulya tahu saat Marchel menangis tadi, dia menumpahkan tangisnya ketika Marchel tidak ada.
Rasa sakit, rindu, cinta, dan takut kini bersarang menjadi satu dalam hati dan pikirannya.
"Papa benar, dia memang pria yang baik dan sangat menjagaku, tapi aku terlalu takut untuk menghadapi emosinya," rintih Hulya, dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Tak lama, Marchel memasuki mobil dengan membawa tiga dessert yang Hulya mau.
"Kenapa belinya tiga? Kan aku pesannya dua."
"Kamu kan suka tiramishu, makanya aku beli juga."
"Makasih ya, kamu masih ingat ternyata."
"Masih. Mau makan di sini atau di apartemen?"
"Apartemen saja, kalau di mobil nanti aku muntah pula." Marchel terkekeh karena memang kebiasaan Hulya ketika ngemil di mobil- ya muntah.
"Kamu menangis?" tanya Marchel tiba-tiba, Hulya menatap Marchel dengan mata bengkak dan merah.
"Tidak, kenapa?"
"Mata kamu tidak bisa bohong, Hulya."
"Iya aku nangis."
"Kalau memang masih sakit, ayo kita ke rumah sakit, aku tidak mau kamu kenapa-napa, Hulya."
"Aku nangis bukan karena sakit."
"Lalu?"
"Karena tadi aku lihat kamu juga nangis."
"Kenapa kamu ikut menangis ketika melihat aku menangis? Jangan aneh-aneh," sahut Marchel sembari menangkup wajah Hulya.
"Aku tidak tau, aku sedih saja melihat kau menangis begitu. Aku selalu merindukanmu ketika aku merasakan sakit atau nyeri, aku ingat padamu." Tangisan Hulya pecah setelah mengungkapkan apa yang dia rasakan selama ini, Marchel langsung memeluknya.
Walau hidupnya lebih tenang tanpa Marchel, tetap saja ketika rasa sakit di tubuhnya kambuh, dia selalu ingat perhatian Marchel.
"Aku berpikir jika jauh darimu itu akan lebih baik. Ketika aku sibuk, mungkin aku tidak ingat denganmu, tapi ketika aku merasa sakit dan sendiri, aku ingin kau datang dan aku bisa bermanja padamu," ungkap Hulya lagi dengan suara yang kian berat.
Marchel memeluk erat perempuannta itu, dia juga merasakan hal yang sama selama ini.
"Sebodoh itu aku ternyata, melukai wanita sepertimu."
"Aku selalu meyakinkan hatiku untuk berpaling darimu, semakin aku paksa, semakin aku menderita," jelas Hulya lagi diiringi isakan kecil.
"Aku di sini, aku akan menemanimu Hulya. Selama kondisimu belum sepenuhnya sembuh, aku akan di sini untukmu." Hulya mengangguk, dia tidak bisa terus-terusan menahan ego.
"Jangan kasar lagi padaku ya, aku takut," pinta Hulya yang dibalas anggukan oleh Marchel.
"Sekarang apa yang sakit?" tanya Marchel dengan lembut.
"Tidak ada, semua sudah sembuh." Marchel tertawa kecil dan tanpa diduga, Hulya menggigit bahu Marchel dengan kuat.
"Aw sakit Hulya," cicit Marchel memegangi bahunya.
"Kenapa kau ini selalu merusak suasana hah? Aku ini sedang bersedih dan kau malah menertawakan aku."
"Maaf sayang, tapi aku tidak bermaksud menertawakan kamu." Hulya hanya membalas dengan tatapan tajam. "Oke oke maafkan aku." Marchel kembali membawa Hulya dalam pelukannya.
"Marchel, gimana kalau malam ini kita main kembang api?" Entah kenapa tiba-tiba ide itu muncul di kepala Hulya.
"Ide bagus, ayo kita beli." Hulya mengangguk, mereka kini meluncur ke toko kembang api.
Marchel membawa Hulya ke tempat di mana mereka bisa bermain kembang api dengan leluasa.
Hulya melompat kegirangan saat melihat kembang api yang dibakar oleh Marchel berkilauan, dia tertawa dengan lepas begitu pula dengan Marchel.
Puas dengan kembang api itu, Hulya mengambil dessert di dalam mobil dan memakannya bersama Marchel. Marchel duduk di atas mobil dengan kaki terjulur keluar dan pintu mobil terbuka.
"Kamu mau?" tanya Hulya sambil mengulurkan dessert di tangannya ke arah Marchel.
"Sini," titah Marchel pada Hulya, mantan istrinya itu mendekat lalu ia menarik Hulya ke pangkuannya hingga Hulya terduduk di atas paha Marchel.
Marchel mencolek dessert tersebut dengan telunjuknya dan menaruh di bibir Hulya, dengan cepat, Marchel menjilati dan memakan dessert tersebut dari bibir Hulya. Dia melumat bibir itu dengan lembut dan sangat mesra.
"Enak, manis," puji Marchel dengan senyuman di wajah tampannya, Hulya terdiam, sentuhan bibir Marchel tadi begitu membuai.
Marchel kembali mencolek dessert itu dan kini mengoleskannya ke dagu Hulya, dia menjilat dan menghisap dagu itu.
Tatapan mereka kini bertemu, Hulya melakukan hal yang sama pada Marchel, dia mencolek dessert lalu menempelkannya di bibir Marchel.
Hulya melumat bibir Marchel dan mereka melakukan ciuman dengan intens kali ini. Ciuman yang menunjukkan rasa saling rindu— rindu yang terpendam walau hanya berpisah selama satu minggu.