NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:988
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2. Suami Wong Edan

TIN...

TIN...

Suara klakson memekikkan telinga Maha, kesal dengan gangguan dari mahluk bernama Sastrawira Atmajaya Hardjosoemarto yang terus mengikutinya dari rumah sampai Maha sekarang ini tengah berada di depan jalan raya.

Maha terpaksa harus naik angkutan umum karena papanya tidak memberi akses transportasi pribadi dan sialnya, Sastrawira sudah berada di rumahnya sejak pukul lima pagi. Membangunkan Maha untuk sholat subuh yang jarang sekali ia kerjakan, sampai menunggu Maha bersiap-siap, katanya mau mengantarkan istrinya berangkat ke sekolah.

Maha berjalan cepat, berharap bisa menghilangkan jejak dari Sastra, tapi suara klakson mobilnya yang mewah terus membuntutinya di sepanjang jalan. Setiap kali Maha melirik ke samping, dia bisa melihat Sastra duduk di balik kemudi dengan wajah yang tenang, seolah-olah tidak ada yang salah dengan situasi ini.

"Ngeselin banget sih om-om pedo ini, udah tau ditolak mentah-mentah sama gue tetep aja ngintilin kayak bebek!" Maha menggerutu sambil mempercepat langkahnya, namun suara klakson itu semakin keras seakan-akan, Sastra sengaja ingin membuatnya kesal.

Beberapa pejalan kaki mulai melirik mereka dengan tatapan heran, tapi Sastrawira tampak tidak peduli. Dia tetap mengikuti Maha, seolah tidak ada yang bisa menghentikannya. Maha menggertakkan giginya, merasakan darahnya mendidih.

"Sastra, gue serius nih!" Maha berteriak kesal, membalikkan badan dan menghadapi laki-laki itu yang kini sudah berhenti di sampingnya, "atau gue teriak lo penguntit, mau?!"

Sastra turun dari mobilnya, mengenakan setelan rapi yang tampak kontras dengan seragam sekolah Maha yang sederhana, namun aura dompet tebal nya sangat kentara sekali. Dengan langkah tenang, dia mendekat, membuat Maha semakin geram.

"Saya bisa jelaskan kalau kamu istri saya," jawab Sastra dengan suara yang tenang, seolah-olah dia tidak terpengaruh oleh ancaman Maha.

"Ishhh... ngeselin banget sih lo Sastra! Najong banget! Udah deh jangan buat gue tambah pusing. Lo pergi dari sini atau gue teriak nih? lagian orang-orang gak bakal percaya kalo lo suami gue, anak SMA yang harusnya fokus belajar malah milih nikah sama om-om. Mikir dong Sastawira!"

Sastra menyugar rambutnya kebelakang, namun ditangkap sok cari perhatian oleh Maha. "Dih... merinding gue!" Batin Maha merasa horor melihat tingkat paripurna ketampanan laki-laki itu. Maha tidak munafik, Sastrawira Atmajaya Hardjosoemarto memang memiliki paras dan proporsi tubuh yang hampir sempurna.

"Jam enam lewat empat puluh lima, tetap kekeuh ingin naik angkutan umum saja, Heum? Yakin gak telat?"

Maha melihat jam tangannya, matanya membelakak besar. Duh, kalau gini caranya dia tidak punya waktu lagi menunggu, maka dari itu, Maha langsung memberhentikan seorang ojek online yang kebetulan tengah melintas santai. Sastra tertegun melihat itu, ia kira Maha akan masuk kedalam mobilnya.

"Pak...Pak..." Panggil Maha keras, si bapak ojol menoleh cepat dan memberhentikan motornya ditepian.

"Iya dek ada apa?"

"Jadi gini pak, saya mau berangkat kesekolah tapi angkutan umum kok lama banget ya, gak nongol-nongol? Nah... kebenaran ada bapak lewat, boleh gak saya langsung ngojek aja tanpa aplikasi, udah mepet soalnya ini pak, nanti ongkosnya saya tambah deh pak."

Bapak Ojol itu langsung merubah raut wajahnya dengan senyuman yang mengembang, "boleh dek boleh, kalau begitu mau diantar ke sekolah mana dek?"

