Ia dulu adalah Hunter Rank-S terkuat Korea, pemimpin guild legendaris yang menaklukkan raid paling berbahaya, Ter Chaos. Mereka berhasil membantai seluruh Demon Lord, tapi gate keluar tak pernah muncul—ditutup oleh pengkhianatan dari luar.
Terkurung di neraka asing ribuan tahun, satu per satu rekannya gugur. Kini, hanya dia yang kembali… membawa kekuatan yang lahir dari kegelapan dan cahaya.
Dunia mengira ia sudah mati. Namun kembalinya Sang Hunter hanya berarti satu hal: bangkitnya kekuatan absolut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Udara pelabuhan malam itu dipenuhi aroma asin laut yang bercampur dengan bau solar dan besi karat. Lampu sorot dari tiang-tiang tinggi menusuk kegelapan, menyoroti deretan van hitam yang berjejer rapi. Mesin-mesin mereka masih panas, berdesis pelan, seolah menunggu perintah untuk bergerak.
Mobil sedan berhenti. Sopirnya turun, wajahnya tetap datar, tak menyisakan sedikit pun emosi. Ia membuka pintu belakang dan menyeret tubuh tak berdaya Ethan.
“Target ada di dalam,” katanya singkat.
Pintu salah satu van terbuka. Beberapa pria berbadan besar keluar, masing-masing membawa senjata tumpul dan aura membunuh yang terasa menekan. Ethan, masih dalam kondisi pingsan karena bius, diseret layaknya barang tak berharga.
Mereka membawanya menuju sebuah gudang tua di pinggir pelabuhan. Pintu baja besar itu berderit keras saat dibuka. Di dalam, hanya ada satu kursi besi yang sudah berkarat, ditempatkan tepat di bawah cahaya lampu sorot.
Ethan diikat erat. Tali baja itu berlapis segel aura, memutus aliran energi dalam tubuhnya. Tak ada jalan keluar.
“Siramlah.”
Air asin dingin mengguyur wajah Ethan. Ia terbangun dengan terengah, tubuhnya menggigil. Pandangannya buram beberapa saat sebelum perlahan fokus. Cahaya menyilaukan menekan matanya, membuatnya sulit melihat wajah orang-orang di sekitarnya. Tapi ia bisa merasakan tatapan mereka. Tatapan penuh hinaan, seperti memandang seekor anjing yang sudah kehilangan giginya.
Langkah berat bergema. Dari kegelapan, seorang pria raksasa keluar. Tubuhnya sebesar beruang, otot-ototnya menonjol, dan cerutu menyala terselip di sudut bibir. Kacamata hitam menutupi matanya meski malam begitu gelap.
Bulldog. Veteran Rank-A yang dulu namanya sering disebut dalam lingkaran Hunter Amerika.
“Jadi ini anaknya?” Bulldog mendengus, menghembuskan asap pekat ke wajah Ethan. “Kau kenal seorang gelandangan yang telah melukai tuan muda kami?”
Nama itu membuat jantung Ethan berdegup keras. Ia tahu siapa yang dimaksud. Jinwoo.
Ethan menunduk, giginya terkatup rapat. Ia tak menjawab.
Bulldog mendesis marah, lalu menghantam perut Ethan dengan pukulan sekuat palu godam.
“Ughh!!”
Tubuh Ethan terhempas ke samping. Darah muncrat dari mulutnya, membasahi lantai.
Sakitnya luar biasa. Lebih dari sekedar rasa fisik—pukulan itu menghantam harga dirinya sebagai seorang Hunter.
“Sial…” gumam Ethan dalam hati. “Dia… Rank A veteran. Ini pasti… orang-orang Leonard.”
Bulldog bersiap menghantam lagi, namun tiba-tiba sebuah suara perempuan menghentikan.
“Cukup, Bulldog.”
Dari kegelapan, seorang wanita melangkah maju. Tubuhnya ramping, kulit pucat, bibir merah menyala. Rambutnya hitam sebahu, matanya dingin bagai pisau. Di tangannya, ia memutar sebuah jarum besar berlapis aura psikis.
Crane. Seorang Hunter Rank-A yang terkenal kejam dalam interogasi.
Ia tersenyum sinis sambil menunduk menatap Ethan. “Apakah kau akan tetap tutup mulut?”
