Di suatu hari paling terpuruk di hidup Dinda, dia bertemu dengan seorang wanita paruh baya. Wanita tua yang menawarkan banyak bantuan hanya dengan satu syarat.
"Jadilah wanita bayaran."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WB&CEO BAB 20 - Bunuh Saja Aku
Tepat jam 12 malam Alden baru menyudahi kebejatannya. Dia ambruk di atas tubuh Dinda yang sudah koyak. Alden bahkan sudah tidak sadar ketika tubuhnya yang besar menindih Dinda yang begitu ringkih.
Diantara sepinya malam itu, lagi-lagi air mata Dinda jatuh. Mengalir dan terasa panas di pipinya yang dingin.
Bejat kamu Al, setidaknya minta aku lari sebelum obat itu menguasai kamu.
Minta aku pergi sebelum kamu tidak sadarkan diri.
Aku membencimu Al. Sangat benci.
Dinda sadar jika malam ini Alden tengah terpengaruh obat, tapi tetap saja dia tidak bisa menerima semua yang terjadi.
Dengan semua tenaganya yang tersisa, Dinda coba mendorong tubuh Alden agar menjauh darinya. Cukup sulit, namun akhirnya Dinda berhasil terlepas.
Dinda lantas bangkit, turun dari atas ranjang dengan susah payah menahan rasa sakit di pangkal pahanya.
Dia melihat bajunya yang tergeletak di atas lantai, baju yang sudah tidak layak untuk dipakai.
Tapi tidak ada lagi yang bisa Dinda gunakan untuk menutupi tubuhnya yang polos selain kain itu. Akhirnya dia tetap mengambil gaunnya dan dililitnya di pinggang, lalu atasannya dia mengambil kemeja putih milik Alden.
Dengan sangat terpaksa Dinda kembali menggunakan baju milik pria ini. Membalut tubuhnya dengan baju itu mesti harus menahan jijik.
Penampilan Dinda benar-benar sangat kacau. Tapi Dinda tidak memperdulikan akan hal itu, yang dia pikirkan saat ini adalah segera pergi sebelum Alden sadar.
Tanpa kembali melihat Alden, Dinda langsung pergi meninggalkan kamar itu. Kamar yang menyimpan kenangan paling buruk selama hidupnya.
Setelah keluar dari hotel, Dinda tidak memanggil taksi. Dia terus berjalan seolah tanpa arah. Tatapannya kosong, dalam hatinya terus mengutuk dirinya sendiri dan membenci semua yang terjadi.
Alden, Gaida dan Liora. 3 orang bejat yang menjadikannya boneka tumbal.
Sementara itu di tempat lain, Liora masih menunggu kedatangan Alden dengan perasaan yang gundah. Melihat jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan angka 12 malam tepat. Tapi hingga kini sang kekasih tidak juga sampai di kamar tempat mereka akan bertemu.
Liora menatap kosong ke arah luar, dari dinding kaca itu dia lihat indahnya kota A di malam hari. Terlihat ramai dan banyak kehidupan, sementara dia di sini hanya seorang diri berteman dengan sepi.
"Kamu tidak datang Al?" tanya Liora, bertanya pada sepi yang semakin merasuki hatinya.
Berapa kali Alden selalu membuat kesalahan dan dia coba memaafkan, tapi malam ini bagi Liora sungguh keterlaluan.
dia sudah mempersiapkan semuanya, bahkan merias dirinya dengan sangat sempurna hanya demi Alden. tapi apa yang dia?; lagi-lagi hanya kecewa yang menguasai hati.
"Kamu jahat Al," lirih Liora, dia benar-benar sudah kecewa.
Lelah menunggu akhirnya Liora memutuskan untuk pergi dari kamar itu. berjalan dengan langkah kaki lebar penuh amarah.
Sampai di rumah Liora langsung berteriak memanggil sang nenek. Saat ini dia benar-benar butuh pelampiasan untuk meluapkan semua amarah yang bersarang di dada.
"Nenek!" pekik Liora, namun yang dipanggil tak kunjung datang. Malah seorang pelayan yang menghampiri dia. Mendekat seraya menunduk takut.
"Maaf Nona, Nyonya Gaida pergi sejak jam 9 tadi dan hingga ini belum kembali." terang pelayan itu apa adanya, dia bicara dengan kepala yang terus menunduk. Kemarahan yang terpancar jelas di wajah Liora membuat para pelayan di rumah itu merasa takut.
Dan tanpa menjawabi, Liora pun segera naik ke lantai 2. bukan menuju kamarnya sendiri, melainkan ingin beristirahat di kamar sang nenek. Jika dia menuju kamarnya sendiri, Liora yakin dia akan merasa semakin sepi, semakin marah dan mungkin saja malah menangis.
Jadi Liora putuskan untuk menunggu neneknya pulang di kamar sang nenek.
Masuk ke dalam sana dan langsung menjatuhkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang. Menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
Dalam benaknya terus terpikirkan bagaimana akhirnya hubungan dia dan Alden, karena semakin lama Liora merasa mereka semakin jadi jauh.
