Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emergency Jodoh & Mama Berubah Jadi Agen Cupid ( Bagian 1)
Bunyi dari alarm ponselku membuatku membuka mata. Dengan malas aku meraih ponsel nakas. mengusap layarnya untuk mematikan alarm. Dan dengan mata setengah terbuka melirik angka dilayar yang menunjukan jam setengah enam dini hari.
Aku memejamkan mataku sepersekian menit. HP masih dalam genggaman. Rasa kantuk masih terasa berat.
“Ayo bergerak Meisya” ujarku dengan suara agak keras.
Keningku berkerut. Diam beberapa detik. Lalu keluar dari selimut untuk duduk beberapa saat di tepi tempat tidur.
Dengan kaki berat aku melangkah ke toilet. Lalu keluar setengah jam kemudian.
Aku mengambil HP. Mengecek pesan dari Rahma.
“Lo udah bangun? Jangan lupa acara kita hari ini.”
Aku melirik ke arah kelender nakas, ada tanda merah yang melingkari angka sepuluh disana.
“Ok, Kita berangkat jam sepuluh kan?”
Aku membalas pesannya. Kemudian melempar ponsel ke atas tempat tidur.
Mengganti pakaian ke pakaian olahraga. Menguncir rambut ke belakang. Mengambil headset Over-Ear warna putih. Tidak lupa sport smartwatch. Dan Hp.
Setelah memasang sneakers dan mengunci pintu. Aku berjalan pelan menyusuri trotoar depan komplek.
Jam menunjukan pukul tujuh pagi.
“Meisya” Sapa sebuah suara dari samping.
Aku menoleh. Mataku bertemu dengan sebuah mata gelap. Seorang pria berkulit coklat yang tersenyum manis. Mengenakan Hoodie Olahraga berwarna abu cerah dan bawahan celana training yang senada. Ditambah dengan sepatu sneakers berwarna putih. Sangat stylish.
“Pagi Mas Johan” jawabku ikut tersenyum.
“Mas juga mau pergi jogging?”
Dia menganggukkan kepala. Melangkah pelan kearahku dengan mata dan senyuman yang masih sama. Ditangannya menggantung headset berwarna hitam.
“Mau bareng?”
“Boleh.”
Kami berjalan menyusuri trotoar menuju jalan utama, Mas johan adalah pemilik coffee shop yang terletak di samping rumahku. Tempatnya strategis. Dan popular di kalangan mahasiswa.
Aku mengenalnya sudah hampir dua tahun. Dia adalah orang yang tampan dan ramah. Idola komplek dan mahasiswa. Kalau kata Rahma dia adalah Pria sexy yang bikin wanita berdebar walau hanya sekedar mendengarnya memberi salam.
“Tampaknya Coffee Shop Mas Johan gak pernah sepi pengunjung,” ujarku memecah kesunyian.
“Ah, itu karena lo ngeliatnya di malam hari, jadwal ramenya itu kalau sudah selesai makan siang,”
“Dan didominasi oleh pelanggan cewek.”
Aku melirik matanya dengan senyum menggoda.
“Kalau pria tampan mah bebas” tambahku sambil tertawa kecil.
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum kecil. Kemudian memberi isyarat untuk mulai berlari, aku menganggukkan kepala lalu mengikutinya dari belakang.
Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk berlari. Walaupun lebih banyak berjalan dari pada berlari. Lalu satu jam kemudian kami habiskan untuk mengobrol sambil berjalan kembali ke komplek.
Mas Johan sangat asik di ajak untuk diskusi. Kami selalu nyambung akan setiap topik. Tapi tidak pernah membahas masalah personal masing-masing.
Kami sampai di perempatan komplek. Lalu berpisah di depan kedai kopi Mas Johan.
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh saat aku sampai di rumah.
“Mampus, Si Rahma bakal ngamuk nih kalau gue telat” pekikku.
Aku berlari ke kamar mandi. Bersiap dengan kecepatan turbo. Sementara Hp-ku terus berdering.
Tiga puluh menit kemudian aku sudah duduk manis di dalam busway. Hp-ku kembali berdering. Aku mengambil wireless headset dan memasang ke telingaku.
“Gue lagi dijalan” ucapku sebelum orang di seberang mulai bicara.
“Lo kebiasaan ngaret sampai setengah jam” dengusnya kesal.
Wajah bosan Rahma langsung muncul di kepalaku. Aku tertawa kecil membayangkan mulutnya yang manyun dan matanya terus-terusan menatap layar Hp.
Busway sampai di tujuan dn aku segera turun. Menempelkan ponselku di barcode pembayaran. Lalu keluar.
“Lo ngapain aja sih? Padahal bales chat gue udah dari jam tujuh”, suaranya terdengar kesal dari seberang.
“Gue tadi pergi jogging dulu dan kebetulan ketemu sama Mas Johan”
“Hmmm Wah ada drama apa nih?” godanya.
“Apa sih, Kita cuma kebetulan ketemu, stop dengan scenario aneh yang ada diotak lo itu”
“Kenapa gak lo goda aja mas tetangga yang hot itu? Dengan wajah dan bentuk tubuh luar biasa kayak gitu bukankah dia termasuk ke dalam kategori pria diinginkan untuk berkencan? Ditambah kalian terlihat akrab.”
Itulah kalimat yang sering di lontarkan oleh Rahma tentangnya. Bahkan dia juga mengatakan akan menggodanya jika saja dia tidak punya pacar.
“Apa menurut lo pria dengan spek kayak gitu mau dengan cewek kayak gue?”
