Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dihukum
Zoya melangkah di koridor dengan senyum kemenangan yang merekah lebar. Ia merasa seperti agen rahasia di film Mission Impossible yang baru saja lolos dari ledakan markas musuh tanpa lecet sedikitpun. Ia bahkan sempat merapikan rambutnya di kaca jendela kelas orang lain.
"Huh, Ines, Ela, Pak Badri... lewwaaat!" gumamnya congkak sambil menenteng tasnya dengan gaya.
Derap langkahnya begitu ringan. Ia membayangkan dirinya masuk ke kelas dengan slow motion, disambut tepuk tangan karena berhasil selamat dari perburuan manusia hari ini.
Sampai di depan pintu kelas XI IPA 3, Zoya menarik nafas panjang, menyiapkan senyum paling manis.
"Assalamualaikum, rakyatku!" serunya ceria sambil membuka pintu lebar-lebar.
Hening.
Sunyi senyap.
Tidak ada sorakan. Tidak ada tepuk tangan. Yang ada hanya puluhan pasang mata teman sekelasnya yang menatapnya dengan horor. Bahkan Riani memberikan kode mata melotot yang artinya: LARI, BEGO!
Zoya mengerutkan kening, bingung. "Kok sepi? Kalian lagi simulasi ujian nasio—"
Ucapan Zoya terputus. Matanya menangkap sosok yang berdiri tegak di depan papan tulis putih yang penuh dengan rumus cacing keriting. Sosok itu memegang spidol hitam, tubuhnya menghadap ke papan tulis, tapi auranya... oh, auranya terasa familiar. Sangat gelap dan menyeramkan.
Sosok itu berbalik perlahan.
Jreng jreng jreng!
Itu Pak Badri.
Detik itu juga, Zoya merasa dunianya runtuh. Otaknya mendadak loading. Ia melirik jam dinding di atas papan tulis.
Pukul 10.30.
Jadwal Pelajaran: FISIKA.
"Mampus gue," batin Zoya, lututnya langsung lemas seperti jeli. Ia lupa! Saking paniknya dikejar-kejar tadi, ia lupa kalau setelah istirahat adalah jam pelajaran Pak Killer ini! Jadi, Pak Badri mengejarnya tadi bukan cuma karena dia lari-larian, tapi karena dia mengira Zoya bolos pelajaran Fisika karena bawa tas?!
"Waalaikumsalam, Zoya Wilhelmina," suara Pak Badri terdengar rendah, tapi bergema sampai ke tulang rusuk Zoya. "Bagus sekali. Masuk telat 20 menit, dengan gaya masuk seperti bupati mau kampanye."
Zoya nyengir kuda, senyumnya terlihat sangat palsu dan menyedihkan. "Eh... Pak Badri... Bapak kok di sini? Bapak nggak capek habis lari-lari tadi?"
Satu kelas menahan nafas. Zoya baru saja menggali kuburannya sendiri.
"DUDUK!" bentak Pak Badri, telunjuknya mengarah ke bangku kosong di pojok belakang. "Kita selesaikan urusan kita nanti setelah bel pulang berbunyi. Jangan harap kamu bisa kabur lagi."
Zoya menunduk dalam-dalam, berjalan menyeret kakinya menuju bangku belakang seperti narapidana yang berjalan menuju sel isolasi. Di deretan kursi laki-laki, ia melihat Dandi dan Andre menahan tawa, hingga membuat pundak mereka bergetar.
“Ngapain lo bedua ketawa? Awas lo yaa, gw gigit dengkul lo sampe copot,” ancam Zoya menunjuk dua temannya itu, membuat mereka tidak bisa lagi menahan tawa mereka.
“Hahahahahaha…” Tawa mereka pecah bersamaan.
Pelajaran Fisika hari itu terasa seperti berlangsung selama 100 tahun. Zoya tidak mengerti satupun rumus yang dijelaskan. Pikirannya hanya dipenuhi bayangan ruang BK yang dingin dan suram. Setiap kali Pak Badri menatap ke arahnya, Zoya langsung pura-pura sibuk menulis, padahal dia cuma menggambar orang lidi yang sedang menangis.
KRIIINGGG…!
Bel pulang berbunyi. Bagi siswa lain, itu suara surga. Bagi Zoya, itu suara lonceng kematian.
Zoya mencoba menyelinap keluar bersama kerumunan teman-temannya. Ia menunduk, mencoba menyatu dengan tas ransel teman di depannya.
"Zoya. Tetap di tempat."
