cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 - Suasana Hati
Hari itu berlalu tanpa kejutan berarti. Kelas berjalan seperti biasa, dengan pelajaran yang terus berganti dan suara guru yang kadang terasa seperti nyanyian pengantar tidur. Vio tidak banyak bicara, seperti biasanya. Meski sesekali Reina akan menyodorkan komentar kecil atau Tissa yang datang saat jam istirahat membawa energi khasnya, hari itu tetap terasa seperti hari biasa. Dan entah kenapa, Vio menyukainya seperti itu tenang dan tanpa gelombang.
Matahari mulai condong ke barat saat bel sekolah berbunyi, menandai waktu pulang. Seperti biasa, Tissa menghampiri kelas Vio, dan kali ini seperti sudah bisa ditebak Reuxen muncul tak lama kemudian.
“Hei, Vio!” panggil Reu dengan nada santai sambil menyampirkan tas ke bahu. “Gimana kalau mampir ke kafe di dekat perempatan itu? Katanya brownies mereka enak banget. Kita bisa duduk santai sebentar.”
Vio mengangkat sedikit alisnya, lalu menoleh dengan tenang. “Maaf, hari ini aku nggak bisa.”
Reuxen sempat terdiam, tidak menyangka Vio akan menolak. “Oh... ada urusan?”
Vio hanya mengangguk pelan, tanpa menjelaskan lebih jauh. Tatapannya tidak dingin, hanya datar seperti biasanya—tapi cukup jelas menunjukkan bahwa ia memang tidak berniat pergi hari ini.
“Yah, sayang banget. Tapi ya udah, mungkin lain kali,” ujar Reuxen akhirnya, mengangkat tangan seolah mengibarkan bendera kecil tanda menyerah.
Reina hanya tersenyum melihat itu, sementara Tissa memandangi Vio dengan sedikit rasa penasaran, tapi memilih diam. Dalam diamnya, Vio menatap langit yang mulai memerah dan merasa... tenang.
Untuk hari ini, ia hanya ingin pulang.
Langkah kaki mereka beriringan menyusuri halaman depan sekolah. Suasana senja mulai menyelimuti langit, mewarnai jalanan dengan cahaya keemasan yang hangat. Vio menoleh sedikit ke arah Tissa yang berjalan di sampingnya.
“Kalau kamu mau pergi bareng mereka, nggak apa-apa,” ucap Vio pelan namun terdengar jelas. “Tapi jangan pulang terlalu larut.”
Tissa menoleh, tampak sedikit terkejut. Tapi kemudian ia tersenyum kecil, menyandarkan tangan ke belakang kepala. “Aku ikut pulang aja. Soalnya... kamu nggak ikut, jadi nggak seru.”
Vio terdiam sesaat. Ada perasaan aneh yang muncul, tapi dia hanya menanggapinya dengan helaan napas samar. Ia tahu Tissa tak pernah memaksakan keinginannya, tapi juga selalu peka pada suasana.
Tak lama, Reina yang berjalan di sisi lainnya ikut bersuara. “Aku juga pulang, soalnya aku ada keperluan di jam 8.”
Vio yang terkejut dengan ucapan Reina tapi memilih untuk diam saja
Lalu Reuxen yang berada sedikit di belakang mereka hanya mengangkat bahu sambil mengembuskan napas. “Yah, kenapa semuanya sibuk banget, ya?”
“Kamu kan yang terlalu bebas,” sahut Tissa dengan nada jahil.
Reuxen hanya terkekeh. “Mungkin. Tapi besok, kalian nggak boleh kabur lagi, ya?”
Vio tidak menjawab, hanya menatap langit senja sejenak sebelum melangkah lebih dulu menuju gerbang. Tak ada janji, tak ada penolakan hanya langkah yang perlahan namun mantap.
