Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Finally ...
Bulan menatap Anggasta dengan raut bersalah. Di mana punggung itu sudah menghilang di balik pintu ruangan. Pesan yang Anggasta kirim baru dibaca pagi tadi karena ponselnya mati.
Lelaki yang dinanti akhirnya keluar dari ruangan, tapi dia begitu sibuk dengan ponsel yang menempel di telinga. Langkahnya pun begitu lebar meninggalkan lantai di mana ruangannya berada.
Menunggu Anggasta itulah yang Bulan lakukan. Padahal, jam pulang kerja sudah usai. Dia masih berada di tempatnya. Tepat di jam delapan malam, lelaki yang dia tunggu keluar. Bulan segera berdiri dan menghampiri.
"Gua minta waktu lu sebentar, Fi."
Anggasta mengikuti permintaan Bulan. Sudah duduk berhadapan di sebuah kafe yang tak jauh dari kantor.
"Gua minta maaf. Semalam ponsel gua mati."
Senyum khas Anggasta ukirkan. Manik matanya menatap Bulan dengan begitu lamat.
"Kapan ya lu bisa tepatin janji?" Begitu lembut, tapi juga menusuk.
"Fi, semalam itu begitu mendadak. Tolong pengertiannya," pinta Bulan dengan sungguh-sungguh.
"Kapan gua enggak ngerti lu, Lan?" Pertanyaan Anggasta membuat Bulan menutup mulut.
"Selama kita temenan, gua yang selalu lu tuntut untuk mengerti. Tapi, apa pernah lu mengerti gua sekali aja?" Bulan semakin membisu. Keadaan pun hening.
Ketika di bangku sekolah, setiap Bulan membuat janji ingin bertemu di situlah Bulan yang selalu ingkar. Tak datang dengan berbagai alasan. Anggasta pasti akan selalu mengerti. Bahkan, ketika Bulan marah tanpa sebab Anggasta akan menjadi manusia paling sabar.
"Pernah enggak sekali aja lu merenungi ke-care-an gua ini? Apa hanya sebatas care ke teman atau--" Anggasta menjeda ucapannya. Menatap Bulan dengan sangat dalam.
"Ada maksud dari semua itu."
Kejadian di bangku SMA berputar. Di mana pertama kali Anggasta menyatakan rasa sayangnya, dan malah ditertawai. Bahkan dengan entengnya Bulan mengatakan itu hanya candaan.
Manik mata indah itu terus memandang wajah Anggasta yang terlihat begitu serius. Atensinya beralih ketika tangannya sudah digenggam oleh lelaki tersebut.
"Perasaan yang lu anggap lelucon itu masih ada sampai sekarang, Lan." Bulan terhenyak.
"Gua sayang lu."
Mata Bulan tetiba nanar. Tenggorokannya tercekat, dan mulutnya semakin terkatup rapat. Anggasta menghela napas berat dan menatap sebentar tangan yang dia genggam di atas meja.
"Gua enggak akan meminta lu untuk membalas perasaan gua. Gua hanya ingin lu tahu kalau rasa sayang yang gua miliki untuk lu bukan lelucon. Tapi, rasa sayang yang begitu besar yang enggak pernah lu lihat."
Genggaman tangannya mulai dilepaskan. Senyum kembali Anggasta ukirkan.
"Dan sekarang gua tersadar, kalau gua enggak akan pernah bisa mengalahkan orang lama. Orang yang menjadi cinta pertama untuk seorang Bulan Noora."
Ada yang sudah menggenang ingin menetes. Namun, sekuat tenaga perempuan itu tahan. Senyum yang tak seindah biasanya kembali melengkung di wajah Anggasta.
"Berbahagialah dengan dia yang sebenarnya masih lu cinta. Dan carilah bahu dan dada untuk lu bersandar karena bahu dan dada gua udah enggak sanggup menerima luka dari aduan air mata yang lu teteskan lagi."
Diusapnya ujung kepala Bulan dengan sangat lembut dengan senyum yang tak pernah pudar di wajah Anggasta.
"Bahagia terus ya, Lan. Dan terimakasih sudah mau berteman sama gua."
Bulan berhambur memeluk tubuh Anggasta. Air matanya pun menetes. Tangan yang sedari tadi terdiam, kini mulai membalas pelukan dengan senyum yang penuh dengan kelegaan.
Sebuah keputusan sudah Anggasta pilih. Itupun harus melalui pergelutan panjang. Sebenarnya keputusan itu sudah didapatkan ketika bermalam di resort bersama Alma. T Sudah dia genggam minuman yang mengandung alkohol. Diteguknya untuk membasahi tenggorokan yang kering.
Lelaki itu juga bukan orang bodoh. Dia selalu memperhatikan gerak-gerik Bulan dalam diam. Ketika di kediaman Sekai, dirinya berbohong akan Bulan yang sedang tidur. Padahal, dia mendengar sendiri jikalau Bulan sedang berbicara dengan seseorang via sambungan telepon.
