NovelToon NovelToon
Lewat Semesta

Lewat Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Aulia risti

Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Malam semakin larut. Anara berjalan ke balkon, duduk di kursi rotan dengan sebatang rokok lain di tangannya. Fino mendekat pelan, duduk di kursi sebelahnya.

“Kamu beneran nggak inget apa pun tentang aku?” tanya Fino akhirnya, suaranya lirih.

Anara menghembuskan asap rokok, menatap langit yang gelap.

“Kenapa sih lo maksa banget? Gue udah bilang kan, gue nggak kenal lo. Gue cuma kenal diri gue yang sekarang. Gue suka bebas, gue suka liar, dan gue nggak suka orang lain ngatur gue.”

Fino menatapnya lama.

“Kalau itu bikin kamu bahagia, aku nggak akan maksa. Tapi kalau semua itu cuma cara kamu nutupin luka, aku janji… aku bakal bikin kamu inget siapa diri kamu sebenarnya.”

Anara menoleh, tatapannya tajam. “Dan kalau gue nggak mau inget? Kalau gue lebih milih jadi orang asing buat lo?”

Fino menarik napas panjang, menatap lurus ke matanya.

“Kalau gitu… aku bakal jatuh cinta sama kamu lagi. Dari awal.”

Anara terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang bergetar, meski cepat-cepat ia padamkan dengan tawa sinis.

“Dasar bodoh…” gumamnya. Tapi untuk pertama kali sejak pertemuan mereka, ia tak sanggup menatap Fino terlalu lama.

**

Pagi itu, Fino turun dari kamar dengan pakaian rapi. Ia hendak berangkat rapat ke kantor cabang. Namun langkahnya terhenti saat melihat ruang tamu.

Anara sedang duduk santai di sofa, kakinya naik ke meja, rambutnya masih berantakan, dan... botol wine mahal yang Fino simpan untuk tamu penting kini sudah kosong setengah.

“Anara…” Fino menghela napas panjang. “Itu wine umur belasan tahun. Aku nyimpen buat—”

“Buat koleksi?” Anara memotong, terkekeh kecil.

“Tenang aja. Gue kasih nilai sembilan dari sepuluh. Lumayan lah buat pagi.” Ia menenggak lagi dengan santai.

Fino mendekat, meraih botol itu. “Pagi-pagi minum kayak gini nggak sehat, Nar.”

Anara memicingkan mata. “Jangan sok jadi bokap gue. Gue paling benci diatur.”

Fino menatapnya sebentar, lalu tanpa kata-kata lebih lanjut, ia membawa botol itu ke dapur.

“Bosenin banget jadi orang!” seru Anara dari ruang tamu.

Beberapa menit kemudian, Fino kembali dengan nampan berisi dua piring omelet dan segelas jus jeruk. Ia meletakkannya di meja depan Anara.

“Makan dulu. Kamu butuh tenaga.”

Anara menatap makanan itu dengan alis terangkat. “Lo pikir gue bocah?”

“Aku pikir kamu orang yang perlu dijaga,” balas Fino tenang.

Anara terdiam sesaat.M, lalu dengan malas, ia akhirnya mengambil garpu dan menyuap omelet itu.

Diam-diam, Fino memperhatikan. Gerakan tangannya, cara ia memiringkan kepala, bahkan ekspresi kecil di wajahnya saat makanan itu terasa enak—semuanya persis Anara yang dulu.

“Enak?” tanya Fino pelan.

Anara mendongak. Ada jeda sebelum ia menjawab.

“Lumayan.”

Setelah sarapan, Anara mondar-mandir di ruang tengah. Pandangannya lalu tertarik pada satu pintu yang sedikit terbuka. Dengan rasa ingin tahu, ia mendorongnya—dan menemukan sebuah ruangan luas dengan rak penuh perlengkapan panah. Busur, anak panah, target kertas, hingga piala-piala berjejer rapi.

“Wow… ini ruangan siapa?” gumamnya.

