Karena mantan pacarnya, di mata Elizabeth semua pria itu sama saja. Bahkan setelah putus, dia tidak ingin menjalin hubungan asmara lagi. Namun, seorang pria berhasil membuatnya terpesona meski hanya satu kali bertemu.
"Aku tidak akan tertarik dengan pria tua seperti dia!"
Tapi, sepertinya dia akan menjilat ludahnya sendiri.
"Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengannya? Bahkan tersenyum atau menatapnya saja tidak boleh!"
"Karena kamu adalah milik saya, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Oh my God, Eliza!"
Lucina berlari kecil menghampiri Elizabeth yang sudah anteng di salah satu kursi kantin.
"Kamu tidak bawa bekal, ya?" tanyanya sebelum bergabung.
"Sedang malas. Aku bawa kue, kamu mau?" Elizabeth menyodorkan kotak berisi kue pada Lucina.
Hal itu membuat Lucina tersenyum lebar. "Kamu ini tau saja!" Dia terkekeh lalu mengambil sepotong kue dan memakannya.
"Ngomong-ngomong, kemarin kamu lihat Hwara tidak?"
"Siapa Hwara?" tanya Eliza bingung.
Lucina menepuk keningnya. "Kamu tidak tau, ya? Hwara itu mantan tunangan Pak Altezza," ujar Lucina berbisik.
Kedua alis Eliza terangkat, dia cukup tertarik. "Apa dia datang kemari?"
"Benar! Tapi, aku tidak tau apa yang dia lakukan. Dia datang sebelum kita datang, aku rasa dia menemui Pak Al di ruangannya."
"Benarkah? Umm ...." Elizabeth terlihat berpikir. "Harusnya Pak Al senang, bukan? Tapi, kenapa kemarin dia memarahiku?"
"Marah? Dia marah?!" Mata Lucina terbelalak.
Elizabeth mengangguk, dia kembali memakan makanannya.
"Artinya, kedatangan Hwara yang membuat Pak bos marah! Sepertinya mereka memiliki hubungan yang kurang baik setelah batal menikah. Bagaimana menurutmu?"
"Tidak tau. Mungkin ... iya?"
"Kamu penasaran apa yang terjadi di antara mereka? Aku bisa mendadak menjadi stalking, lho." Lucina tersenyum penuh arti.
"Kalau Pak Altezza mengetahui kamu ingin stalking tentangnya, kamu bisa dipecat, Lucina," bisik Eliza. "Jadi, saranku, tidak usah ikut campur urusan mereka."
Meskipun Elizabeth adalah orang yang kepo, tapi, dia tidak ingin mengambil resiko. Stalking? Ew, dia tidak akan melakukan hal itu sampai kapanpun.
Lucina mendengus kasar. "Ya sudah kalau begitu. Aku cari jalan lain saja," katanya.
Elizabeth mengibaskan tangannya tak peduli. Lebih baik dia makan daripada mengurusi hubungan Altezza dan Hwara Hwara itu.
****
Setelah makan siang di kantin, Elizabeth malah disuruh Altezza menemani makan siang di luar. Tau begitu, dia tidak makan siang dulu tadi.
"Kamu ada rekomendasi tempat makan?"
Eliza yang sedang sibuk dengan ponselnya pun menoleh dengan kedua alis terangkat. "Bapak bertanya dengan saya?"
Altezza tidak menjawab, tapi, itu sudah cukup bagi Eliza. Artinya bosnya ini tidak ingin mengulang pertanyaan yang sama.
"Rumah makan langganan saya, sepertinya bukan ide yang buruk, Pak."
"Rumah makan?" Kening Altezza mengerut.
Oh astaga, Eliza lupa jika bosnya tidak pernah makan di rumah makan. Pasti semasa hidupnya selalu makan di restoran.
"Iya, rumah makan. Tidak jauh dari sini, dekat mini market."
Meski ragu, Altezza pun mengarahkan mobilnya ke sana. Semoga saja tidak mengecewakan.
"Ini?"