Waktu terus bergulir, hingga waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari namun Liora tak kunjung memejamkan matanya, sang nenek pun belum juga pulang membuat Liora jadi mencemaskan sama nenek.
Wanita cantik ini lantas bangkit dari tidurnya dan merogoh ponsel di dalam tas, berniat untuk menghubungi Gaida. Lalu setelahnya Liora meletakkan tas itu di atas nakas, namun tanpa sengaja malah mendorong tas milik sang nenek jatuh hingga ke lantai.
Brak! Seisi tas milik Gaida jatuh dan isinya berserak di lantai.
Namun tatapan Liora seketika terkunci pada sebuah foto seorang wanita yang nampak tak asing di matanya. Foto milik wanita sialan itu, Dinda.
Deg! jantung Liora mendadak bergemuruh. Dia lantas mengambil foto itu dan selembar kertas yang tertulis jelas sebuah perjanjian.
Liora membacanya, seketika itu juga dia terkejut luar biasa.
"Astaga, jadi benar wanita sialan itu bayaran nenek?" gumam Liora, dia remat kuat kertas itu merasakan amarah yang mulai membuncah untuk sang nenek.
Dan seolah keberuntungan telah berpihak kepadanya, saat itu juga Gaida membuka pintu dan tatapan keduanya langsung bertemu.
"Sayang," panggil Gaida seraya mendekat, namun Liora tidak mengindahkan panggilan itu. dia tetap memberikan tatapan tajam pada saat nenek.
"Apa ini Nek? Apa ini!" tanya Liora dengan suaranya yang sudah meninggi. Dia angkat kertas ditangannya hingga setinggi wajah.
"Itu tidak penting sayang, nenek punya sesuatu yang lebih penting daripada itu." Balas Gaida, sedikitpun dia tidak merasa cemas ketika Liora mengetahui tentang surat perjanjiannya dengan Valerie.
Dia malah mengambil sesuatu di dalam tasnya dan menunjukkan sebuah foto di mana Alden dan Dinda tengah menghabiskan malam bersama.
"Lihatlah, pria yang kamu cintai tidak lebih dari seorang badjingan. Dia bilang mencintai kamu tapi malah habiskan malam bersama wanita lain. Awalnya Valerie memang hanya wanita bayaran nenek, tapi ternyata diam-diam mereka benar-benar menjalin hubungan." Terang Gaida. Dia semakin memperlihatkan dengan jelas foto percinta ini itu pada sang cucu.
Seketika itu juga runtuh sudah dunia Liora.
"NENEK!!" teriak Liora dengan sangat kuat, tak terbendung lagi rasa amarahnya pada Gaida. Saking frustasinya Liora, dia bahkan sampai menjambak rambutnya kuat dan berteriak asal.
Gaida diam saja, tidak apa Liora saat ini frustasi. Tapi kelak sang cucu pasti akan berterima kasih padanya.
"Katakan dengan jujur! nenek juga kan yang merencanakan ini?!!" Tanya Liora dengan memekik, dia ambil dengan kasar foto di tangan Gaida dan membuangnya di atas ranjang.
"Astaga Nek!" Liora menangis, dan diantara tangisnya itu dia mengatakan sesuatu hal yang membuat Gaida tercengang.
"Alden bukan orang biasa Nek, dia adalah anaknya Alex Carter, pemilik Carter Kingdom!!" terang Liora dengan kekesalan yang luar biasa, rasa kesal pada sang nenek yang begitu menyesakkan dada.
Gaida mendelik, tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh sang cucu. Pasalnya selama ini ketika dia mencari identitas Alden, pria itu hanyalah anak dari panti asuhan yang tidak jelas asal usulnya.
"Aku selama ini diam, sengaja tidak memberitahu nenek agar semuanya berjalan seperti apa yang diinginkan oleh Alden."
"Tidak mungkin, dia hanya orang miskin Liora. bagaimana bisa pria itu memiliki hubungan dengan keluarga Carter."
"Sejak pertama aku mengenal dia aku sudah tahu itu Nek, aku lihat kartu identitas dirinya saat pertama kali bertemu." Di restoran saat itu, Liora dengan jelas membaca nama Alden Carter, namun saat berkenalan Alden tidak menyebutkan nama Carter, bahkan mengatakan jika dia bekerja sebagai karyawan biasa.
Dari sana Liora tahu, jika Alden ingin menyembunyikan identitasnya. Semenjak itulah dia berpura-pura menerima semua kekurangan Alden. Menjerat pria kaya raya itu dengan cinta tulus yang dia berikan.
"Dan Nenek sudah menghancurkan semua rencanaku!!"
Gaida menggeleng, tidak, tidak bisa semuanya jadi begini. Carter Kingdom adalah salah satu perusahaan terbesar di kota A. Perusahaan properti yang menjadi pusat mode pembangunan.
Bahkan Gaida berencana mengenalkan Liora pada anak pertama keluarga itu, Rayden Carter.
Wanita tua ini terus menggelengkan kepalanya, seolah ingin memutar waktu dan kembali menyelidiki Alden dengan benar, hingga tidak ada kekacauan seperti ini.
