NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:587
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 12

Berputarnya waktu terkadang sama sekali tidak terasa. Pertumbuhan manusia itu cepat, dari yang tidak bisa berbicara mampu bergerak, melihat, hingga dapat mengerti berbagai macam perasaan.

Album-album foto itu Kian pandangi dengan seksama. Di dalam sana tersimpan berbagai memori dirinya dengan kedua sahabatnya. Kian yang cengeng, Raka yang jahil dan Revan yang selalu bersikap dingin. Seulas senyuman terpatri di wajah tampan miliknya. Hingga perhatiannya teralih kan oleh suara pesan grup yang muncul.

3 Sekawan Burung Jomblo

Rakambing : Gak kerasa kita udah lulus, Kian kok lo bisa lulus? Pake guna-guna ya lo?

Gue Ganteng : Lo chat pagi-pagi udah cari masalah sama gue, Rakamvret

Rakambing : Abis gue kaget, kok lo bisa lulus :(

Gue Ganteng : Emang kenapa kalau gue lulus? Bukannya seneng temen lo lulus, ini malah diratapi

Rakambing : Iya deh gue seneng

Gue Ganteng: Nah gituh dong.

Rakambing : Seneng, karena gue masih bisa gangguin hidup lo hahaha

Gue Ganteng : Eh ngajak gelud lo?!

Titisan Iblis : Shut up.

Rakambing : Woah, hati-hati Kim Jong Un muncul.

Gue Ganteng : Idih tumben muncul lo Rev?

Rakambing : Iya nih, biasanya lo jadi silent reader doang.

Titisan Iblis : Berisik notif.

Gue Ganteng : Idih bang jago. Oh iyah bang jago, lo mau nerusin kemana?

Rakambing : Ih kok Revan doang yang ditanya, kok gue nggak? Cemburu nih :(

Gue Ganteng : Najis. Dan maaf memangnya anda siapa ya.

Rakambing : Knock Out. Selamat tinggal dunia hiks :'

Titisan Iblis : Jijik.

Gua Ganteng : Eh bang jago, lo belum jawab woy.

Titisan Iblis : Gue mau nerusin ke univ yg sama kayak Raka sama bang Arjun bareng Devan.

Rakambing : Lo sendiri mau kemana Yan?

Gue Ganteng : Bingung. Orang tua gue katanya mau bilang sesuatu

Titisan Iblis : Oh.

Rakambing : Oh. (2x)

Rakambing : Oh. (3x)

Rakambing : Oh. (999999x)

Rakambing : Oh. (100000000000x)

Rakambing : Oh. (9999999999999999x)

Gue Ganteng : Punya temen emang biadab semua!

Titisan Iblis : Gausah spam Yan.

Gue Ganteng : Lah kok gua? Si Rakambing yg spam Rev!

-Titisan Iblis Left The Group-

Gue Ganteng : Lha kok ngamoook?????

Rakambing : Lo sih Yan, nyepam

Gue Ganteng : Iya gue yang salah dah

-You Invited Titisan Iblis to the Group-

Kian hanya bisa menghembuskan nafasnya, terlalu terbiasa dengan kelakuan kedua sahabatnya tersebut. Kian beranjak menuju ke lantai bawah kala mendengar suara bel rumahnya yang berbunyi.

Tumben sekali di akhir pekan pagi hari ini ada orang yang datang bertamu. Kian membuka pintu rumahnya, dia cukup terkejut karena yang bertamu adalah orang tuanya sendiri.  Padahal kemarin baru saja mereka pergi pamit untuk melakukan perjalanan bisnis.

Kian bersama orang tuanya kini sedang duduk saling berhadapan. Papanya meminum teh yang sudah disiapkan oleh pelayan. Setelahnya, sang Papa menghela nafas. Dari gerak-geriknya, Kian tahu bahwa ada sesuatu hal penting yang akan dibicarakan sang Papa.

"Kamu udah tahu mau nerusin kemana, Arkian?" Papanya bertanya tegas.

Kian menjawab. "Tujuan aku sih sebenernya pengen ngambil jurusan bahasa, Pa."

"Dimana emangnya Arkian?" Tanya Mamanya lembut.

Kian tersenyum. "Kalau bisa, pengennya masuk ke univ yang sama kayak Revan ma Raka."

"Oh, bagus juga kok itu disana." Balas Mamanya tersenyum.