Ethan menatap balik dengan tatapan penuh amarah. “Aku tidak tahu gelandangan mana yang kalian maksud. Banyak gelandangan yang kutemui akhir-akhir ini.”
Crane terkekeh. Tawa itu berubah jadi dingin dalam sekejap. Jarum itu ditusukkan ke tangan Ethan.
“AARRGGHHH!!”
Rasa sakit tak tertahankan merambat ke seluruh saraf tubuhnya, seakan ribuan belati menusuk dari dalam. Jeritannya menggema memenuhi gudang.
Crane mendekat ke telinganya. Suaranya pelan namun menusuk. “Aku ulangi lagi, apakah kau akan tetap tutup mulut?”
Ethan terengah, keringat bercampur darah menetes dari dagunya. Dengan sisa tenaga, ia berkata, “Meskipun kalian membunuhku… aku tidak akan memberikan kalian informasi.”
Wajah Crane berubah datar. Ia menatapnya dingin. “Kau sepertinya tidak sadar posisimu ya?”
Ethan menyeringai getir meski tubuhnya bergetar. “Kalian hanyalah… bajingan yang suka memonopoli yang lemah. Menyebut diri kalian bagian dari Asosiasi Hunter? Sungguh menjijikkan.”
Ucapan itu bagai cambuk ke wajah Bulldog. Ia meraung marah, lalu menendang Ethan keras. Kursi besi itu terhempas, tubuh Ethan terbanting keras ke lantai.
Darah segar mengalir deras dari bibir dan kepalanya.
Crane mendesah berat, wajahnya muram. “Padahal aku sudah bersikap baik padamu. Tapi sepertinya membuatmu cacat sedikit… tidak masalah.”
Bulldog berjalan mendekat, cerutunya jatuh ke lantai, dihancurkan dengan tumit. Ia mengangkat Ethan dengan satu tangan, wajahnya dekat, napasnya bau alkohol dan asap.
“Kau seharusnya jadi anjing yang baik.”
Ethan menatapnya, meski pandangannya kabur. Dalam hatinya ia hanya memikirkan satu hal:
“Adikku… tunggulah sebentar lagi. Kakak pasti pulang.”
Di tempat lain…
Sementara itu, jauh dari pelabuhan, Jinwoo sedang duduk di sebuah kedai kecil pinggir jalan. Aroma daging panggang memenuhi udara, menggoda siapa saja yang lewat.
Ia makan dengan tenang, potongan demi potongan, seolah dunia di luar tidak berarti. Namun pikirannya mengembara jauh.
“Sudah… dua puluh tiga tahun.” Ia berhenti sejenak, menatap kosong ke daging yang setengah matang di hadapannya. “Apakah… orang-orang yang kukenal masih ada?”
TV kecil di sudut kedai menyiarkan berita. Seorang pembawa berita dengan nada tegas melaporkan:
“Gate Rank-S kembali muncul di pusat kota Los Angeles. Hunter Rank-S terkuat Amerika, Alexander Graymour, sedang memimpin penutupan.”
Jinwoo menatap layar itu. Gate. Kata itu membuat dadanya terasa sesak.
“Gate, ya?” Ia tersenyum hambar. “Aku sudah muak berada di sana ribuan tahun…”
Ia meletakkan uang di meja dan berdiri. Angin malam menyapu wajahnya ketika keluar. Ia menatap bulan yang tergantung tenang di langit gelap.
“Tujuanku hanya satu… bagaimana caranya aku bisa membunuh para administrator bajingan di atas sana?”
Tangannya terangkat, membuka genggaman. Di sana, sebuah tongkat suci muncul dari kehampaan. Holy Staff milik Selene. Usang, retak, aura sucinya hampir padam.
Jinwoo menggenggam erat, matanya bergetar. “Selene… apa yang harus kulakukan? Aku merasa… hampa.”
Bayangan bulan menatapnya dari kejauhan, seakan mengejek, seakan memahami kesepiannya.
“Banyak orang berkata… jika kau berdiri di puncak, kau akan mendapatkan apapun yang kau mau. Tapi kenyataannya… puncak hanyalah tempat yang sepi dan menyedihkan.”
