Wati seorang istri yang diperlakukan seperti babu dirumah mertuanya hanya karena dia miskin dan tidak bekerja.
Gaji suaminya semua dipegang mertuanya dan untuk uang jajannya Wati hanya diberi uang 200ribu saja oleh mertuanya.
Diam-diam Wati menulis novel di beberapa platform dan dia hanya menyimpan gajinya untuk dirinya sendiri.
Saat melahirkan tiba kandungan Wati bermasalah sehingga harus melahirkan secara Caesar. ibu mertua Wati marah besar karena anaknya harus berhutang sama sini untuk melunasi biaya operasi Caesar nya.
Suaminya tidak menjemputnya dari rumah sakit. saat Wati tiba dirumah mertuanya dia malah diusir dan suaminya hanya terdiam melihat istrinya pergi dengan membawa bayinya.
Bagaimana nasib Wati dan bayinya? Akankah mereka terlantar dijalanan ataukah ada seseorang yang menolong mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyuni Soehardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20
Wati dan Dony serta baby Panji beristirahat dikamar yang sudah dibersihkan. Mereka bertiga tidur dalam satu ranjang.
Mereka terbangun saat azan ashar berkumandang dan Dewi cepat-cepat memandikan Panji. Ibunya sudah menyiapkan ember bayi untuk mandi cucurnya.
Wati dan Dony mandi bergantian sambil menjaga Panji.
Sore itu ayahnya sudah mandi dan duduk di teras sambil ngobrol dengan ibu dan mas Iwan. Wati mendekatkan Panji pada kakeknya. Ayah Wati hanya bisa membelinya dengan sebelah tangannya. Tangan kirinya masih belum bisa dipakai untuk beraktivitas karena stroke.
Ibu mengambil Panji dan menggendongnya. Panji adalah cucu pertamanya karena kakak Wati belum memiliki keturunan.
“Ayah sudah lama ingin melihat cucunya. Tapi menjelang berangkat tiba-tiba terkena serangan stroke jadi terpaksa kalian yang ibu panggil kemari.” Kata ibu.
“Tidak apa-apa bu, sekali-kali Wati juga harus pulang kampung. Masa pulang kampung cuma kalau lebaran saja. Lagipula mas Dony kan belum tahu kampung halaman Wati” Jawab Wati.
“Iya ini baru pertama kali nya saya keluar pulau bu. Semoga nanti kami bisa sering main kesini.” Sambung Dony.
“Baguslah. Ibu senang mendengarnya, lebih bagus lagi kalau perkebunan itu kau kelola Wati Dony kan bisa belajar mengelolanya supaya tidak jauh kalau pulang kampung.” Kata ibu.
Kan ada mas Iwan bu?” Jawab Wati.
“Mas mu dan kamu punya bagian masing-masing, kamu seharusnya ya mengelola bagianmu sendiri Wati.” Kata ibu.
“Nanti Wati pertimbangkan bu, mas Dony punya pekerjaan di Jakarta.” Jawab Wati.
“Pondok dekat mata air sudah aku bangun menjadi rumah kecil. Coba besok kau lihat. Kalau sewaktu-waktu kau mau pindah kemari bisa langsung kau tempati.” Kata mas Iwan.
“Bu ayah mau masuk.” Kata ayah.
“Ayo kita semua masuk. Ayah sudah lelah rupanya.” Kata ibu sambil mendorong kursi roda ayah masuk ke dalam rumah.
Semua mengikuti ibu dari belakang. Dan duduk diruang tamu.
Ibu menyuguhkan teh panas dan kopi untuk semua orang. Ayah minum teh tawar dan diberi kue bingka sepotong oleh ibu. Semua makan kue bingka buatan ibu.
“Aku kok belum melihat istri mas Iwan? Mbak Sarah kemana mas?” Tanya Wati.
“Mbak mu lagi mudik juga belum tahu kapan kembalinya” jawabnya pendek sambil menyesap kopinya.
Wati hanya mengangguk. Suaminya yang biasanya kocak tidak banyak berkata-kata karena masih canggung dengan keluarga Wati. Mereka asli suku Jawa tapi sukses merantau di Pulau Sumatera dan memiliki beberapa hektar perkebunan sawit.
Saat makan malam yang biasanya kakaknya suka menggodanya ini agak pendiam. Tapi Wati hanya menyimpan keheranannya sendiri.
Makan malam hari itu menu khas dari desa setempat. Dony menyukai cita rasanya. Seperti sedang makan di restoran Padang saja.