Setelah tiba di rumah, Vio membuka pintu dan masuk terlebih dahulu, membiarkan Tissa melangkah masuk di belakangnya. “Tissa, kamu langsung mandi dulu, ya,” ucap Vio sambil melepas tas punggungnya. “Aku akan mulai masak makan malam.”
Tissa mengangguk sambil tersenyum kecil, lalu melangkah menuju kamar mandi tanpa banyak bicara. Di balik pintu, ia membiarkan air hangat mengalir membasahi tubuhnya, membersihkan lelah setelah hari yang panjang.
Sementara itu, Vio membuka lemari dapur, mengeluarkan beberapa bahan makanan yang sudah disiapkan Hilda sebelumnya. Perlahan ia mulai memasak, suara wajan yang mendesis dan aroma masakan yang mulai tercium memenuhi rumah kecil itu, menghangatkan suasana.
Tak lama setelah Tissa selesai mandi, Vio sudah menyiapkan makan malam dan meletakkannya di meja makan. Saat Tissa keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di tubuhnya, Vio langsung melihat rambut Tissa yang masih basah dan meneteskan air di ujungnya.
“Kamu duduk dulu di sofa, aku keringkan rambutmu dulu, ya,” ujar Vio sambil mengajak Tissa ke ruang tamu.
Tissa menurut dan duduk di sofa dengan tenang, sementara Vio mengambil pengering rambut yang sudah disiapkan Hilda. Dengan gerakan lembut, Vio mulai mengeringkan rambut Tissa, memastikan tak ada lagi air yang menetes dan membuatnya kedinginan.
Tissa hanya tersenyum kecil, menikmati perhatian sederhana dari Vio yang selama ini selalu ia anggap sebagai kakak.
Setelah memastikan rambut Tissa benar-benar kering, Vio mematikan pengering rambut dan meletakkannya di meja kecil samping sofa.
“Lain kali, langsung pakai pengering rambut ya habis mandi. Jangan nunggu aku bilang dulu,” ucap Vio dengan nada lembut namun tegas.
Tissa hanya tersenyum, menunduk sedikit sambil menjawab, “Iya… lupa, soalnya keburu laper.”
Vio menghela napas kecil, mengacak pelan rambut Tissa yang kini sudah mengembang hangat. “Ayo, kita makan. Sudah kusiapkan semuanya.”
Tissa pun berdiri dengan riang, mengikuti Vio ke meja makan yang sudah penuh dengan aroma lezat buatan tangan Vio.
---
Setelah makan malam selesai, Tissa bangkit dari kursinya sambil meregangkan tangan.
“Aku ke kamar dulu ya, Kak. Ada PR yang belum selesai,” katanya sambil membawa piring kotornya ke wastafel.
Vio mengangguk sambil merapikan meja, “Jangan begadang, ya.”
“Enggak kok,” sahut Tissa sebelum berlalu ke kamarnya.
Setelah mencuci piring dan memastikan dapur kembali rapi, Vio akhirnya menuju kamar mandi. Air hangat yang menyentuh kulitnya membawa rasa tenang setelah hari yang panjang.
Begitu selesai, ia mengeringkan rambutnya dengan cepat, lalu kembali ke kamarnya.
Begitu duduk di kursinya, Vio membuka laptop dan mulai menyiapkan perlengkapan siarannya. Ia mengecek mikrofon, membuka software perekam suara, dan menyalakan lampu meja kecil yang menjadi pencahayaan khas setiap kali ia siaran.
Tangannya bergerak lincah, tapi matanya sempat melirik ke sudut kamar—ke arah gitar akustik yang bersandar tenang di sana.
Ia terdiam sejenak, pandangannya tertahan.
Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara kipas laptop yang terdengar lembut. Entah mengapa malam ini, gitar itu terasa lebih "nyata" daripada biasanya… seolah memanggilnya, mengingatkannya akan sesuatu—mungkin tentang lagu, tentang perasaan yang belum tersampaikan, atau mungkin tentang dirinya sendiri.