Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang berbeda. Bahkan status kita pun berubah..
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. MENJADI TOUR GUIDE DEVAN
"Dewi... Untuk apa kau kembali kesini?Apa kau sudah menyadari dan menyesali semua kesalahanmu? Atau kau kesini hanya ingin melihat kematian ibumu?" ucap seorang pria dengan suaranya yang menggelegar. Pria dengan wajahnya yang berkharisma dan penuh ketegasan meski usianya sudah tergolong senja.
Pria itu adalah Danu Subroto. Suami dari Ayu Dewi Prameswari. Dan mereka adalah orang tua kandung dari Dewi Prameswari. Yang secara tak langsung mereka adalah kakek dan nenek dari Naya dan Embun.
"Ayah.... Apa yang terjadi dengan ibu? Ini semua tidak benar kan? Ini semua pasti mimpi." ucap Ibuku dengan suara tangisnya yang sendu.
"Sudah puas kau melihat kematian ibumu? Bahkan disaat terakhir istriku meregang nyawanya, ia tetap memanggil namamu. Dasar anak durhaka. Sebegitu cintanya kau dengan suami busukmu itu hingga kau tega meninggalkan kami?"
Ibuku hanya bisa menangis tersedu dalam diamnya. Dipeluknya foto sang nenek dengan begitu erat. Seolah menyalurkan sesak dan emosinya di dalam dada.
Sebuah penyesalan yang akan ibuku rasakan entah sampai kapan.
"Maafkan aku ayah. Aku menyesali semuanya." ucap Ibuku dengan suara tangisnya yang terdengar pilu.
"Apa dengan aku memaafkanmu bisa mengembalikan ibumu di sisiku? Apa dengan rasa menyesalmu bisa memutar semua waktu yang terlewat itu kembali?" ucap kakekku dengan suaranya yang bergetar menahan tangis.
"Kakek...maafkan ibuku. Aku tahu ini semua salah. Tapi aku mohon jangan hakimi ibuku dengan kesalahannya. Semuanya sudah berlalu. Biarkan ibuku menebus semuanya. Beri waktu untuk ibuku membuktikannya." ucapku seraya bersimpuh di bawah kakinya.
"Kau... Sampai kapanpun aku tidak pernah mempunyai cucu sepertimu. Aku tidak pernah merestui hubungan orang tua kalian. Jadi jangan pernah berharap aku akan menganggapmu sebagai keluarga Subroto." ucap kakek seraya meninggalkan kami bertiga di ruangan itu. Ruangan yang menjadi saksi bisu penolakan kakekku dengan kehadiran kami.
Aku dan embun berjalan mendatangi ibuku. Kuraih tubuh ringkih itu ke dalam pelukanku. " Ibu jangan sedih lagi. Nanti sakit ibu kambuh. Ibu harus tetap kuat demi kita."
Dua tahun belakangan ini, ibuku sering mengeluhkan dadanya yang sering sakit. Aku sudah mencoba membawanya pergi ke puskesmas. Dan hasilnya.. aku harus merujuk ibuku ke rumah sakit besar di pusat kota. Namun kembali lagi ke permasalahan awal, aku tidak mempunyai uang untuk membawa ibuku menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
"Ibu tidak menyangka setelah sekian lama ibu kembali ke rumah ini dengan situasi yang begitu berbeda. Bagaimana pun caranya ibu harus mendapatkan maaf dari kakekmu." ucap ibuku dengan nada sendu.
"Kak dimana ayah? Kenapa ayah belum kemari sampai sekarang?" ucap Embun yang memecah keheningan di ruangan itu.
"Ayah memang seperti itu. Sekarang lebih baik kita coba bantu ibu membujuk kakek untuk memaafkan dan menerima kita." ucapku dengan penuh keyakinan.
Hujan deras disertai angin dan petir sore ini seolah menjadi cucaca terburuk sepanjang hidupku. Pengalaman pertemuanku dengan keluarga dari ibuku cukup menambahkan kenangan buruk dalam ingatanku. Keluarga beaar yang aku kira bisa menjadi tempatku bernaung kini seolah pintunya tertutup rapat akan kehadiranku.
Suara langkah kaki tampak menggema memenuhi ruangan besar itu. Dengan langkah tegapnya sang kakek menghampiri kami yang terduduk di lantai yang
dingin itu.
