NovelToon NovelToon
Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.

Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 15

Mentari pagi menembus celah tirai kamar villa dengan lembut, menciptakan bias cahaya keemasan di sudut ruangan. Aroma khas embun pagi dan wangi tubuh Liana yang masih melekat dalam pelukan membuat dada Kenzo terasa hangat. Mereka terbangun dalam posisi berpelukan, dengan nafas yang saling beriringan.

Kenzo membuka mata terlebih dahulu. Ia memandangi wajah Liana yang masih terlelap—tampak begitu damai, begitu lembut. Rambutnya terurai di atas bantal, dan jemarinya yang mungil tergenggam lemah di dadanya. Untuk sesaat, Kenzo lupa bahwa semua ini adalah bagian dari “tugas” yang diberikan Claudia. Yang ia rasakan hanyalah hangatnya kehadiran seorang perempuan yang perlahan mulai mengisi ruang hatinya.

Namun tiba-tiba, Liana menggeliat pelan, seolah menyadari posisinya. Ia menarik tubuhnya menjauh dari pelukan Kenzo, membuat pria itu membuka mata penuh tanya.

“Liana?” tanya Kenzo lembut, menahan pergelangan tangannya agar tak menjauh.

Liana tidak langsung menjawab. Matanya menatap keluar jendela, menghindari tatapan pria di sampingnya. Nafasnya pelan, namun terasa berat.

“Ken… aku… aku nggak bisa terus seperti ini,” gumamnya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Kenzo mengerutkan dahi.

“Maksud kamu?”

Liana mengalihkan tatapannya padanya. Di matanya, ada keraguan dan ketakutan yang sulit dijelaskan.

“Aku takut… terlalu masuk ke dalam semua ini. Terlalu hanyut dengan apa yang kita jalani. Aku takut… nggak bisa keluar dari rasa  ini, Ken. Aku takut tak bisa lepas dari pesonamu .”

Kenzo menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu dalam suaranya yang menusuk. Bukan hanya kata-katanya, tapi getarannya. Liana sedang jujur—dan jujur itu menyakitkan.

“Aku harus…”

Namun Liana tak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Kenzo menarik wajah Liana pelan, lalu menekankan bibirnya di atas bibir mungil Liana. Sebuah ciuman lembut di pagi hari yang semula penuh ketenangan dan rasa ingin melindungi… perlahan berubah menjadi lebih dalam, lebih intens. Emosi yang terpendam selama ini seolah menemukan jalannya.

Liana sempat terkejut, namun tidak menolak. Ia membalas ciuman itu dengan napas yang tertahan, seolah mencari jawaban dari kebimbangan hatinya sendiri. Jari-jarinya menggenggam leher Kenzo, sementara tubuhnya kembali mendekat—terhisap dalam gelombang perasaan yang mulai tak bisa dibendung.

Di antara napas yang mulai memburu, Kenzo berbisik di sela-sela ciumannya,

“Kalau ini perangkap, maka biarlah kita berdua yang terjebak di dalamnya, Liana…”

Tak ada jawaban. Hanya tatapan mata yang berbicara, bahwa pagi itu bukan hanya milik Kenzo dan Liana sebagai dua orang yang terikat oleh perjanjian.

Setelah pagi yang mereka mulai dengan gelombang emosi dan hasrat, Liana segera bangkit dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Gaun tidurnya yang tipis kini tergeletak di lantai, saksi bisu di  pagi yang terasa berbeda dari sebelumnya. Kenzo menyusul tak lama kemudian, membawa handuk dan baju santainya.

Tak banyak kata-kata di antara mereka. Mungkin karena keintiman tadi sudah cukup berbicara banyak, atau karena perasaan Liana yang masih campur aduk. Namun tetap, saat mereka keluar dari kamar, aroma roti panggang dan teh melati sudah memenuhi ruang makan di villa.

Kenzo duduk lebih dulu, mengenakan kaos putih tipis dan celana kain gelap. Wajahnya tampak tenang, meskipun masih terlihat sisa-sisa intensitas pagi itu. Liana datang dengan rambut basah yang dikuncir seadanya, mengenakan blus longgar dan celana linen. Ia berjalan pelan ke meja makan, menyajikan makanan dengan senyum malu-malu.

Namun saat mereka hendak mulai menyantap sarapan, dering ponsel Kenzo memecah keheningan.

Kenzo melirik layar. Claudia.

Dengan nada malas, ia mengangkat panggilan itu.

"Ada apa pagi-pagi?"

Suara Claudia di seberang terdengar tegas, tanpa basa-basi.

"Aku nggak bisa diem, Kenzo. Kamu harus tahu... ternyata Papa Arman punya anak dari mantan pacarnya dulu. Dan anak itu... sekarang sudah sah pakai nama keluarga kita. Namanya Nara. Nara Wiratama."

Kenzo terdiam.