Di Pelabuhan
Ethan tergeletak di lantai dingin pelabuhan yang sunyi, napasnya tersengal, darah mengalir dari luka-lukanya dan membentuk genangan merah pekat di bawah tubuhnya. Tubuhnya sudah tak berbentuk—tulang kakinya bengkok tak karuan, tangan kanannya patah dan tangan kirinya... tak ada lagi. Hanya sisa kain darah yang tersobek-sobek. Namun meskipun tubuhnya hancur, giginya tetap terkatup rapat, rahangnya bergetar penuh amarah dan rasa sakit.
"Aku tidak akan mengkhianati penyelamatku... meskipun harus mati di sini," batinnya, giginya bergemeretak begitu keras hingga hampir terdengar di ruang kosong itu.
Bulldog, pria bertubuh besar dengan urat-urat yang menonjol di lehernya, berdiri di hadapan Ethan sambil terengah-engah, matanya penuh amarah.
“Gila!” teriak Bulldog, suaranya bergema di dinding gudang tua. “Sudah sekarat begini pun kau masih bisa keras kepala, ha?! SIALAN!”
Dia maju selangkah, siap menghancurkan tengkorak Ethan. Namun sebelum tinjunya menghantam, sebuah suara dingin menghentikannya.
“Cukup.”
Crane, dengan tatapan seperti ular berbisa, mengangkat ponsel di tangannya. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Sepertinya... kau punya adik yang lucu ya, Ethan?”
Foto di layar ponsel itu jelas—seorang gadis kecil yang terbaring lemah di rumah sakit, tubuhnya dipenuhi kabel dan infus. Gadis itu tersenyum samar, seolah tidak tahu dunia di sekelilingnya begitu kejam.
Sekelibat, mata Ethan yang sebelumnya redup langsung melebar. Seluruh tubuhnya gemetar bukan karena rasa sakit, melainkan karena ketakutan yang menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisiknya.
“Jangan... jangan kau berani sentuh dia!” raung Ethan dengan suara serak, bercampur darah yang merembes dari mulutnya.
Crane mendekat, langkah sepatunya bergema pelan tapi mengancam.
“Kau cukup loyal. Aku harus akui itu. Dan kau keras kepala...” Ia menunduk, menatap Ethan tepat di mata.
“Tapi aku ingin tahu... jika kau dihadapkan dengan dua pilihan, yang satu bisa menghancurkanmu... dan yang lain menghancurkan orang yang kau cintai... mana yang akan kau pilih?”
Ethan meraung seperti binatang yang terluka, berusaha mengangkat tubuhnya namun segera dijepit oleh Bulldog yang menggenggamnya seperti mainan rusak.
“JANGAN SENTUH DIA!” teriak Ethan. “ATAU KAU AKAN MENYESAL!”
Bulldog terkekeh penuh ejekan.
“Kau? Mengancam kami dalam keadaan seperti ini?”
Tanpa ampun, Bulldog menarik tangan kanan Ethan yang masih tersisa—dan KRAKK!
Jeritan Ethan mengguncang udara, suara tulangnya yang dipatahkan memenuhi ruangan. Rasa sakitnya begitu dahsyat hingga pandangan Ethan hampir gelap seketika.
Namun Crane hanya berdiri di sana, tenang, menikmati pemandangan itu.
“Oh ya,” katanya ringan, seperti sedang membicarakan cuaca. “Aku baru saja dapat kabar... adikmu sedang dirawat di rumah sakit karena penyakitnya, bukan?”
Tubuh Ethan langsung membeku. Pandangan matanya liar, penuh ketakutan.
“Tidak... jangan...”
Crane tersenyum tipis, penuh rasa puas.
“Sayang sekali, aku sudah menyuruh orangku untuk menjemputnya sekarang.”
“HENTIKAN!” Ethan meraung, suaranya serak dan hampir tak berbentuk kata. Air mata bercampur darah di wajahnya yang penuh luka. “Jangan sentuh adikku! Aku mohon!”
Dia berusaha bangkit, tapi tubuhnya tak lagi merespons. Kakinya sudah remuk, tangannya hancur, dia bahkan sulit bernapas.
“Bunuh aku... lakukan apa saja padaku... tapi jangan bawa adikku ke dalam ini... aku mohon,” suaranya kini pecah, terisak penuh keputusasaan.
Crane berjongkok di depannya, menatap lurus ke dalam mata Ethan.
“Maka dengarkan baik-baik, Ethan.” Suaranya seperti racun yang meresap perlahan.