“Siapa tau kan? Coba- coba berhadiah, lo jangan gak percaya diri gitu dong, lo oke banget kok”
“Gue sadar diri, bukannya gak percaya diri”.
“Jangan gitu, bestie gue cantiknya bak Putri indonesia kok.” Suara tawanya terdengar nyaring dari seberang.
“Bisa aja lo, Lo tau, Ma. Kayaknya sekarang gue sadar satu hal penting: umur tiga puluh itu bukan sekedar angka. Itu alarm. Sirine. Red alert. Kode merah dari semesta. Karena begitu angka itu muncul di KTP, orang-orang mendadak berubah profesi jadi mak comblang dadakan.”
“Hahaha,” tawa Rahma makin keras dari seberang.
“Bahkan mama gue yang dulu sering bilang ‘focus aja dulu sama karier, sayang’. Sekarang malah teriak-teriak tiap hari, “MEISYA, KAMU UDAH 30! MAU JADI ZOMBIE JOMBLO APA GIMANA?!”, padahal biasanya mama bukan orang yang panikan.”
“Mungkin karena di pengaruhi sama teman-teman arisan yang membanggakan cucunya kali.”
“Ah bener juga, Lo tau Tante Wira kan? Yang sohib sejati sejak zaman senam SKJ mama gue, kemaren ngapain coba?”
“Ngejodohin lo sama kenalan dia?” teriaknya dengan tawa absurd.
“Iya woi, dia ngirim foto anak temennya yang katanya sudah mapan, kerja di bidang finance dan masih single ke mama gue, lo tau apa yang terjadi habis itu? Mak gue langsung ke rumah gue dengan semangat ala emak-emak rebutan sembako.”
“Hahaha—terus?”
“Terus langsung di promoinlah ke gue dengan gaya ngomong ala mak gue, ‘Mei, coba liat ini. Masih muda, ganteng, tajir dan katanya suka kucing. Kan kamu suka cowok penyayang, benarkan?’ sambil nyodorin foto cowok yang sebenarnya oke, tapi lo tau….si cowok foto bareng kucing dengan filter kuping kucing.”
“Hahaha— mungkin mama lo ngerasa lo punya rahasia besar yang lo sembunyiin.”
“Gue capek Ma, gak cuma menghadapi mama gue yang gak kunjung berhenti nyari mantu materialnya, tapi juga rekan kantor gue yang makin hari makin gila dengan koleksi pria singlenya.”
“Hahaha—Makanya lo goda aja Mas barista hot itu, biar gak ada lagi yang nyiyirin.”
“Gue capek banget, lo tau lah menggoda bukan my passion,” jawabku menghela nafas seperti pemeran utama sinetron yang baru aja ditinggal nikah sama mantannya.
Dia tertawa lebih keras lagi dari seberang. “Orang-orang panik karena lo tuh unik. Kayak unicorn. Langka. Gak semua orang bisa jadi lo: absurd, judes, cantik dan galau berlapis-lapis.”
“Terima kasih atas pengingat betapa anehnya gue.” Jawabku dengan senyum tipis.
Aku berjalan ke perempatan hendak menyeberangi trotoar namun lampu lalu lintas masih berwarna hijau. Aku menunggu dengan sabar sambil melihat kearah sekitar, ada beberapa orang yang juga sedang menunggu sepertiku.
“Eh, btw, gue nemu video yang cocok banget jadi calon jodoh lo.”
Belum sempat aku protes, video itu masuk. Dan, ya Tuhan Yang Maha Mengetes, itu video iklan…kolor.
Bukan sembarangan kolor. Itu KOLOR KEVIN KLEIN!
Dengan model cowok bule setengah telajang yang berotot dan melangkah lambat sambil memperlihatkan pinggang elastis serta perut kotak-kotak bak roti sobeknya dan…segalanya terlalu HD untuk di tonton di ruang publik.
Dan tepat saat itu…
Lampu hijau berubah menjadi merah. Aku mau menyebrang. Ponsel masih di tangan. Video masih jalan. Suara Rahma masih di telinga.
“MEISYA! COCOK KAN? INI GAYA JODOH LO NIH!”
Dan dari arah berlawanan, seorang pria tinggi memakai hoodie hitam—gelap, misterius, ganteng, aura dingin seperti es batu yang hidup—berhenti. Dia melirik ke arahku, lalu memelototiku. Beneran melotot.
Aku langsung kaget.
‘Hah?! APA INI? KENAPA DIA NGELIAT GUE KAYAK MAU NANGKAP PENCURI?’
Tatapannya tegas. Dingin. Sedikit marah. Matanya yang tajam turun kearah ponselku…. yang, ya ampun, MASIH MEMUTAR IKLAN KOLOR ITU!
Dengan suara modelnya mendesah pelan-pelan. Aku panik. Jempolku salah pencet yang niatnya nyari tombol button. Videonya malah makin zoom-in. DAN DIA MASIH LIHATIN!
Lalu… suara berat itu keluar. Pelan, tapi jelas.
“Cabul.”
Mataku terbelalak. “Hah?!”
Dia menatapku datar. Nada suaranya sinis, nadanya rendah, dingin, dan…kenapa ya, sedikit enak didengar?!
Aku belum sempat menjelaskan. Dia pergi. Gitu aja. Meninggalkan aku yang masih berdiri di trotoar dengan wajah merah padam, ponsel yang kini hang karena panik, dan telpon yang masih nyambung ke Rahma.
Yang, tentu saja, sudah tertawa histeris di seberang.