Suara Pak Badri membekukan gerakannya.
Zoya memejamkan mata, merutuki nasib. Ia berbalik pelan-pelan. "Iya, Pak?"
"Ikut saya. Sekarang."
Dan begitulah. Dengan dikawal Pak Badri di belakang (seolah takut Zoya kabur), Zoya digiring menuju ruang BK. Di sepanjang koridor, ia merasa seperti selebriti yang tertangkap skandal.
Sampai di ruang BK, hawa dingin AC langsung menusuk kulit. Di sana sudah duduk Bu Mirna, guru BK yang ditakuti seantero sekolah.
"Duduk," perintah Pak Badri.
Zoya duduk di 'kursi panas' di hadapan Bu Mirna dan Pak Badri. Ia meremas rok abunya, bibirnya manyun, memasang wajah paling memelas yang ia bisa seperti wajah anak kucing kecebur got.
"Jadi," Bu Mirna membuka suara, membetulkan letak kacamatanya. "Zoya. Laporan yang saya terima hari ini cukup... berwarna. Mengunci teman di toilet, lari-larian di koridor, menabrak guru, bersembunyi, dan terlambat masuk jam pelajaran."
"Itu fitnah, Bu!" Zoya langsung menyambar, matanya berkaca-kaca (akting). "Zoya itu korban! Ines sama Ela yang duluan! Mereka ngata-ngatain Zoya? Zoya kan jadi sedih, Bu. Terus pintu toiletnya itu lho, Bu, kuncinya emang rada-rada error, Zoya cuma mau ngetes doang, eh kekunci beneran!"
"Terus kenapa kamu lari dari saya?" Pak Badri menyela, melipat tangan di dada.
"Refleks, Pak!" jawab Zoya polos. "Bapak mukanya galak banget tadi! Kayak mau makan orang! Zoya kan takut, Zoya kira Bapak mau jadi zombie!"
Pak Badri memijat pelipisnya yang berdenyut. "Dan kenapa kamu sembunyi di ruang guru lain?"
Zoya terdiam. Ia teringat wajah ganteng Pak Radit yang menyelamatkannya. Ia tidak boleh menyeret Pak Radit dalam masalah ini.
"Zoya... Zoya cuma nyari tempat tenang buat merenungi kesalahan Zoya, Pak," jawabnya asal.
Bu Mirna menghela nafas panjang. Ia mengambil sebuah benda dari laci mejanya. Itu adalah walkie-talkie milik Zoya yang disita Pak Badri di kelas tadi.
"Dan ini?" tanya Bu Mirna. "Alat komunikasi ilegal di jam pelajaran?"
Mata Zoya berbinar melihat benda kesayangannya. "Itu punya ponakan bibi Zoya, Bu! Nggak sengaja kebawa. Sumpah!"
Bu Mirna dan Pak Badri saling pandang. Mereka seperti menghadapi bocah TK yang terjebak di tubuh anak SMA.
"Zoya," kata Bu Mirna tegas. "Kamu akan dapat poin pelanggaran. Dan walkie-talkie ini Ibu sita sampai wali kamu yang ambil."
"JANGAN DONG, BUUU!" rengek Zoya, benar-benar seperti anak kecil yang permennya diambil. "Nanti Ponakan bibi Zoya main apa? Zoya janji nggak bakal aneh-aneh lagi deh! Zoya bakal jadi anak baik, rajin menabung, dan tidak sombong! Balikin ya, Bu? Please?"
Zoya mengedip-ngedipkan matanya dengan cepat, mengeluarkan jurus puppy eyes andalannya. Namun sayang, pertahanan Bu Mirna sekeras baja.
"Tidak ada tawar menawar. Sekarang, tulis surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi. Tiga lembar. Tulis tangan. Sekarang."
Zoya melongo. "Ti... Tiga lembar?"
"Mau lima lembar?"
"TIGA AJA BU! SIAP!" Zoya langsung menyambar kertas dan pulpen, sambil cemberut panjang. "Jahat banget sih, padahal gw udah memohon dengan tulus..." gerutunya pelan sambil mulai menulis kalimat: Saya Zoya yang cantik berjanji tidak akan lari-lari lagi jika dikejar dua setan betina…”
...***...
"Tunggu sebentar," potong Bu Mirna saat melihat Zoya mulai menulis baris pertama dengan tulisan cakar ayamnya.
Zoya mendongak penuh harap. "Kenapa, Bu? Hukumannya dibatalin? Ibu sadar kalau Zoya sebenarnya aset sekolah yang berharga?"