Papanya memandang lurus pada Kian. "Maaf Arkian, kayaknya meski kamu bisa masuk kesana, kamu tetep gabisa kuliah disana. Kita bakal pindah satu minggu lagi ke Palembang. Perusahaan disana lagi sedikit kesulitan dan Papa juga mau kamu kuliah di jurusan lain, mungkin Manajemen Bisnis. Kamu tahu kan, kamu satu-satunya penerus perusahaan? Apalagi keadaan perusahaan sekarang lagi gak begitu baik."

Kian terdiam, lagi-lagi saat ini dia tidak bisa mengikuti keinginannya sendiri.

"Arkian, sayang kenapa? Kok diem aja?" Tanya Mamanya khawatir.

Kian segera mengembalikan kesadarannya. "Nggak apa-apa kok Ma. Ya mau gimana lagi, Papa juga udah bilang gitu kan. Arkian bakal ikut kalian kalian."

"Kalau gitu, beresin barang-barang kamu dari sekarang Arkian." Setelah mengucapkan kalimat itu, Papanya beranjak untuk berbicara kepada kepala pelayan.

"Arkian, sekali-kali kamu nolak permintaan Papa kamu gak apa-apa sayang. Pikirin diri kamu sendiri Nak." Sang Mama berucap sendu.

Kian tersenyum, mencoba menghilangkan kekhawatiran sang Mama. "Sebagai anak kalian satu-satunya, Arkian emang harus jadi anak yang baik. Mama tenang aja, dari kecil Arkian kan udah biasa pindah-pindah tempat."

"Makasih Nak."

.

.

.

.

.

Revan mendecak ketika melihat ponsel miliknya. Kian mengundang dirinya lagi ke dalam grup. Dia kan sedang mengajari adik kembarnya belajar, kedua makhluk itu terus saja mengirimkan notifikasi.

Devan yang melihat Revan terus mendecak tersenyum sendiri. Saudara kembarnya ini memang mudah sekali merasa kesal. Devan sendiri sering takut jika melihat kemarahan Revan yang sedang kesal, lalu entah bagaimana kedua 'pelayan' Revan itu begitu berani dan sering membuatnya kesal.

"Apa liat-liat?" Revan sadar bahwa sedari tadi Devan sedang menatapnya.

Devan mendecih. "Idih ngegas."

"Gak ngegas. Cuma kesel." Jawab Revan judes.

Devan tertawa. "Kesel kenapa lo Rev? Kawanan lo bikin masalah?"

"Spam anjir di grup. Udah tau gue lagi ngajarin lo belajar." Revan mengeluh.

"Haha bisa ke-trigger juga lo Rev." Ejek Devan.

Revan memandang Devan kesal. "Ya nih adek satu, bukannya ngehibur malah balik ngejek. Berakhlak banget emang."

"Iyadong, gue kan anti mainstream." Bangga Devan.

Revan mengejek. "Anti mainstream naon lah, pikasebeuleun adi nu kieu mah (Anti mainstream apaan, nyebelin adek kayak gini mah)."

"Eh, si akang nyunda. Kaabusan naon? Maung? Eh lo kan emang udah dasarnya macan." Balas Devan.

Revan menahan kesalnya. "Udah jangan ngomong terus. Tuh jawab soal no. 5, baru ngerjain sedikit juga. Katanya pengen masuk kampus yang sama."

"Iya dah iya. Beda sih yang Ranking 1 seangkatan mah." Devan mencibir.

Revan bersidekap, penuh kebanggaan diri. "Makanya belajar."

"Napa sih kembaran gue absurd banget." Monolog Devan, karena Revan sedang sibuk bersikap membanggakan diri sendiri.

Devan melanjutkan belajarnya untuk tes nanti. Revan ada disana untuk terus mengawasi belajarnya. Terkadang kakak kembarnya itu membantu jika ada soal yang tidak bisa dimengerti oleh Devan.

Devan menatap Revan, seulas senyum terpatri di wajah Devan. Ada kehangatan sosok sang Papa dahulu saat Revan mengajarinya dengan seksama seperti ini. Jika orang-orang melihat Revan yang sedang seperti ini, Devan yakin mereka akan melihat sosok yang begitu sempurna. Apalagi untuk para wanita, pasti sudah tergila-gila. Entah kapan dia bisa menjadi seperti Revan.

Devan mengangguk-anggukan kepalanya seiring penjelasan yang diberikan oleh Revan. Setelah beberapa jam terlewat, Revan menyuruhnya berhenti. Ini sudah waktunya Devan makan, meminum obat dan berisitirahat.