“Yang aku inginkan hanya satu hal. Beritahu aku siapa gelandangan itu. Jika kau bicara, adikmu akan tetap aman... dan hidup tenang.”
Ia menekankan kata terakhir sambil menepuk pipi Ethan yang penuh darah.
“Tapi jika kau terus keras kepala... maka aku akan pastikan adikmu menderita tepat di hadapanmu.”
Ethan terdiam. Dunia terasa berhenti berputar. Suara ombak pelabuhan, langkah kaki Crane, bahkan rasa sakit di seluruh tubuhnya... semuanya memudar. Hanya tersisa bayangan adiknya yang tersenyum lembut dari ranjang rumah sakit.
Dalam hatinya, badai amarah dan keputusasaan saling bertabrakan. Dia tahu jika ia menyerah sekarang, semua pengorbanan selama ini akan sia-sia. Tapi... jika ia tetap diam, adiknya akan menjadi korban.
Crane tersenyum semakin lebar, merasakan keraguan Ethan.
“Jadi... mana yang akan kau pilih?”
Beberapa detik terasa seperti abad yang panjang. Ethan menggigil, tubuhnya penuh luka, darah terus mengalir.
Namun... perlahan, senyum pahit merekah di wajahnya yang sudah tak berbentuk.
Dengan sisa tenaga terakhir, dia mengangkat tangan kanannya yang bengkok tak karuan, dan mengacungkan jari tengah ke arah Crane.
“Persetan... dengan semuanya,” gumamnya, suaranya rendah namun penuh keteguhan.
“Aku akan menunggu kalian... di neraka.”
Crane membeku sejenak. Bulldog mendengus marah, lalu tanpa peringatan melempar Ethan dengan kekuatan penuh. Tubuh Ethan menghantam dinding gudang tua dan BRAKK!—tembok retak, darah menyembur dari mulutnya.
Pandangan Ethan kabur. Suara di sekitarnya perlahan menghilang.
Crane berdiri, wajahnya kembali dingin.
“Kalau begitu,” katanya ringan sambil melirik Bulldog, “bawa adiknya ke sini. Kita akan membuatnya menyaksikan penderitaan adiknya... Itu juga jika dia masih hidup.”
Mereka meninggalkan gudang, meninggalkan Ethan yang tergeletak di tengah genangan darah.
Ethan terbaring dalam keheningan. Tubuhnya tak bisa digerakkan, rasa sakitnya begitu nyata hingga hampir membuatnya pingsan. Ia menatap langit-langit yang remang, napasnya terputus-putus.
“Apakah... ini akhirnya?” bisiknya lemah.
Ia memejamkan mata, bayangan adiknya muncul di benaknya. Senyuman polos itu, tangan kecil yang dulu selalu menarik ujung bajunya, memanggilnya kakak.
“Teman teman... tolong... bawa adikku pergi... lindungi dia,” gumam Ethan, hampir seperti doa terakhir.
Namun tiba-tiba, bayangan lain muncul—Jinwoo, berdiri dengan tatapan yang mendominasi, penuh kekuatan. Tatapan yang seakan berkata: "Kau seorang kakak. Kau tak boleh menyerah."
Ethan menggertakkan giginya.
“Aku... seorang kakak!” raungnya dalam hati.
“Mana mungkin aku mati di sini... begitu saja!”
Adrenalin terakhir dalam tubuhnya meledak. Dia memaksa tubuhnya yang hancur untuk bergerak. Dengan tangan kanan yang bengkok dan penuh darah, dia membalikkan tubuhnya perlahan, lalu mulai merangkak.
Setiap gerakan terasa seperti disayat pisau panas. Tulang-tulangnya bergemeretak, darah mengalir deras, namun dia terus menyeret tubuhnya di lantai. Jejak darah tebal terbentuk di belakangnya.
“Aku hanya... punya satu kesempatan...” napasnya berat, hampir tak terdengar.
“Jika... ini keputusan terakhirku... maka aku akan membuatnya berarti.”
Wajahnya yang berlumuran darah berubah menjadi topeng tekad.
Dia merangkak, setapak demi setapak, menuju pintu gudang, meninggalkan jejak merah yang seakan menjadi bukti tekadnya.
Di dalam dadanya, hanya satu hal yang terus bergaung:
"Aku akan menyelamatkan adikku... walau harus menghancurkan diriku sendiri."