Bu Mirna tersenyum, tapi senyum yang membuat bulu kuduk Zoya meremang. "Bukan. Ibu rasa menulis saja tidak cukup untuk menebus dosa kamu mengunci teman di toilet. Ada pepatah bilang, mata dibalas mata, toilet dibalas toilet."
Mata Zoya membulat sempurna. "Maksud Ibu?"
"Pulang sekolah nanti, kamu tidak boleh langsung pulang," jelas bu Mirna. "Kamu harus membersihkan toilet perempuan di lantai satu.”
“Benar, bersihkan sampai kinclong. Sampai saya bisa ngaca di lantainya," sela Pak Badri dengan nada puas
"HAAH?!" Zoya menjerit, sampai-sampai cicak di dinding ruang BK nyaris jatuh. "Bu! Pak! Itu pelanggaran HAM! Zoya kan alergi kuman! Nanti kalau tangan Zoya yang mulus ini jadi kasar gimana? Siapa yang mau tanggung jawab?!"
"Kalau begitu tambah satu toilet lagi di lantai dua," sahut Bu Mirna santai sambil membolak-balik berkas.
Zoya langsung membekap mulutnya sendiri rapat-rapat. Ia mengangguk lemah, pasrah. Tamat sudah riwayatnya hari ini.
Waktu berlalu dengan lambat. Bel pulang sekolah sudah berbunyi dua jam yang lalu.
Suasana sekolah yang tadinya riuh rendah kini berubah menjadi sunyi senyap. Lorong-lorong kelas kosong melompong, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan menggoyangkan dedaunan di halaman. Matahari mulai condong ke barat, menciptakan bayangan panjang yang menyeramkan di sepanjang koridor.
Di dalam toilet perempuan lantai satu, terdengar suara sikat beradu dengan keramik yang diiringi gerutuan panjang tak putus-putus.
"Dasar Ines lampir! Ela dugong! Awas aja lo berdua besok, gue kasih permen karet di rambut lo!"
Zoya menyikat lantai dengan penuh dendam. Seragam putih abu-abunya sudah digulung di bagian lengan, roknya sedikit basah terkena cipratan air. Wajahnya cemberut total, bibirnya maju lima senti.
"Pak Badri juga! Guru fisika apa guru penyiksa sih? Masa disuruh bersihin sampai bisa buat ngaca? Emang dia mau ngaca di WC? Aneh banget!"
Zoya berhenti sejenak, menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. Ia melihat sekeliling. Toilet ini kalau sepi begini kok jadi horor ya?
Hanya ada suara tetesan air dari keran yang kurang rapat. Tess... Tess... Tess…
Bulu kuduk Zoya berdiri. Ia teringat cerita horor angkatan kakak kelas tentang hantu penunggu toilet lantai satu yang suka minta tisu.
"Misi... Misi, Setan... Zoya cuma numpang bersih-bersih ya," ucapnya pelan pada udara kosong, suaranya bergetar. "Jangan ganggu Zoya. Zoya lagi bad mood. Nanti kalau Zoya ngamuk, situ yang Zoya sikat."
Tiba-tiba, pintu toilet utama berderit pelan tertiup angin. Kreeeet…
"AAAAAAK! AMPUN!" Zoya refleks melempar sikat lantainya ke arah pintu dan menutup matanya rapat-rapat. "JANGAN MAKAN ZOYA! DAGING ZOYA ALOT! MAKAN PAK BADRI AJA LEBIH BERGIZI!"
Hening.
Tidak ada yang menyahut. Zoya memberanikan diri membuka satu matanya. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Itu cuma angin.
Zoya menghela nafas lega sambil memegangi dadanya. Jantungnya berdegup kencang seperti musik dugem. "Gila... bisa mati muda gue gara-gara jantungan."
Ia memungut kembali sikat lantainya dengan lesu. Sekolah sudah benar-benar sepi. Langit di luar jendela ventilasi mulai berubah oranye kemerahan. Ia sendirian, lelah, lapar, dan bau pembersih lantai.
"Ini semua gara-gara walkie-talkie sialan," gumam Zoya sedih, kembali menyikat noda membandel di lantai. "Coba aja tadi gue nggak main detektif-detektifan... pasti gue udah di rumah, bobok cantik sambil nonton drama."
Zoya terus menyikat, ia harus memastikan lantai ini cukup mengkilap agar Pak Badri tidak punya alasan untuk menambah hukumannya menjadi membersihkan genteng sekolah.