"Malam ini aku berencana memaksa Alden untuk segera menikahiku, tapi nenek malah membuatya bertemu dengan wanita sialan itu! Akh!!!" pekik Liora, dia kesal sekali. Apalagi ketika membayangkan jika tadi saat dia menunggu berarti Alden tengah bercinta dengan wanita itu.
"Bodoh!! Nenek yang bodoh!!" pekik Liora lagi, tak puas-puas dia mengutarakan semua kekesalannya.
"Bagaimana sekarang? apa yang harus kita lakukan!" tanya Liora lagi, sementara Gaida masih sibuk dengan keterkejutannya atas kenyataan ini.
"Nenek!!"
"Tunggu Lio, biarkan nenek berpikir!"
"Jangan hanya diam! kita haruskan memisahkan wanita itu dengan Alden! aku tidak mau tau bagaimana caranya! Alden hanya milikku! Alden Carter hanya milikku!!"
"LIORA! TENANG LAH!"
"Mana bisa aku tenang dalam keadaan seperti ini Nek? nenek benar-benar sudah menghancurkan hidupku? dimana lagi aku bisa menemukan orang sekaya Alden? Hah?!"
Gaida tergugu, otaknya semakin tidak bisa berpikir dengan jernih ketika mendengar semua ocehan Liora.
Namun saat itu juga Gaida langsung beranjak pergi, berniat mendatangi kamar hotel dimana Alden dan Valeri berada.
"Nek!" pekik Liora, dengan segera dia pun menyusul sang nenek.
Dini hari itu Liora mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju five Season Hotel. Dengan langkah cepat, Gaida dan Liora segera mendatangi kamar 6001. Kamar yang sudah Gaida pesan untuk menjalankan rencana jahatnya.
Dan saat pintu itu terbuka, keduanya sama-sama melihat Alden yang masih belum sadarkan diri di atas ranjang.
Melihat itu Liora mengepalkan tangannya kuat. Sangat mengutuk Dinda yang telah menghabiskan malam bersama sang kekasih.
Liora lantas menarik sang nenek untuk segera keluar dari sana.
"Antarkan aku ke rumah wanita sialan itu Nek, aku tidak mau dia hamil anaknya Alden! aku tidak mau!!"
"Tenanglah Lio!"
"Mana bisa aku tenang!!"
Keduanya terus berdebat, gamang dengan semua yang telah terjadi. Namun saat itu juga Gaida dan Liora berniat menemui Dinda.
Sepanjang perjalanan itu keduanya hanya saling diam sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya mobil Liora masuk ke dalam gang terakhir sebelum tiba di rumah Dinda, dia melihat seorang wanita berjalan lunglai di tepi jalan, menggunakan kemaja putih yang sangat mencolok hingga mencuri perhatiannya. Dan saat diamati olehnya ternyata wanita itu adalah Dinda.
"Wanita sialan!" geram Liora, dengan segera dia menghentikan mobil tepat di depan Dinda, hingga membuat Dinda nyaris jatuh karena terkejut.
Kedua mata Dinda yang sayu jadi mendelik saat melihat Liora dan Gaida keluar dari mobil itu dan menatapnya penuh amarah.
Plak! tanpa mengulur waktu, Liora langsung melayangkan tamparan keras di wajah Dinda. Bahkan dengan brutalnya menjambak rambut Dinda tanpa ampun.
Gaida yang takut Dinda mati oleh cucunya pun melerai perkelahian itu.
"Liora! sadarlah! bukan ini tujuan kita menemui wanita sialan itu!" ucap Gaida setelah berhasil menarik tubuh sang cucu menjauh dari Valeri yang telah tersungkur di jalanan.
Nafas Liora memburu, rasanya belum puas sampai wanita itu benar-benar mati.
"Nenek saja yang lakukan!" balas Liora pula dan Gaida langsung menganggukkan kepalanya setuju.
Sementara Dinda benar-benar sudah tidak punya tenaga untuk melawan, Dia hanya bisa pasrah saat Gaida mencekokinya dengan sebuah obat bubuk. Rasa pahit yang langsung dia rasa hingga ke tenggorokan.
Dia semakin pasrah saat Gaida memaksanya minum agar obat itu masuk sempurna ke dalam tubuhnya.
Dinda tahu, ini adalah obat penggugur kandungan. Obat yang sama dengan obat yang pernah Liora berikan padanya beberapa waktu lalu.
Puas melihat Dinda menelan semua obat itu, Gaida dan Liora pun pergi meninggalkan Dinda begitu saja. Tak peduli saat Dinda semakin tersungkur di jalanan.
Diantara ketidakberdayaannya, Dinda melihat mobil itu kembali menjauh. Cahaya lampu itu hilang, kembali menempatkan dia dalam kegelapan.
Harusnya kalian jangan hanya membunuh janin yang akan tumbuh di rahim ku. Harus nya kalian bunuh saja aku. Batin Dinda, diantara keputusaasaan yang sudah mulai menguasai diri.