Claudia terus bicara, mengungkap detailnya dengan nada kesal bercampur cemas. Tapi telinga Kenzo hanya menangkap satu kalimat: “Sudah sah menyandang nama keluarga kita.”

“Apa?” ucapnya nyaris tak bersuara. Jemarinya menggenggam ponsel lebih kuat.

“Ini bercanda, kan?”

“Sayangnya, ini bukan bercanda. Sudah ada bukti, sudah diterima keluarga. Bahkan Arman sendiri mengakui anak itu. Kamu ngerti artinya apa ini, kan?”

Telepon terputus. Kenzo mematung di kursinya.

Liana yang duduk di seberang langsung menyadari perubahan suasana. Wajah Kenzo mendadak tegang, rahangnya mengeras, dan pandangannya kosong seperti menahan amarah yang siap meledak.

“Ken... kenapa?” tanya Liana dengan suara pelan, takut-takut.

Kenzo tidak menjawab. Ia hanya menatap ke arah meja makan—ke arah roti panggang dan teh yang sudah dingin—tanpa benar-benar melihat. Satu tangannya mengepal, seolah mencoba menahan sesuatu yang mendidih dalam dadanya.

“Tadi Claudia nelpon…” gumamnya akhirnya. “Katanya Papa Arman punya anak dari perempuan lain. Dan sekarang anak itu... resmi jadi bagian dari keluarga Wiratama.”

Liana menelan ludah. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia ingin mengajaknya makan, ingin membuat suasana tetap tenang, tapi ketegangan di wajah Kenzo membuatnya ragu untuk bicara lebih jauh.

Kenzo menggerakkan kursinya pelan, berdiri dengan tubuh tegap tapi jelas emosi masih tertahan di dadanya. Ia melirik jam dinding, lalu menatap Liana.

“Aku harus pulang ke rumah utama,” ucapnya datar. “Ada yang harus aku pastikan sendiri.”

Liana hanya mengangguk, menahan semua pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Ia tahu, apapun yang terjadi sekarang... akan mengubah banyak hal dalam keluarga besar Wiratama. Dan mungkin, juga hubungan mereka.

Setelah sarapan yang tak sempat mereka nikmati bersama, Kenzo langsung bergegas pergi, meninggalkan Liana yang masih duduk terpaku di ruang makan villa. Langkahnya tegas, tanpa banyak kata. Liana hanya bisa memandangi punggung suaminya yang perlahan menjauh, hingga bayangannya menghilang di balik pintu.

Ia menarik nafas panjang. Ada yang mengganjal di dadanya, sesuatu yang belum bisa didefinisikan. Tapi satu hal yang ia tahu pasti, hari ini tak akan berjalan biasa.

Liana melanjutkan sarapannya seorang diri. Di luar, matahari sudah mulai meninggi. Udara villa yang sejuk perlahan berganti hangat. Sambil mengunyah pelan, ia berkata dalam hati, “Kayaknya pagi ini enak buat jalan-jalan keluar…”

Ia teringat bahwa beberapa waktu lalu Kenzo sudah mengizinkannya untuk keluar vila, selama masih dalam pengawasan. Tidak banyak yang ia minta dari pria itu, dan izin untuk melihat dunia luar adalah salah satu bentuk ‘kebaikan’ kecil yang Kenzo berikan. Entah karena merasa bersalah atau hanya karena lelah membatasi, Liana tak tahu pasti.

Dan pengawalnya? Alex.

Pria itu tidak terlalu banyak bicara, tapi sopan dan sigap. Alex adalah tipe pengawal yang tahu kapan harus menjaga jarak dan kapan harus menjadi teman bicara. Mungkin karena itu, Liana mulai merasa nyaman.

Hari itu, Liana mengenakan gaun santai berwarna krem, memadukannya dengan cardigan tipis dan sepatu datar. Ia berjalan ke halaman depan, di mana Alex sudah berdiri di samping mobil, seperti biasa—siap siaga.

"Kita mau ke mana hari ini, non?" tanya Alex sambil membuka pintu mobil untuknya.

Liana tersenyum tipis.

"Ke mana aja. Aku cuma pengen lihat orang lain selain pelayan villa."

Alex terkekeh kecil. "Baik, kalau begitu saya bawa ke tempat yang nggak terlalu ramai, tapi cukup segar buat cuci mata."

Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Namun saat mobil mulai menyusuri jalanan kota kecil yang tenang, obrolan kecil mulai mengalir. Tentang toko buku yang sepi pengunjung, tentang kedai kopi lokal yang terkenal dengan cappuccino kayunya, hingga tentang bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan.

Liana sempat tertawa saat Alex bercerita tentang masa kecilnya yang takut pada ayam, dan bagaimana ibunya pernah mengusir ayam tetangga hanya karena putranya terus menangis setiap kali ayam itu lewat.