Eliza mendongak, dia membuka kaca mobil dan melihat ke luar. "Iya. Untunglah kalau tidak terlalu ramai," katanya. Biasanya rumah makan ini selalu ramai, mungkin karena sudah lewat jam makan siang, jadinya tidak terlalu ramai lagi.
Setelah memarkirkan mobil, mereka berdua keluar. Eliza memimpin jalan karena dia sudah cukup sering makan di sini, dulu, waktu kerja di perusahaan milik Arhan, mantan pacarnya.
Di belakang, Altezza hanya diam, matanya memperhatikan sekitarnya, ternyata rumah makannya cukup besar dan bersih, ada karyawan juga, meski tidak banyak.
"Di mana kursinya?" tanya Altezza saat Elizabeth menariknya agar duduk lesehan.
"Ssttt, ini namanya lesehan, tidak ada kursi," jawab Eliza berbisik.
Altezza mengangguk saja. Ya, setidaknya tempatnya bersih.
"Pak, mau pesan apa?" tanya Elizabeth.
Altezza mengangkat sebelah alisnya. "Buku menu nya ada?"
Elizabeth meringis. Rumah makan seperti ini, mana ada buku menu.
"Maaf, kami tidak menyediakan buku menu, Pak. Silakan Anda lihat di sebelah sana untuk menu-menu nya." Seorang karyawan menunjuk spanduk yang berada di dalam ruangan. Spanduk besar berisi nama-nama menu nya, disertai harga.
Altezza berdeham canggung, dia benar-benar terlihat norak. Meski begitu, ia tetap berusaha biasa saja.
"Ayam bakar," katanya setelah membaca tulisan di spanduk.
"Ayam bakar dengan lalapan?"
Kening Altezza mengerut mendengar pertanyaan si karyawan. Tapi, belum sempat dia bersuara, Elizabeth lebih dulu menyahut.
"Iya, Kak! Ayam bakar dengan lalapan nya, ya." Eliza tersenyum. Dia tau kalau Altezza tidak tau apa itu lalapan.
"Elizabeth—"
"Minumnya apa, Pak?" Eliza kembali menyela. Pasti pria itu akan bertanya 'Elizabeth, apa itu lalapan?'
Altezza kembali menoleh ke arah spanduk. Matanya memicing melihat beberapa nama minuman yang agak asing. Es doger? Apa itu?
"Air mineral saja, ada?" tanyanya. Dia sedang mengurangi gula saat ini, jadi air mineral lebih baik dibandingkan minuman aneh itu.
"Baik, kalau Ibu?" Karyawan bertanya pada Elizabeth.
"Oh, saya tidak—"
"Samakan saja," sela Altezza.
Elizabeth melotot, dia menggeleng ribut. "Pak! Saya—"
"Baik, pesanannya sudah saya keep. Tunggu sebentar, ya."
Elizabeth menghela nafas kasar melihat kepergian karyawan tersebut. Matanya melirik sinis Altezza yang sudah menyibukkan diri dengan ponsel.
"Saya sudah kenyang, kenapa Bapak memesan makanan untuk saya juga?" Bibirnya cemberut.
"Saya tidak mau makan sendirian," jawab Altezza, tanpa mengalihkan pandangannya.
Elizabeth mendengus, makan saja harus ditemani. Dia mengelus perutnya yang terasa penuh. "Hanya kali ini saja, semoga perutku tidak meledak," gumamnya tanpa sadar.
"Meledak?" Altezza mendengus geli. "Perut sekecil itu bisa meledak, ya?"
Eliza langsung melotot tak terima. Secara tidak langsung, bosnya ini mengatakan jika dia kecil! "Maksud Bapak apa?!"
Altezza mengangkat bahunya acuh. Hal itu semakin membuat Eliza kesal. Demi apapun, dia baru melihat wajah menyebalkan seorang Altezza Pamungkas. Apalagi saat bibirnya tersenyum tipis, tapi penuh ejekan.
"Meskipun badan saya kecil, saya itu langsing, dan tahan banting, Pak! Buktinya kemarin saya lembur, kan?" kata Eliza dengan nada sinis.
"Saya tidak bilang kamu kecil."
"Secara tidak langsung, iya!"
"Tidak."