"Sekolah Cendana Maharaja ya pak,"

Sastra mengangkat alisnya, terkejut melihat Maha yang lebih memilih ojek online ketimbang naik mobil bersamanya.

Bapak Ojol itu pun mengangguk dengan sigap, dan Maha segera naik ke atas motor. Namun, sebelum ojek itu melaju, Sastra mendekat dengan langkah cepat. "Maha, saya bisa mengantar kamu lebih cepat dari ini," kata Sastra dengan nada sedikit tegas, mencoba menawarkan dirinya sebagai solusi yang lebih praktis.

Maha hanya mendengus dan melirik Sastrawira dari sudut matanya. "Lebih cepat? Iya, lebih cepat bikin gue pusing. Udah, sana pulang aja, lo. Gak perlu repot-repot nganter gue."

"Pak, kita berangkat sekarang!" seru Maha tanpa menghiraukan Sastra lagi.

Si bapak ojol menyalakan motornya, dan dalam hitungan detik, mereka sudah meluncur meninggalkan Sastra yang berdiri terdiam di pinggir jalan. Sastra hanya bisa menghela napas panjang, matanya masih tertuju pada punggung Maha yang semakin menjauh.

Lima belas menit kemudian, Maha tiba di depan gerbang sekolah. Tanpa membuang waktu, dia segera turun dari ojek dan membayar ongkosnya sambil mengucapkan terima kasih singkat pada si bapak ojol.

Dengan cepat, Maha melangkah masuk ke dalam area sekolah. Perasaannya campur aduk—kesal karena Sastrawira, tapi juga lega karena berhasil tiba di sekolah tanpa harus bersamanya.

Maha menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pagi yang seharusnya tenang malah jadi ribet gara-gara Sastra. "Ini baru hari pertama setelah kejadian itu, dan dia udah bikin hidup gue repot," gumamnya kesal sambil berjalan menuju kelas.

Masuk ke dalam kelas, Maha langsung disambut oleh sahabatnya, Keana, yang duduk di bangku paling depan. Keana mengangkat alis, memperhatikan wajah Maha yang tampak kusut.

"Tumben banget datang-datang muka lo kusut banget, Maha? Ada apa sih?" tanya Keana dengan nada penasaran.

Maha menghempaskan tasnya ke atas meja, kemudian menghela napas panjang sebelum menjawab, "siapa lagi kalau bukan si om-om ngeselin itu. Dia ngikutin gue dari rumah sampai sini! Beneran deh, gue pusing sama Sastrawira." Maha tanpa sadar keceplosan menyebut nama laki-laki itu.

Keana tampak bingung, alisnya berkerut, "Sastrawira? Siapa Sastrawira, Maha? Jangan-jangan pacar baru lo ya?"

Maha tersentak, menyadari dia sudah keceplosan. "Eh, bukan! Maksud gue... Sastawira itu...," Maha berpikir cepat mencari alasan, "Dia cuma tetangga baru yang super kepo, makanya gue kesel banget. Gak ada apa-apa kok, Kea."

Keana menyipitkan mata, jelas belum puas dengan jawaban Maha. Dia memang sangat jago membaca raut wajah sahabatnya itu. "Jangan bohong deh, Maha. Jangan-jangan om-om itu pacar baru lo ya?" Keana menggoda dengan nada setengah serius.

Maha menggeleng cepat, berusaha terlihat santai meski hatinya berdegup kencang. "Apaan sih, Kea. Mana mungkin gue punya pacar om-om? Itu cuma tetangga iseng yang suka gangguin gue. Lo gak perlu mikir yang aneh-aneh."

Keana menatap Maha sejenak, lalu mengangkat bahu dengan santai. "Ya gak apa-apa kali lo pacaran sama om-om, Maha. Kalau yang seumuran pada berengsek, gaskeun aja sama yang berumur. Bener gak, Maha?" Ujung-ujungnya Keana menggoda dengan senyum jahilnya, berharap bisa mendapatkan reaksi yang lebih seru dari sahabatnya.

Maha mengerutkan keningnya, setengah terganggu dan geli dengan godaan Keana. "Ish, Kea! Gak ada om-om. Lagian siapa juga yang mau pacaran sama om-om?" balas Maha, mencoba menepis godaan temannya sambil menyembunyikan rasa gugup yang muncul.