"Aku sudah putus, tapi jujur aku masih sayang dan cinta dia."
Walaupun dia sudah mengetahui hal itu, ketika Bulan datang ke kamarnya untuk memeluknya, dia bersikap biasa. Seperti tak tahu tentang percakapan tersebut. Juga, dia mau menemani Bulan sampai terlelap. Jika, lelaki itu bukan Anggasta pasti sudah tak mau bersikap baik lagi.
Hembusan napas kasar keluar dari bibir Anggasta. Kembali dia meneguk minuman kaleng yang masih dia genggam. Dia Minggu berada di Bogor tak lantas dia tak mengetahui apapun tentang Bulan. Banyak yang melaporkan tentang perempuan itu. Salah satunya di mana Haidar dan Bulan hampir setiap hari berangkat atau pulang kerja bersama. Belum lagi sering menghabiskan waktu berdua. Serta selalu menyempatkan waktu untuk pergi ke rumah ibunda Haidar. Tertawa bersama di sana. Semuanya Anggasta ketahui.
Ketika Bulan yang mengajaknya bertemu itulah titik di mana rasa kesabaran berubah menjadi lelah. Apalagi perempuan itu tak datang. Sepulang dari kafe, Anggasta mampir ke sebuah mall. Di mana dia sudah membuat janji dengan toko gadget ternama. Belum juga sampai ke tempat yang dituju, sebuah pemandangan disuguhkan tanpa ada blur. Begitu nyata terlihat karena mereka berada tak jauh dari tempat Anggasta.
Di malam Bulan membuat janji, perempuan itu malah berada di mall bersama Haidar. Tangan Bulan merangkul mesra lengan mantannya dan seakan tak ada jarak di antara keduanya. Padahal, mereka sudah tak lagi menjalin hubungan. Samar terdengar suara Bulan yang manja.
Sebanarnya di pagi harinya ketika Anggasta baru kembali dari Bogor, dia dan Jeno memilih sarapan di tempat langganan mereka sewaktu SMA. Tak diduga dia melihat Bulan dan Haidar sarapan di tempat yang sama juga dengan begitu mesra. Dua kejadian itu bukan hanya sekedar laporan atau 'katanya'. Melainkan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Tiba sudah di titik nadir," gumamnya dengan senyum penuh kepedihan.
Kedekatan Bulan dan Haidar pun bukan karena paksaan orang tua. Tapi, memang karena rasa cinta. Di mana Bulan masih mencintai dan Haidar terlambat mencintai. Alhasil, hubungan yang kandas bisa kembali terajut lagi. Terlebih sekarang ini keduanya sudah saling mencintai. Ditambah keluarga Haidar begitu menginginkan Bulan menjadi bagian dari keluarga.
Finally, di malam setelah dia mengungkapkan perasaan untuk keempat kalinya, Gaffi Anggasta Wiguna memilih meletakkan perasaannya. Dari beberapa kejadian yang dia lihat secara langsung hatinya semakin yakin akan jalan yang akan dia ambil. Dia juga sadar diri sekuat apapun memaksa, tetap saja bukan dia yang menjadi pemenangnya. Dia hanya sekedar badut penghibur untuk seorang perempuan yang tengah bersedih.
"Mencintai lu secara ugal-ugalan udah gua lakukan. Sekarang, ijinkan gua meletakkan nama serta kenangan kita secara pelan-pelan. Walaupun lamban, gua akan mampu melupakan dan kebahagiaan akan datang."
Matanya kini tertuju pada langit malam. Menatap Bulan yang memancarkan cahaya indah.
"Terimakasih dan selamat tinggal Bulan."
...**** BERSAMBUNG ****...
Mana ini komennya?
dari dulu selalu nahan buat ngehujat si bulan tapi sekarang jujur muak liat wanita oon yg mau aja diperbudak cinta sampe jadi nggak tau malu dan buta hadeh wanita jenisan bulan emang cocok ama laki-laki jenis Haidar sama2 rela jatuhin harga diri demi cinta kemaren sempet agak seneng liat karakternya pas lepasin Haidar sekarang jujur ilfil sudah dan nggak layak buat gagas terlalu berharga keluarga singa cuman dapet menantu sekelas si bulan
kalau cewe udah terluka
pilihan opa ngga ada yang meleset...
good job alma👍 gausah jadi manusia gaenakan nanti mereka yg seenak jidat kaya mamak nya si haidar
lagian tuh ya.... para karyawan gak punya otak kali ya , dimana dia bekerja bisa-bisanya merendahkan dan menggosip pimpinannya , pada udah bosan kerja kali ya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lnjut trus Thor
semangat
psfshal diri ny sen d iri pun menyimpsn luka yg tsk bisa di gambar kan.
sya dukung gagas sma Alma..
saya pantau terus author nya
jiwa melindungi gagas mencuat 🤭
btw oppa cucu nya abis di siram sama Mak nya Haidar TUHH masa diem2 aje