Hari itu tidak ada hal yang istimewa untuk dibicarakan semua pembicaraan ringan saja. Hingga semua masuk ke kamar masing-masing. Wati tidak sabar ingin melihat rumah kecilnya yang didekat mataair seperti yang dikatakan kakaknya.
Keesokan harinya mas Iwan berkunjung untuk sarapan. Dia membawa mobil kecil berwarna merah milik Wati yang ditinggalkannya saat akan merantau ke ibu kota.
“Mas Iwan membawakan mobilku? Selama ini mas Iwan ya yang merawatnya.” Tanya Wati.
“Iya dong kalau bukan mas Iwan siapa lagi. Ibu juga tidak bisa menyetir mobil.” Jawab Iwan sambil menyerahkan kunci serta surat-suratnya kepada Wati.
“Kok diberikan ke aku mas?” Wati bingung.
“Bawalah aku repot kalau harus merawat dua mobil. Nanti kalau mau pulang ke Jawa bawa saja.” Jawab Iwan.
Tapi aku sudah beli tiket pulang mas” kata Wati.
“Diuangkan kan bisa.” Jawab kakaknya enteng.
“Kau sudah sarapan belum?” Tanya kakaknya.
“Sudah sama ibu tadi.” Jawab Wati.
“Kalau begitu pergilah melihat-lihat kebunmu dan rumahmu.” Kata Iwan.
Wati menyiapkan kebutuhan bayi dan dia bersama suaminya pergi ke perkebunan milik Wati. Karena Wati yang hapal jalannya maka Wati lah yang menyetir.
Jalan setapak menuju pondok Wati sudah diperbaiki dan tampaklah rumah kecil dihadapan mereka. Rumah itu minimalis hanya ada dua kamar halamannya terawat dengan ditanami bunga dan pohon mangga, di kejauhan ada pohon cempedak, beberapa pohon durian. Dan ada sungai yang mengalir didepan rumah Wati. Mereka harus melewati jembatan untuk menyeberang ke rumah itu.
“Wah pemandangannya bagus sekali mom. Benar ini rumahmu?” Kata Dony.
“Iya mas ini rumahku. Ayo kita masuk.” Ajaknya. Rumah kecil yang cantik dengan arsitektur seperti rumah impian Wati ala country di Eropa termasuk pilihan furnitur.
Wati menuju ke dapur ternyata kulkasnya sudah terisi bahan makanan. Tempat beras juga terisi penuh.
Dapurnya sesuai dengan selera Wati.
“Bagaimana kalau kita disini sampai sore mas? Aku jadi ingin memasak.”
“Baiklah terserah kau saja mom. Tapi kau masak nasi saja setelah itu kita tinggal jalan-jalan. Aku ingin mengelilingi daerah ini.” Pinta Dony.
“Baiklah mas, sebentar aku cuci beras dulu.” Kata Wati. Setelah semua selesai dia dan suaminya menyusuri sungai kecil yang mengalir jernih di sekitar tanah perkebunan Wati.
Mereka memetik cempedak yang sudah matang. Dan menemukan durian yang sudah jatuh.
“Sebaiknya kita menjauhi pohon durian mas, takutnya kalau tiba-tiba ada durian yang jatuh.” Kata Wati.
Panji didorong dengan kereta bayinya tampak anteng diajak jalan-jalan.
“Sayang waktu kita tidak banyak disini mom. Papi kerasan disini.”
“Kita bisa tinggal disini Pi ibu sudah menawarkan kita untuk mengelola perkebunan ini. Tapi disini sepi, tidak ada mall kecuali dikota yang membutuhkan waktu 3 jam untuk sekedar ke mall.
“Inilah salah satu penghasilan ku selain menulis Pi. Aku berencana pulang kampung begitu Panji sudah boleh naik pesawat. Tapi ternyata kau memilih kembali pada kami. Akhirnya sampai sekarang kita tetap di Jakarta. Bagaimana Pi? Mau disini atau tetap di Jakarta?” tanya Wati.
“Bagaimana dengan sekolah anak-anak?” Dony membalas bertanya.
“Ya ada sih sekolah di desa tentu saja sangat berbeda dengan sekolah di kota apalagi Jakarta Pi.” Jawab Wati.
“Di Jakarta aku sudah pegawai tetap mom, masih berat kalau keluar dari pekerjaan ku yang sekarang tapi akan papi pertimbangkan lagi. Kalau untuk sekarang masih terlalu mendadak mom.” Dony memberikan alasan keberatannya untuk pindah ke kampung halaman istrinya.