"Kenapa kalian masih disini? Sebegitu inginkah kalian menjadi bagian dari keluarga Subroto?" ucap sang kakek dengan nada ketusnya.
"Ayah.... Maafkan semua kesalahanku. Aku begitu mencintai Mas Sigit. Aku tidak bisa hidup tanpanya. " ucap Dewi dengan suara tangisnya yang pecah.
"Kau menyuruh orang tuamu untuk mengerti keadaanmu. Tapi apa kau mau mengerti perasaan kami? Kamu adalah anak semata wayang kami. Kami selalu memprioritaskan semua kebutuhanmu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu." ucap Kakek Danu dengan sudut matanya yang berair menahan tangis.
"Aku tau yah... Aku salah. Maafkan aku." ucap Dewi dengan sudut mata yang basah.
"Sekarang panggil suamimu untuk menghadapku. Ada banyak hal yang harus aku bicarakan dengannya." ucap sang kakek dengan nada penuh ketegasan.
Dewi hanya mampu tertunduk malu. Tidak berani menatap wajah ayahnya.
"Ayah pergi entah kemana kek. Tadi pamitnya mau parkir mobil diujung jalan. Tapi sampai sekarang ia belum kembali." ucapku dengan wajah tertunduk malu.
Di saat kakek sudah mulai membuka hatinya untuk menerima kami namun karena kepergian ayahku, kakek kembali murka. Dulu ayahku memang seorang yang baik, penyayang dan penuh cinta. Namun semenjak perusahaan diambil alih oleh ayah, perlahan sikap ayah berubah dengan begitu cepat. Sikapnya berubah 180⁰.
"Aku sudah menduga ayah kalian akan kabur begitu saja. Pria pengecut seperti itu yang kamu pilih dalam hidupmu?" ucap kakek Danu dengan penuh penekanan.
Kakek beringsut mendekatimu dan Embun. Dipeluknya tubuh kami dengan penuh kehangatan. Kehangatan yang selalu aku rindukan sejak kecil. Kehangatan yang mampu mengubah pandanganku terhadap seorang pria.
"Kalian beristirahatlah di kamar. Biarkan Bik Siti yang membantu membawa barang - barang kalian." ucap kakek seraya mengambil koper milik mereka dan menyerahkannya kepada Bik Siti.
"Dewi.. Kemarilah Nak... Mendekatlah kepada ayah." ucap Danu seraya menepuk sofa di sampingnya yang kosong.
Danu pun mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kotak kecil berwarna maroon. Perlahan ia berikan kotak tersebut kepada putrinya.
"Ambillah nak.... Kotak ini adalah milik ibumu. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya ia berpesan kepadaku untuk menyerahkan ini kepadamu." ucap Danu dengan matanya yang berkaca - kaca.
Dibukanya kotak kecil itu perlahan. Sebuah cincin warna silver dengan liontin berwarna putih di tengahnya. Sangat indah. Perlahan air mata itu tak mampu dibendung. Secara paksa menerobos matanya untuk keluar dengan begitu saja.
"Ini.." suara Dewi tertahan. Lidahnya kelu tak mampu untuk berucap. Sebuah cincin yang menjadi impiannya sejak kecil di hari pernikahannya kini terpampang nyata dihadapannya.
"Itu adalah cincin yang dipesan oleh ibumu khusus untuk hari pernikahanmu. Awalnya kami sudah bersiap untuk datang ke acara pernikahanmu. Namun sesuatu telah terjadi pada hari itu. Kami mengalami kecelakaan dan ibumu mengalami koma."
Air mata Danu pun berlinang dengan begitu derasnya. Hatinya tak kuasa menahan sakit yang ia rasakan. Tangis Dewi pun semakin pilu. Ia tidak menyangka dihari kebahagiaannya ibunya mengalami tragedi itu.
"Baru 2 minggu yang lalu ibumu sadar dari komanya. Namun keadaannya semakin memburuk dan hanya sanggup bertahan hingga kemarin."
Perlahan Danu memeluk Dewi dengan begitu erat. Sebuah pelukan yang sangat ia rindukan.
"Maaf... Maafkan aku yah... Ibu... Maafkan Dewi."
* * *
Angin malam berhembus dengan begitu kencang. Suara rintik hujan masih terdengar sayup dari balkon kamar Naya.
Drttt.. Drttt..
Suara getaran ponsel di atas nakas terdengar begitu nyaring memenuhi kamar itu. Sebuah kamar dengan ranjang yang begitu empuk dilengkapi sebuah lemari yang minimalis.