"Bapak kenapa menyebalkan sekali sekarang?!" geram Eliza. "Sudahlah!" Dia memilih memainkan ponselnya juga dibandingkan melihat wajah Altezza yang begitu menyebalkan.
Altezza menahan senyum, sekretaris nya ini kenapa terlihat menggemaskan ketika sedang kesal? Eh?
Mereka berdua berhenti main ponsel saat makanan sudah tiba. Altezza terkejut melihat besarnya potongan ayam bakar. Sebesar itu, siapa yang akan menghabiskan? Dan lagi, ada tambahan nasi di mangkok, padahal yang di piring sudah banyak.
"Worth it, kan?" bisik Elizabeth.
Tanpa sadar Altezza mengangguk. Namun, sedetik kemudian dia mengerutkan kening. "Elizabeth, air mineral nya ditaruh di mangkok seperti ini?" Dia menunjuk mangkok berisi air.
"Bukan! Ini untuk cuci tangan. Kalau Pak Al ingin makan pakai tangan saja, cuci dulu di sini." Elizabeth sedikit menjauhkan mangkok tersebut dari makanan.
"Ini ada sendok, kalau Bapak tidak ingin tangannya kotor," lanjut Eliza sambil menunjuk rak sendok yang memang disediakan di meja.
Altezza terdiam, dia agak ... terkejut. Semuanya berbeda dengan di restoran, dia belum terbiasa.
Tak lama dari itu, pelayan kembali membawa dua botol air mineral, barulah Altezza mulai makan. Matanya melirik Eliza yang sudah lebih dulu mencicipi ayam bakar. Dan anehnya, gadis itu memakai tangan, tanpa sendok dan garpu.
"Kamu pakai tangan saja? Di sini tidak ada sabun untuk cuci tangan?" tanya Altezza.
Elizabeth menunjuk area depan. "Di sana ada tempat cuci tangan juga, dan ada sabunnya."
"Bapak ingin makan pakai tangan?"
Altezza menggeleng. Dia memilih mengambil sendok dan garpu, lalu mengelap nya dengan tisu. Elizabeth sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah atasannya ini.
"Dia seperti baru keluar dari gua," batin Elizabeth. Aneh saja, Gaby yang merupakan adik Altezza saja tidak seaneh itu, harusnya Altezza mengikuti jejak adiknya.
Malas memikirkan Altezza, Elizabeth kembali memakan makanan nya, meskipun perutnya terasa penuh, dia mencoba menikmati.
"Enak?" tanya Eliza.
Altezza mengangguk. Dia membuka kancing kemeja bagian atas ketika merasa gerah, untungnya dia sedang tidak memakai dasi, hanya kemeja hitam.
Elizabeth mendengus melihat tingkah bosnya itu. "Ternyata pria seperti dia bisa tebar pesona juga?" batinnya mencibir.
Hampir dua puluh menit mereka makan di sana. Setelah selesai semuanya, mereka segera kembali ke kantor, karena sehabis ini, Altezza akan menemui asistennya untuk mengurus sesuatu.
Sepanjang jalan mereka hanya diam, Eliza juga tidak berniat membuka suara, dia terus fokus pada ponselnya, sedang membaca novel online.
"Minggu malam, kamu di rumah?"
Eliza tersentak, kenapa suara Altezza selalu mengejutkannya?!
"Iya," jawab gadis itu setelah menetralkan jantungnya.
"Temani saya ke pesta."
"Heuh? Pesta apa?" tanya Elizabeth.
"Pesta pernikahan anak rekan bisnis saya, dulu."
Jujur saja, dibandingkan ke pesta itu, lebih baik Eliza tidur di rumah dan menonton film. Tapi, kalau Altezza yang meminta, bagaimana mungkin dia menolak?
"Oke," jawab Eliza.
"Tapi, kenapa Bapak mengajak saya?" lanjutnya bertanya.
"Karena kamu sekretaris saya."
Benar, sih. Tapi, kan—
"Ah, begitu, ya ...," gumam Eliza.
Altezza tak menanggapi lagi, mata tajamnya terus fokus pada jalanan, sedangkan Elizabeth sibuk dengan pikirannya.