“Baiklah Pi tidak apa-apa tapi kita akan sering pulang kampung ya Pi?” Pinta Wati.
“Tentu saja pulang ke kampung halaman mu adalah liburan yang mengasikkan.” Jawab Dony.
“Aku ingin main air disungai pi, kau jaga Panji ya” kata Wati sambil menceburkan kakinya ke dalam air sungai yang tidak terlalu dalam.
Keahliannya sebagai anak yang tumbuh besar di alam membuatnya sangat mudah mendapatkan banyak udang, ikan dan kerang air tawar. Dengan menggunakan racun alami yang didapatnya dari batang tumbuhan tertentu yang tumbuh disitu. Wati mematahkan dahan beracun dan memukul-mukulnya hingga retak dan mengeluarkan cairan. Lalu dimasukkan kedalam sungai. Udang dan ikan langsung mabuk dan mengambang tinggal mengambilnya satu persatu. Dia merobek daun pisang dari sebuah pohon pisang yang tumbuh di dekat sungai itu dan membungkus hasil tangkapannya.
“Ayo kita pulang Pi aku sudah berhasil dapat ikan, udang, dan kerang. Aku mau memasak hasil tangkapan ku.” Seru Wati.
“Ya Allah istriku kamu betul-betul wanita hutan.” Ucap Dony sambil geleng-geleng kepala.
Dia mengikuti istrinya sambil mendorong kereta bayi Panji.
Sesampainya di rumah Wati langsung membersihkan semua hasil tangkapannya.
Dia meracik bumbu dan membuat pesmol ikan dan menumis udang dan merebus kerangnya dengan jahe dan bawang putih serta ditaburi daun bawang.
Mereka makan siang pertama kali nya dirumah mereka sendiri.
Wati menyediakan mangkuk untuk sup kerangnya. Dia menyesapnya dengan nikmat. Itu adalah menu kesukaannya.
“Di Jakarta sangat sulit menemukan jenis kerang ini Pi. Masakan ini yang selalu ku rindukan kalau pulang kampung. Sup kerang air tawar hasil tangkapan sendiri.” Ujarnya.
“Lebaran yang akan datang kita pulang ke kampung mu mom. Kita bisa punya banyak waktu disini.” Kata Dony.
“Beneran ya Pi. Mungkin lebaran nanti Panji sudah cukup besar diajak mudik naik mobil biar pulang bisa bawa durian. Mobilku bagasinya cukup luas.” Kata Wati.
Mobil Wati adalah jenis Hi-lux yang biasa dipakai Wati untuk mengangkut durian untuk dibawa ke tengkulak.
Setelah makan siang Wati membersihkan meja dan mencuci piring dan gelas bekas makan siang juga dapur yang digunakannya untuk memasak. Lalu terakhir dia membuang sampah diluar.
“Kita tidur siang disini saja ya Pi.” Kata Wati sambil menyalakan AC kamarnya.
“Iya Panji juga sudah ngantuk. Tolong buatkan susunya Panji dulu mom.” Kata Dony.
Wati membuat susu untuk anaknya lalu membaringkan dirinya dan anaknya. Dony menyusul membaringkan dirinya disebelah Panji.
Mereka terbangun saat mendengar suara mobil datang. Mas Iwan terlihat berjalan diatas jembatan menuju rumah mereka.
Mas Iwan mengetuk pintu sebentar lalu membukanya tanpa menunggu dipersilahkan masuk.
“Wati kau dimana? Saatnya pulang sekarang.” Panggil mas Iwan.
“Iya mas tunggu sebentar. Pi bangun Pi kita harus segera pulang. Tidak boleh keluar malam sendirian.” Wati membangunkan suaminya.
“Aku masih ngantuk mom.” Jawabnya.
“Tidak bisa Pi kita harus pulang sekarang ini bukan Jakarta Pi kita tidak bisa menyetir mobil sendirian di malam hari. Tidak ada jaminan keamanan disini. Ayo bangun.”
"Iya iya ini mau bangun." jawab Dony. Sambil melangkah menuju kamar mandi untuk membasuh muka.
"Maaf aku ketiduran mas, habis masak hasil tangkapan sungai aku ngantuk" kata Wati.
"Tidak apa-apa, kita harus bergegas sebelum malam." kata kakaknya Wati.
Akhirnya mereka semua pulang dengan mobil masing-masing dengan berjalan beriringan sampai ke rumah.
Akhirnya bisa damai