"Halo... Naya... Kenapa rumahmu gelap? Apa kamu tidak ada dirumah?" cecarnya dengan nada paniknya.
"Maaf siapa kamu? Apa kamu tidak salah sambung?" ucapku dengan nada bingungnya.
"Ini nomer innaya azzahra kan? Ini aku Devan." ucapnya dengan nada yang sok kenal.
"Astaga... Maaf aku tidak ada dirumah saat ini. Aku ada dirumah kakekku." ucapku dengan nada terkejut.
"Gimana tawaranku kemarin? Aku menunggu jawabanmu. Kamu masih minat kan jadi tour guide ku?" tanyanya dengan nada penuh semangat.
Aku terdiam sesaat. Memikirkan jawaban apa yang harus aku katakan kepada Devan. Hingga selang beberapa menit kemudian...
"Baiklah. Kita bertemu di halte dekat hotel kemarin." ucapku dengan penuh keyakinan.
Sebuah keputusan yang aku ambil dengan terburu - buru. Keputusan yang akan merubah garis takdirku. Entah itu membawa kebaikan atau keburukan.
Malam yang begitu hangat. Seluruh keluarga berkumpul bersama di meja makan. Suara denting sendok beradu dengan garpu seolah menjadi alunan musik di ruangan itu. Kakek Danu duduk di meja kebesarannya. Penuh wibawa dan ketegasan.
"Embun.... mulai besok kamu sekolah diantar oleh sopir saja. Dan Naya... mulai bulan depan kamu wajib kuliah. Karena kedepannya kalian adalah pewaris keluarga Subroto. Biar nanti segala keperluan kalian diurus oleh asistenku." ucap sang kakek dengan suaranya yang tegas tanpa bantahan.
Dewi tersenyum penuh kehangatan. Ia merasa sudah selayaknya putrinya menikmati semua fasilitas dari Kakeknya. Mungkin ini jawaban dari semua doa - doanya.
* * *
Pagi yang begitu indah. Hamparan langit dengan warnanya yang biru membentang dengan begitu luasnya. Sinar mentari dengan kehangatannya membiaskan sisa - sisa embun yang ada.
Dengan berbalutkan celana jeans dan kaos oblongnya. Naya tampak kelihatan cantik. Rambutnya yang panjang ia cepol dengan asal memperlihatkan lehernya yang putih dan mulus.
"Nak... Kamu mau kemana pagi - pagi berpakaian seperti itu? Apa hari ini ada acara?" ucap Dewi dengan tatapan penuh selidik.
"Aku akan jadi tour guide di daerah sekitaran Bandung bu. Paling agak sorean nanti aku pulang." ucapku seraya membawa tas ranselku di pundak.
"Baiklah... Ibu tidak akan melarangmu. Nikmati harimu nak. Jangan lupa aktifkan selalu ponselmu."
"Sampaikan salamku buat kakek ya bu. Maaf aku tidak bisa menemani ibu dan semuanya sarapan." Ucapku dengan nada penuh kelembutan.
Aku pun bergegas keluar dari rumah itu. Dan menunggu taksi online yang sudah aku pesan. Hingga tak lama kemudian taksi online ku pun datang dan aku segera menuju ke tempat pertemuanku dengan Devan.
"Kau sudah lama menunggu?" tanya Devan dengan wajahnya yang rupawan.
Lamunanku buyar seketika. "Ha? Ehmm... Baru .. Baru 30 menit yang lalu aku sampai." ucapku dengan nada gugup.
"Maafkan aku yang sudah membuatmu menunggu. Ayo kita berangkat." ucapnya dengan penuh semangat.
Devan pun membukakan pintu mobilnya. Alunan musik yang begitu melow seolah membawa suasana yang romantis. Dengan memakai kemeja dan celana jeansnya menambah ketampanan pria yang berada di kursi kemudi saat ini.
Perlahan kedua mataku mulai berat hingga beberapa detik kemudian aku terhanyut ke alam mimpi. Mimpi yang begitu indah. Hingga hampir satu jam kemudian aku merasa tanganku ada yang menyentuh.
"Nay...kita sudah sampai. Ayo turun... " ucapnya seraya tersenyum manis kepadaku.
mereka perawat tapi sikapnya tidak mencerminkan pekerjaannya
tunggu balasan pedih dari orang yang disakitinya😬