Keana tertawa kecil, lalu menepuk pundak Maha dengan ringan. "Santai aja kali," bisiknya sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Maha, "kalau iya juga gak apa-apa."

"KEANA!!" Maha langsung memprotes, wajahnya memerah karena jengkel dan malu sekaligus. Namun, Keana hanya tertawa terbahak-bahak.

•••

Setengah hari penuh dengan aktivitas di sekolah, Maharani merasa lelah dan ingin segera pulang. Setengah jam pelajaran terakhir usai, Maha akan pulang bersama Keana, nebeng motornya. Sebelum menuju parkiran, Maha memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu.

Setelah selesai, dia segera menuju parkiran sekolah dengan harapan bisa cepat pulang dan beristirahat di rumah. Namun, saat tiba di parkiran, dia tidak menemukan Keana di antara deretan motor yang terparkir. Ketika Maha sedang mencari-cari, tiba-tiba terdengar suara yang familiar dari arah gerbang.

"MAHA!!" Keana berteriak keras, suaranya memecah keheningan parkiran dan menarik perhatian beberapa siswa yang melihatnya dengan tatapan heran.

Maha mengerutkan keningnya, bingung melihat Keana yang terengah-engah sambil berlari mendekat. "Keana, ngapain lo dari gerbang? Gue udah nunggu di sini," ujar Maha dengan nada kebingungan.

Keana berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. "Pa—pacar lo, Maha! Lo bohong sama gue, lo sebenarnya udah punya pacar baru, kan?"

Maha semakin bingung, "Hah? Maksud lo apa, Kea? Sumpah, gue gak ngerti!"

Keana menarik tangan Maha dengan cepat, hampir membuatnya tersandung. "Ayok ikut gue, cepetan!" desaknya dengan nada tak sabar.

Maha terpaksa mengikuti, meskipun pikirannya masih penuh dengan kebingungan. "Kea, gue gak ngerti, serius deh! Mau dibawa ke mana gue?"

Keana tidak menjawab, hanya terus menariknya menuju gerbang sekolah. Setelah beberapa langkah, mereka tiba di sana, dan Maha langsung mengerti apa yang dimaksud Keana. Di depan gerbang, berdiri sosok Sastrawira yang tampak tenang sambil bersandar pada mobil Lamborghini mewahnya. Mata Maha langsung membelalak lebar.

"Kenapa dia ada di sini?!" Maha berbisik panik, mencoba menarik tangannya dari genggaman Keana. "Fix! Dia sengaja mau caper!" Batinnya kesal, andai tidak ada Keana disampingnya sudah Maha maki-maki pria itu.

"Kok Lo gak bilang sama gue sih, kalau pacar lo cakep banget?" Keana berbisik kembali, nadanya terdengar seperti seorang teman yang sedang sangat terkesan.

"Apasih Kea, Gue udah bilang, dia bukan pacar gue! Udah ah, gue gak mau ketemu dia!" Maha berusaha mundur, tapi Keana malah mendorongnya maju.

"Oh jadi Sastrawira yang lo maksud pagi itu, cowok ganteng ini ya," Keana berbisik lagi, suaranya dipenuhi dengan nada menggoda.

Maha hanya bisa menatap Keana dengan tatapan memohon, berharap sahabatnya itu berhenti membuat situasi ini semakin menyebalkan. Namun, Keana hanya tersenyum lebar, puas dengan reaksinya.

Sastrawira yang mendengar bisikan Keana, mengangkat alisnya. "Kamu cerita tentang saya, Maha?" tanyanya dengan nada santai, namun terdengar penuh dengan keisengan bagai Maha.

Maha menggertakkan giginya, merasa semakin kesal. "Gak, lo jangan GR. Ini semua salah paham," jawabnya cepat, berusaha untuk tidak terlihat gugup.

Keana terkikik pelan, menikmati momen ini terlalu banyak. "Udah lah, Maha, ngaku aja. Cowok lo aja ngaku dia pacar lo."

"Apa?" Maha terkejut, menatap Keana dengan mata membesar. "Gue udah bilang, dia bukan pacar gue! Dia cuma tetangga yang nyebelin."

"Terserahlah kalau lo mau bohongin gue, Maha. Sekarang kan udah ada yang jemput, jadi... have fun ya!" Keana tertawa sambil melangkah pergi.