“Ruangan Aku.” suara Fino terdengar dari belakang. Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah datar, tapi matanya sedikit waspada.

Anara melangkah masuk, jemarinya menyusuri permukaan busur kayu yang tergantung.

“Keren. Lo kolektor, ya?”

“Bukan. Itu alat aku bertanding,” jawab Fino pelan. Ia berjalan mendekat, lalu mengambil salah satu busur yang paling sederhana.

“Dan ini… pernah jadi favorit kamu.”

Anara menoleh cepat. “Hah? Favorit gue? Jangan bercanda. Gue bahkan nggak bisa bayangin diri gue megang beginian.”

“Coba.” Fino menyodorkan busur itu ke arahnya.

“Pakai. Rasain.”

Awalnya Anara mendengus malas, tapi akhirnya meraih busur itu. Tangannya kaku, namun begitu jemarinya menggenggam, ada sensasi aneh—yang tidak bisa dijelaskan.

Fino memperhatikan dari dekat. “Tarik, kayak gini.” Ia membantu menuntun tangannya, posisinya berdiri rapat di belakang Anara.

Detik itu, ingatan samar menghantam kepalanya—bayangan dirinya di lapangan panah dan tawa lepas di samping Fino.

Anara terhuyung kecil, hampir menjatuhkan busur itu. Ia memegangi pelipisnya, napasnya terengah.

“Apa… apa barusan?”

Fino langsung menahan bahunya. “Kamu inget sesuatu, kan?”

Anara menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar, seperti ingin mengiyakan. Namun, dalam sekejap ia kembali menepis perasaan itu. Ia mendorong Fino menjauh, lalu meletakkan busur itu dengan kasar.

“Berhenti mainin gue, Fino!” suaranya bergetar, antara marah dan takut.

“Gue bukan cewek masa lalu lo itu! Gue beda!”

Seketika ia berlari keluar ruangan, meninggalkan Fino berdiri sendirian.

**

Beberapa hari setelah kejadian itu, Fino tetap berusaha sabar. Ia membiarkan Anara sibuk dengan dunianya, meski sering kali sikap dingin dan sikap ‘bad girl’-nya membuatnya naik darah.

Sampai pada suatu sore, Bagas datang ke rumah Fino.

“Lo serius, Gas, mau ketemu Anara sekarang?” tanya Fino sambil menahan ragu.

"Udah cukup gue denger cerita lo. Gue mau lihat sendiri, Nar yang kita kenal… dia masih ada atau nggak.”

Fino menghela napas panjang, lalu mempersilakan Bagas masuk.

Di teras belakang rumah, Anara sedang duduk santai di kursi ayunan, earphone menempel di telinganya, dengan rokok yang hampir habis di tangannya. Rambutnya tergerai berantakan, eyeliner hitam menebal, dan gaya bicaranya nyaris seperti orang asing.

“Anara…” suara Bagas lirih.

Anara menoleh cepat, lalu menyipitkan mata. “Lo siapa? Mau apa?”

Bagas terdiam. Dadanya sesak. Ia menatap lama wajah itu—wajah yang dulu selalu tersenyum cerah, polos, bahkan sering membuatnya lupa dunia. Kini yang ada hanya sorot tajam, sinis, seolah ingin mengusir siapa pun yang datang.

“Gue Bagas. Lo nggak inget gue?” tanyanya hati-hati.

Anara terkekeh pelan, lalu meniup asap rokok ke udara. “Bagas? Kayak nama kampung. Nggak kenal gue.”

Bagas tercekat. Tangannya mengepal tanpa sadar. “Nar… gue sama lo dulu sering ketawa bareng, makan bareng, bahkan… lo pernah bilang gue orang pertama yang lo percaya setelah kehilangan nyokap lo. Lo nggak inget sama sekali?”

Mata Anara mendadak berkedip cepat. Ada bayangan samar di kepalanya—dirinya tertawa di kantin sekolah, duduk berdua di bawah pohon sambil makan es krim.

“Jangan sok akrab sama gue. Gue nggak kenal lo!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!