Sundirah, adalah anak seorang pekerja upah harian, sebagai pemetik kelapa. Perjalanan cinta Sundirah dengan Mahendra, putra semata wayang juragan kopra adalah sebuah ujian yang tidak mudah ia lalui.
kehilangan kedua orang tua sekaligus bukan fakta yang mudah di terima.
Atmosiman, yang semula sebagai sosok penyayang, melindungi dan penuh kewibawaan. Hanya karena tergiur oleh sebuah kehormatan, Dia lupa akan tujuan utama didalam kehidupannya.
Lurah Djaelani, bersama kamituwo. Sebagai pamong yang seharusnya menjadi teladan pada masyarakat.
Lupa kewajiban sebagai kepala desa, dan lebih memburu harta, berjudi sabung ayam dan menjodohkan anak gadisnya, yang semata-mata untuk menguasai harta sang juragan.
Mampukah Sundirah menghadapi semua cobaan dalam kisah cinta dia, nyawa orang tua nya sebagai taruhan atas nama cinta.
Duri yang paling mematikan disini adalah sosok seorang kamituwo. akan kah ambisi mereka berhasil membawa keberkahan?
Ikuti sebagian dari kisah yang nyata seorang Sundirah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima Rhujiwati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak ku adalah hartaku
Buhg!
plak..... plak!
"Siapa kalian...? lepaskan aku!, kita bisa berunding baik-baik. Beri saya kesempatan lagi."
"Kau..! laki-laki tua tidak tau diri!"
"Ikat dia...!" suara berat itu lantang bersuara. menyuruh para kawan-kawan nya mengikat Djaelani di antara pohon-pohon akasia.
"Dan biarkan dia, hingga esok berada di bawah pohon akasia itu!"
"Jupri, lepaskan aku!, aku akan membayar hutang hutang ku padamu!"
"Atau, aku akan menikahkan anak gadisku padamu. Dia masih belia".
Djaelani mengiba, dengan wajah memelas, namun otak nya masih berusaha licik dan dangkal berfikir.
"Jangan sakiti aku Jupri, ampuni aku. Tidak kah kau iba melihat aku yang sudah tua dan kurus begini?" Basah celana Djaelani, oleh kencing dia yang tertahan karena ketakutan.
"haa...ha...ha..."
"Hei.....! bapak lurah Djaelani yang terhormat, dengar baik-baik! Aku bajingan iya, pemabuk betul, tetapi aku hanya setia pada satu istri, ingat itu!"
"jangan pernah, kamu menawarkan anak kecil berbau kencur. Itu bukan tujuanku ke sini mencari mu."
Jupri mendongakkan dagu Djaelani, yang sejak tadi hanya menunduk. gemeletuk rahang nya terdengar, menahan amarah.
Lalu
plakk... plak...
"Tegak kan kepalamu....! jangan menunduk. Perlihatkan wibawa mu, sebagai seorang bapak yang terhormat!. Kau tega menjual anak mu sendiri demi kesenangan mu di kalangan ayam." Jupri berjalan, mencari tempat duduk dan melihat Djaelani yang sedang menundukkan wajah.
Entah malu, atau geram yang Djaelani rasakan saat ini, Dia berhutang beberapa petak sawah sebagai taruhan sabung ayam, dan sudah jatuh tempo perjanjian, Djaelani kabur bersembunyi. Namun perbuatan licik, pasti sudah bisa terbaca jelas dengan lawan tanding yang sudah berpengalaman.
Jupri adalah juragan sabung ayam, beruntung Djaelani berhadapan dengan botoh yang tidak garang, dan masih memiliki jiwa welas asih.
"Lurah Djaelani...! aku peringatkan sekali lagi, dan ku beri waktu dua pekan lagi. Segera berikan sawah yang kau janjikan padaku, sekali lagi sawah..! bukan seorang gadis, ingat itu...!"
"Seorang bajingan pun, tidak akan sanggup melihat buah hatinya menderita!, lalu ada apa dengan mu? bukankah, dia anak yang kau harapkan...? Aku tidak habis pikir, otak mu se kerdil ini Djaelani."
"Baik, aku beri waktu tiga pekan. Temui aku di kalangan biasanya, dan lunasi semua kewajiban mu membayar hutang-hutang mu." Masih berbaik hati seorang Jupri pada lawan tanding nya.
"Ingat...! jangan pernah sedikitpun, terbesit dalam otak mu untuk kabur, atau bermain curang padaku."
"Aku bisa kasar, juga bisa berbuat baik. Di saat kau berbuat licik padaku, kau akan tinggal nama Djaelani."
Jupri mendekat, dan mengusap pundak Djaelani. tersenyum miring seolah mencemooh segala perbuatan Djaelani.
Di susul dengan kawanan nya, mereka geleng-geleng kepala. menyaksikan ulah djaelani.
"ckk.... sudah tua tidak mawas diri, insap saja sebelum di bungkus kain kafan".
"Sudah bau tanah, harusnya banyak bertobat. Bukan makin menjadi."
Cuih...
Plak....
"Mati saja kau Djaelani!, lebih terhormat daripada menggadaikan anak-anak mu."
kawanan Jupri meniggalkan Djaelani, dengan tubuh yang masih terikat. Meninggalkan kata cemooh mereka.