****
"Oh lala my baby Elizabeth!"
Eliza memutar bola matanya mendengar seruan Lucina.
"Ternyata kita memang ditakdirkan bersama, ya?"
"Ya ... sayangnya begitu," balas Eliza sembari mengaduk kopinya. Benar, kopi lagi.
Lucina hanya tertawa mendengar balasan Elizabeth. "Ngomong-ngomong, kita belum pernah jalan-jalan berdua. Bagaimana kalau Minggu malam? Sepertinya seru!"
"Tidak bisa, aku ada acara. Lain hari saja," jawab Eliza.
Wajah Lucina langsung murung. "Uhm ... acara apa? Apakah manusia seperti dirimu ini bisa sibuk juga?"
Eliza berdecak. "Tentu saja, aku adalah manusia tersibuk di dunia!" katanya melebih-lebihkan.
Kini Lucina yang berdecak kesal. "Apa tadi? Manusia tersibuk di dunia? Yang benar saja!" Dia mengambil gelas dan menuangkan air hangat ke dalam gelas berisi teh kantong.
"Memangnya acara apa?"
Eliza terdiam sejenak, dia tidak yakin Lucina akan santai ketika mendengar jawabannya.
"Pak Altezza mengajakku ke pesta pernikahan—"
"APA?!"
Eliza memutar bola matanya malas. Kenapa suara temannya ini sangat cempreng sekali? Cara bicaranya juga asal ceplos, demi apapun, Eliza tidak menyangka akan memiliki teman kantor seperti Lucina.
"Lucina, aku adalah seorang ekstrovert, tapi aku tidak pernah seheboh dirimu," kata Elizabeth, malas.
Lucina menyengir lebar. Namun, sedetik kemudian wajahnya kembali serius, dia memegang kedua pundak Eliza dan menatapnya dengan serius.
"Pak Al mengajakmu? Dia mengajakmu, El? Demi Tuhan?!"
"Tolong kondisikan tanganmu." Elizabeth menepis pelan kedua tangan Lucina. "Memangnya kenapa? Kamu mau ikut? Kalau begitu kamu saja yang ikut dengannya, aku lebih baik tidur di rumah."
Lucina melongo melihat reaksi malas Elizabeth. "Kamu menolak ajakannya?! Elizabeth, yang mengajakmu ini adalah Altezza Pamungkas! Bos kita! Ini kesempatan kamu mencari lelaki tampan di pesta itu! Aku yakin, hanya orang-orang penting saja yang diundang, harusnya kamu bersyukur!"
Mendengar kata 'lelaki tampan' Elizabeth sedikit tertarik. Dia tiba-tiba ingat dengan Batara, teman Altezza yang baru sekali dia temui.
Lucina mengerutkan keningnya melihat Elizabeth menatapnya begitu intens. "Ada apa?" katanya kebingungan.
"Kamu tau Batara?"
"APA?! BAT— hmmpph!"
"Lucina ...," geram Eliza, tangannya menutup mulut Lucina.
"Bwaiklah, bwaiklah ... tolong lephaskan inih!"
Akhirnya Elizabeth menurunkan tangannya. Dia menatap sebal perempuan itu.
"Jangan sampai Pak Al tau kita bergosip di sini!" geramnya.
"Oke-oke, aku akan tenang." Lucina mengatur nafasnya sebelum lanjut bicara.
"Baiklah, Elizabeth. Batara siapa yang kamu maksud itu?" tanya Lucina dengan senyum terpaksa.
"Teman Pak Altezza. Aku baru bertemu dengannya beberapa hari lalu, sebelum ke LA," jawab Eliza.
Lucina mengibaskan tangannya di depan wajahnya seolah kepanasan. "Ya Tuhan, Batara ... dia adalah lelaki yang benar-benar sempurna! Baru pertama bertemu saja, dia berhasil membuatku mabuk kepayang!"
Eliza mengerutkan keningnya. Oh, apakah makhluk di depannya ini juga menyukai seorang Batara?
"Kamu menyukai Batara, ya?" Mata Elizabeth memicing curiga.
"IYA!"
Bersambung...