Kedekatan itu pun tumbuh perlahan. Tidak ada nada romansa. Justru, hubungan mereka lebih terasa seperti adik dan kakak. Liana merasa aman, dan Alex sepertinya sudah terbiasa menjaga perempuan sepertinya—yang rapuh tapi pura-pura kuat.

Bahkan Maria, salah satu asisten rumah tangga di vila yang kadang ikut menemani Liana, juga mulai dekat dengan Alex. Mereka sering berbagi cerita di dapur saat menyiapkan camilan sore. Maria bilang, Alex adalah tipe pria yang “enak diajak diskusi tanpa merasa dihakimi.”

Liana tidak menanggapi saat itu. Tapi diam-diam, ia bersyukur ada sosok seperti Alex yang setia di sisinya saat Kenzo tidak ada. Ia sadar betul, dunia di sekelilingnya kini penuh dengan intrik dan rahasia. Dan meskipun tidak sepenuhnya percaya pada siapapun, ia tahu Alex adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa diandalkan… setidaknya untuk sekarang.

Pagi itu, di taman kota yang sejuk dan tenang, Liana duduk sendirian di bangku taman, memeluk tubuhnya sendiri seakan mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Di hadapannya, pepohonan rindang berjajar rapi, memberi bayangan teduh. Angin semilir berhembus lembut, namun hatinya tetap terasa berat.

Pandangan Liana terpaku pada seorang lelaki tua yang sedang mendorong gerobak berisi balon dan mainan anak-anak. Lelaki itu tersenyum pada anak-anak yang menghampirinya—senyum yang tampak lelah, tapi tulus.

Seketika matanya memanas. Sosok lelaki tua itu mengingatkannya pada ayah kandungnya. Sudah lama ia tidak menghubungi ayahnya, bahkan sekadar mendengar kabarnya pun tidak.

Tanpa pikir panjang, Liana mengambil ponselnya, membuka kontak yang selama ini jarang disentuh: "Bu Sandra." Nama ibu tirinya. Dengan ragu, ia menekan tombol panggil.

Beberapa detik kemudian, sambungan tersambung. Namun bukan sapaan hangat yang ia dapat.

"Hallo? Kamu telfon buat apa lagi?" suara kasar Sandra langsung menyerang telinganya.

"Saya cuma… mau tanya… Papa gimana kabar ayah?" tanya Liana pelan, nyaris tak terdengar.

"Tanya kabar? Kamu pikir kamu anak baik? Sampai sekarang kamu belum juga hamil! Gimana mau dapat uang  hah? kalau sampai waktu yang ditentukan kamu tak juga hamil,ayahmu yang akan menerima hukuman itu?!"

Liana terdiam. Lidahnya kelu, hanya bisa menggenggam ujung rok yang menutupi pahanya erat-erat.

"Kamu tahu nggak, selama kamu belum kasih kabar soal kehamilan, uang yang dijanjikan juga belum akan cair! Jangan harap kamu dapat menyelamatkan ayah kamu  sebelum kamu di nyatakan positif !"

Lalu, klik—sambungan ditutup secara sepihak.

Liana menatap kosong ke layar ponsel yang kini mati. Suaranya tercekat. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu kepada siapa lagi harus berpaling.

Di bangku taman yang sepi, ia menghela nafas panjang, mencoba menahan emosi yang menyesakkan dada. Dunia terasa begitu asing baginya. Ia berada dalam keluarga besar, tinggal di rumah megah, namun tak ada pelukan, tak ada tempat pulang.

Dari kejauhan, Alex yang berdiri tak jauh memperhatikan gerak-gerik Liana. Ia melihat gadis itu mengusap wajahnya cepat-cepat, seolah ingin menyembunyikan air mata.

Dengan langkah pelan, Alex mendekat.      “ Liana…kamu  nggak apa-apa?"

Liana cepat-cepat mengangguk, meski senyumnya tak meyakinkan. "Aku cuma… butuh sedikit udara segar."

Alex tak bertanya lebih jauh. Ia hanya berdiri di dekatnya, memberi ruang namun tetap menjaga jarak. Dan di bawah langit pagi yang mulai menghangat, Liana kembali menunduk, menyembunyikan rapuhnya.

1
watashi tantides
Nyesel ya pak gara gara nikah lagi😔 Kasian nasib Liana anak kandungnu pak😭
watashi tantides
Sakit banget💔😭 Liana 🫂
watashi tantides
Semoga Kenzo jatuh cinta ke Liana🥰 maaf Claudia istri sah itu semua karna kamu yang mepersatukan Kenzo dan Liana dan yang terlalu tega ke mereka😔
watashi tantides
Sakit banget💔😭
watashi tantides
Please ini mengandung bawang😭
watashi tantides
Mulai tumbuh benih sayang Kenzo ke Liana🥹🤍
Mira j: trimakasih KK dah singgah 🙏🏻💞
total 1 replies
watashi tantides
Liana😭❤️‍🩹
watashi tantides
Liana😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!