Malam yang dingin, menyisakan penyesalan demi penyesalan. Bulan sabit redup, bintang bertabur seakan ikut menyaksikan dan enggan memberikan hawa hangat. Tubuh kurus itu menggigil, berselimut kan embun yang mulai terjatuh tertiup sang bayu malam.
Malam seakan enggan meninggalkan kegelapan nya, perlahan namun terlewati juga, sayup-sayup terdengar suara adzan dari musholla. Tubuh kurus Djaelani bergerak lemah, ternyata semalam dia pingsan.
Bunga kopi semerbak tercium menusuk indera penciuman, mentari masih enggan menampakkan senyum, dan memberikan kehangatan bagi penunggu alam semesta.
kresek..... kresek...
sruut... srut...
Suara kemeresek berasal dari daun daun kering, membuat Djaelani semakin menguatkan pendengaran nya, takut dan was was menyelimuti perasaan nya.
"Subuh baru saja berlalu, mana mungkin ada orang ke ladang." Djaelani menggidik, waspada, semakin menggigil ketakutan.
Makhluk dingin itu melingkar di kaki Djaelani, seolah-olah ikut mempermainkan deru nafas Djaelani. Yang naik turun tidak beraturan, antara takut dan geli. Berteriak pun apa daya, patokan ular hitam bergaris kuning itu akan siap menghantar ke dunia lain.
satu jam masih dengan posisi yang sama, sang Surya mulai menampakkan senyum hangat nya.
Binatang melata itu, telah merayap entah kemana. kelegaan Djaelani membuahkan lengkungan tipis di bibir nya.
"Mak...emak...!" Suara gadis cilik itu, memberikan secercah harapan Djaelani.
"Mak.... ada orang di ikat di sana!" Gadis cilik itu mengandeng emak nya mendekati Djaelani.
"Pak...pak..."
"Oalah.... ini perbuatan siapa? Pak sadar pak...!" suara ibu muda itu mencoba membangunkan Djaelani, yang sebenarnya mendengar kan suara panggilan itu. Namun tidak sedikitpun tenaga yang ia miliki, walaupun hanya sekedar memberikan jawaban.
"Ndok..! panggil kan bapak mu, bantu kakek itu melepas ikatan nya."
"Iya Mak.."
"pak...pak...! Oalah Gusti... bagaimana ini?. Siapa yang tega mengikat bapak seperti ini?."
Gugup suara wanita muda itu, mereka adalah buruh harian di perkebunan kopi.
# Dusun gambar, desa, Karanganyar kab, Blitar. Perkebunan tersebut peninggalan zaman penjajahan Belanda waktu itu. Yang hingga saat ini kopi masih produksi, dan bangunan Belanda sebagian masih kokoh berdiri. beralih fungsi sebagai usaha anak-anak muda penerus.
Letak perkebunan kopi Karanganyar, mengarah ke selatan. kurang lebih sepuluh km, adalah makam bapak proklamator RI Bung Karno #.
"Pak...! bapak siapa?, darimana, dan kenapa berada di wilayah perkebunan ini?" pertanyaan laki-laki yang di ketahui suami dari wanita muda dan gadis cilik yang sudah menolongnya.
Djaelani berusaha bangun dari posisi tidurnya, namun kembali terjatuh. tidak ada sedikit pun tenaga.
"Minum dulu pak, air hangat ini bisa sedikit menambahkan tubuh bapak lebih hangat. makan lah singkong rebus ini pak!, lalu bercerita lah. siapa dan darimana bapak berasal."
Djaelani meminum air hangat yang mereka berikan. Setelah merasa tubuhnya lebih nyaman, dia duduk dan menghadap kepada pasangan suami istri itu.
Lalu menceritakan keseluruhan, perihal kehidupan nya sebagai Sawung pitik.
"Pak lurah?, insaf pak...! bila harta adalah puncak kebahagian, lalu bagaimana dengan kami yang miskin ini...?." Lelaki yang usianya kira-kira sepuluh tahun lebih muda itu mendekati Djaelani, dan duduk berhadapan. "Pulang lah pak!, belum terlambat. Semoga masih ada maaf dari anak-anak bapak."
"Saya miskin pak, hanya gubug kecil tempat kami berlindung dari dingin nya malam, tetapi gadis kecil saya adalah kekayaan dunia, yang saya miliki. Senyumnya adalah Harta saya pak."
"Dia istri saya, walaupun tanpa perhiasan yang ia miliki. Namun dia bahagia dengan harta yang kami miliki saat ini."
Djaelani menunduk kan kepala, dan menangis tersedu-sedu. tidak mampu sepatah kata pun keluar dari kerongkongan nya. Penyesalan selalu hadir pada akhir kisah.
"Aku, akan mengantarkan pak Djaelani pulang kepada keluarganya Mak, Mumpung masih pagi."
"Bekerjalah semampu mu Mak, sebelum matahari tepat di atas kepala. bawalah pulang Murti." pesan sang suami kepada istrinya.
"Penyesalan" Tidak dapat mengubah masa lalu, begitu pula kekhawatiran tidak dapat mengubah masa depan.
*****
Sobat netizen terkasih, sabar ternyata membawa kita kepada rasa bersyukur.
jangan lupa kasih komen, like, rate ⭐🖐️
semangat selalu, cheers and love for you all ❤️
by, Rhu 😘