Maha berusaha menyusul Keana, tapi tangannya ditarik oleh Sastra. "Eh, lo mau apa?" tanya Maha dengan nada bingung sekaligus tak nyaman.

"Pulang sama saya," jawab Sastra singkat.

Maha segera melepaskan genggaman tangan Sastra dengan kasar. "Gak mau. Lo gak usah rese bisa gak sih?!" Ujarnya sarkastik lalu pergi dari hadapannya.

Sastra tetap berdiri tenang. "Papa kamu juga yang minta," Sastra menahan langkah Maha yang mulai menjauh.

Maha berbalik menatap Sastra dengan frustrasi, "bodo amat!"

Sastra menghela napas panjang sebelum masuk ke dalam mobil, kemudian segera melaju untuk mengejar Maha.

TIN... TIN...

Suara klakson yang terus dibunyikan oleh Sastra menarik perhatian orang-orang di sekitar, membuat Maha semakin merasa kesal dan malu. Dia mempercepat langkahnya, berharap bisa segera lepas dari situasi yang memalukan ini. Takut dikira jadi simpanan om-om tajir.

"Udah dibilangin, gue gak mau pulang sama lo, Sastra!" teriak Maha dengan frustrasi, tetap bersikeras menolak tawaran laki-laki itu.

Namun, Sastra tidak menyerah. Dia terus mengikuti Maha dengan mobilnya, membuat Maha berhenti di tepi jalan untuk menunggu angkutan umum. Sayangnya, setiap angkutan yang lewat selalu penuh sesak, meninggalkan Maha tanpa pilihan.

Maha mencoba memesan ojek online sebagai alternatif, tetapi saat dia memeriksa ponselnya, layar ponsel itu tiba-tiba mati. Baterainya habis.

"Ah, sial..." gumamnya dengan kesal, merasa benar-benar terjebak dalam situasi menyebalkan ini.

Maharani tidak gentar begitupun dengan Sastrawira. Dia menunggu selama lima belas menit, berharap ada transportasi yang bisa membawanya pulang. Namun, seolah hari ini memang hari sialnya, tak satu pun angkutan umum yang lewat dengan kondisi lenggang, dan yang ada selalu penuh sesak. Maha mulai merasa frustrasi, ditambah dengan teriknya matahari yang semakin membakar kulitnya.

Akhirnya, setelah merasa tak ada pilihan lain, Maha menghela napas panjang dan dengan sangat terpaksa mendekati mobil Sastrawira.

"Fine, gue ikut lo," ujar Maha dengan nada enggan, sambil melirik Sastra dengan tatapan tajam.

Sastra hanya tersenyum tipis, yang lagi-lagi ditangkap Maha sebagai ekspresi puas karena akhirnya berhasil membuat Maha menyerah. "Good girl, masuklah," katanya sambil membuka pintu mobil untuknya.

Namun, alih-alih masuk lewat pintu yang dibukakan Sastra, Maha justru memilih membuka pintu penumpang di sisi lain. Dengan sikap keras kepala, dia memasuki mobil dari sisi yang berlawanan, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak sudi berdekatan dengannya.

Sastra menutup pintu yang sudah dibukanya, lalu menghela napas lagi sebelum berjalan mengitari mobil dan masuk ke dalam tempat kemudi. "Baiklah, kita pulang istriku."

Maha melipat tangan di depan dada, mendengus sebal mendengar kata 'istriku' yang keluar dari mulut Sastra. "Jangan panggil gue gitu," balasnya tajam.

Sastra hanya tersenyum tipis sambil menyalakan mesin mobil. "Terserah kamu mau bilang apa, tapi kenyataannya kamu tetap istri saya," ucapnya santai, seakan sengaja memancing emosi Maha.

"Dasar cowok gila!" seru Maha dengan kesal.

Sastrawira menatapnya sekilas dari balik kaca spion, kembali tersenyum tipis. "Lebih tepatnya, suami gila, Maha," balasnya, menambahkan sedikit bumbu keusilan yang semakin membuat Maha dongkol.

Maha menoleh keluar jendela, berusaha mengabaikan Sastra dan fokus pada jalanan yang mulai dilalui mobil mereka. Namun, di dalam hati, rasa jengkel dan frustrasinya semakin memuncak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!