Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jamuan Darah
Malam itu, langit di atas Italia terasa lebih berat daripada biasanya. Awan kelabu menutupi cahaya bulan, seakan ikut menyaksikan tragedi yang akan segera terjadi.
Villa Rosetta berdiri megah di kejauhan, bangunannya berlapis marmer putih, dikelilingi pagar besi tinggi dan kebun mawar merah yang mekar sempurna. Namun keindahan itu hanya topeng. Di balik setiap kelopak mawar, Aruna merasakan aroma darah yang siap menetes.
Mobil hitam panjang yang ditumpangi Leonardo dan Aruna berhenti di depan gerbang. Puluhan pria bersenjata berdiri berjajar, mata mereka tajam, seakan setiap tamu adalah musuh.
Aruna menggenggam tangan Leonardo erat-erat. “Leo… aku tidak bisa bernapas,” bisiknya, tubuhnya bergetar.
Leonardo menoleh, memberikan tatapan yang tenang namun penuh perintah. “Tenang. Ingat satu hal, Aruna: jangan tunjukkan ketakutanmu. Mereka seperti serigala. Semakin kau gemetar, semakin mereka haus darah.”
Aruna mencoba mengangguk, meski jantungnya berdebar sekeras gendang perang.
---
Gerbang besar terbuka. Mobil mereka meluncur masuk, melewati jalan panjang yang diapit patung-patung singa emas—lambang keluarga Mancini. Setiap patung seakan menatap tajam, seperti mengingatkan bahwa mereka sedang melangkah ke kandang musuh.
Saat mobil berhenti di depan tangga marmer, musik klasik terdengar dari dalam villa. Seolah-olah yang menanti adalah pesta mewah, bukan perang.
Leonardo keluar lebih dulu, tubuhnya tegap dengan setelan jas hitam yang elegan. Aruna turun setelahnya, mengenakan gaun merah tua yang dipilihkan Leonardo sendiri. Warnanya membuatnya tampak berani, meski di dalam hatinya ia hampir runtuh.
Beberapa tamu menoleh, berbisik-bisik. Semua mata tertuju pada Aruna. Wanita misterius yang selama ini dikabarkan menjadi “kelemahan King Mafia” kini hadir di depan mereka.
Aruna merasakan tatapan itu menusuk kulitnya. Ia ingin bersembunyi, tapi Leonardo meraih tangannya dan menggenggam erat, seakan berkata: Kau milikku. Tidak ada yang boleh menyentuhmu.
---
Di dalam villa, aula utama diterangi lampu kristal raksasa. Meja panjang penuh makanan mewah terbentang, anggur mahal mengalir tanpa henti. Para tamu—para mafia, pengusaha kotor, dan politisi bayangan—berdiri dengan wajah penuh topeng senyum.
Di ujung ruangan, duduklah Don Vittorio Mancini, lelaki tua berjas putih, rambut peraknya disisir rapi. Meski tampak ramah, matanya setajam pisau, memantulkan kegelapan yang tak kalah dari Leonardo.
“King Leonardo,” suara Don Vittorio bergema, penuh keangkuhan. “Akhirnya kau datang. Dan… ini dia wanita yang katanya membuat singa besar jinak.”
Tawa dingin terdengar dari para tamu.
Aruna menunduk sedikit, menahan gemetar. Leonardo maju selangkah, tubuhnya melindungi Aruna. “Hati-hati dengan kata-katamu, Don Vittorio. Kau tahu singa tidak pernah benar-benar jinak. Ia hanya memilih kapan akan mencabik mangsanya.”
Ruangan seketika sunyi. Tatapan penuh ancaman saling bertemu di udara.
---
Jamuan dimulai. Para pelayan berlalu-lalang, menyajikan makanan. Namun bagi Aruna, aroma daging panggang dan anggur tak lebih dari bau busuk darah. Ia duduk di samping Leonardo, mencoba menegakkan tubuh, tapi matanya terus mengamati sekitar.
Di meja lain, beberapa anak buah Mancini berbisik sambil sesekali melirik ke arahnya. Aruna bisa merasakan mereka menilai, menimbang, seolah dirinya sekadar pion di papan catur.
Leonardo tetap tenang, bahkan sesekali tersenyum tipis. Namun jemari tangannya di bawah meja menggenggam lutut Aruna erat—tanda bahwa ia sama tegangnya.
Don Vittorio mengangkat gelas. “Malam ini, kita berkumpul bukan untuk perang. Kita berkumpul untuk… perdamaian.”
Suara tawa sinis terdengar dari sudut ruangan. “Perdamaian? Dengan King? Semua tahu kata itu tidak ada dalam kamusnya.”
Leonardo menoleh ke arah suara itu—seorang pria muda dengan bekas luka di pipi, salah satu cucu Don Vittorio. Senyum Leonardo perlahan muncul, dingin. “Kau benar. Perdamaian tidak ada dalam kamusku. Tapi penghianat… selalu ada.”
Pria itu terdiam, rahangnya menegang.
---
Aruna semakin merasa tercekik. Jamuan ini bukanlah pesta, melainkan panggung perang psikologis. Kata-kata yang diucapkan di sini lebih tajam daripada peluru.
Don Vittorio kembali bicara, kali ini menatap Aruna. “Jadi ini dia wanita yang kau sembunyikan, Leonardo. Apa istimewanya dia sampai kau rela menantang keluarga Mancini?”
Aruna membeku. Tatapan puluhan pasang mata menancap padanya.
Leonardo menepuk tangannya pelan, memberi kekuatan. Lalu ia menatap lurus pada Don Vittorio. “Karena dia satu-satunya alasan aku masih memilih hidup. Sentuh dia, dan aku akan membakar seluruh warisanmu sampai jadi abu.”
Suara itu tidak keras, namun begitu dalam dan bergetar. Ruangan kembali sunyi, seolah semua orang menahan napas.
Aruna menatap Leonardo, hatinya bergetar. Kata-katanya adalah ancaman, tapi juga pengakuan cinta paling berani yang pernah ia dengar.
---
Tiba-tiba, lampu kristal di atas mereka bergetar, seakan ada yang menyabotase sistem listrik. Dalam sepersekian detik, musik berhenti.
Leonardo refleks meraih pinggang Aruna, membawanya lebih dekat. Ia berbisik cepat di telinganya. “Jangan lepaskan aku. Apa pun yang terjadi.”
Aruna menunduk, menempel pada dadanya. Ia bisa merasakan detak jantung Leonardo—keras, namun stabil, seakan ia sudah siap menghadapi kematian.
Lalu… suara ledakan kecil terdengar dari arah dapur. Para tamu menjerit, berdiri panik.
Don Vittorio tersenyum tipis, seolah semua ini memang bagian dari rencananya. “Sepertinya ada yang ingin pesta ini lebih… meriah.”
Leonardo langsung berdiri, tubuhnya menjadi perisai di depan Aruna. Tatapannya berubah, kini bukan lagi pria yang penuh luka, tapi King Mafia yang siap membunuh.
---
Malam jamuan berubah.
Perdamaian hanyalah kedok.
Villa Rosetta kini menjadi panggung darah.
Dan Aruna tahu, ia sedang berada di awal perang yang tak akan membiarkannya kembali ke kehidupan biasa.