"Udah segini dulu, besok lagi belajarnya." Perintah Revan.

Devan mengeluh. "Tanggung loh Rev."

"Besok Devano." Tegas Revan.

Mendengar ucapan tegas Revan, Devan tidak lagi berani membantah. "Yodah. Yodah. Laper nih, masak gih."

"Gak usah lo suruh juga, gue pasti masak kok. Apa sih yang nggak buat adek gue ini." Revan mengacak gemas surai Devan.

Devan segera menyingkirkan tangan Revan. "Singkirin gak, kalau gamau tangan lo patah."

"Anjir keji banget. Semua orang harus tahu kalau yang paling kejam tuh bukan gue, tapi lo Dev." Bangga Revan.

Devan mendecih. "Anak kecil juga bakal langsung tau mana yang malaikat mana yang iblis."

"Em udah berani ya nih anak satu." Revan mengeluarkan aura hitamnya.

Devan menelan ludahnya kasar. "Rev, cepet masak aja tar gue telat minum obat loh."

Setelah itu Devan melarikan diri. Revan hanya menggeleng dengan tingkah sang adik.

Beberapa saat kemudian Revan dan Devan sedang menyantap makan malam mereka. Revan sedikit mengernyit ketika Devan berhenti memakan makanannya. Devan membekap mulutnya seolah menahan muntah. Revan segera menghampiri sang adik. 

'DEG' Mata Revan membelalak kala melihat ada darah yang menetes dari hidung Devan. Revan ingin sekali menangis, namun dia menahannya. Revan tahu jika dia lemah maka hal itu hanya akan membuat Devan semakin lemah juga. Revan dengan tenang mencoba menghentikan pendarahan sang adik. Membawanya ke toilet, menemani Devan yang tidak kuasa lagi menahan rasa mualnya.

Setelah duduk di sofa dan meminum obatnya, Devan menyandarkan kepalanya lemah di bahu Revan. Rasanya tubuhnya tidak mempunyai tenaga. Kepalanya berputar membuatnya cukup sakit, walau tidak separah sebelum meminum obat.

"Udah mendingan?" Tanya Revan sangat lembut.

Devan mengangguk lemah.

"Mau ke kamar aja?" Tanyanya kembali.

Devan menjawab. "Iya Rev."

"Oke, gue bantu ke kamar ya. Tapi kalau lo gak kuat bilang aja, nanti gue gendong." Tawar Revan dengan penuh senyuman.

Devan mendecak. "Kebiasaan sih lo. Ogah banget digendong ma lo. Mending gue digendong sama Yoona SNSD."

"Kebalik woy. Lagian lagi sakit juga, masih aja halu lo Dev." Ejek Revan.

Devan kini sudah duduk di atas tempat tidurnya. Dia berucap takut. "Maaf Rev, gue bikin lo khawatir lagi ya?"

Revan menggeleng. "Kok minta maaf? Udah wajar kok. Udah ah jangan cemberut, makin jelek kalau lo cemberut atau mau gue uyel-uyel pipinya? Gemes nih."

Devan merasakan sinyal bahaya. Dia langsung melemparkan bantal dengan keras yang langsung tepat sasaran mengenai kepala Revan. "SELANJUTNYA GUE LEMPAR PAKE GELAS YA!!"

.

.

.

.

.

.

Hari ini Devan berada di luar, dia sudah berjanji pada Ardli untuk menemaninya membeli keperluan untuk kuliah nanti. Meski pada awalnya berdebat cukup panjang dengan Revan, tapi akhirnya Devan mengantongi izin dari Revan untuk menemani Ardli.

Devan juga akan melakukan hal yang sama. Mumpung tujuannya sama, Devan akan membeli peralatan kuliah untuk dirinya dan Revan. Jika bertanya kenapa Revan tidak ikut, kakak kembarnya itu sedang bertemu dengan Raka untuk membahas sesuatu katanya.

"Dev, udah lama?" Tanya Ardli yang baru saja sampai.

Devan menjawab jahil. "Udah dari kemarin sih."

"Yang bener kalau ditanya kamvret." Kesal Ardli.

Devan tertawa. "Baru sebentar kok."

"Yuk masuk, kita mulai cari-cari perlengkapan." Ajak Ardli.

Mereka berdua memasuki toko tersebut. Memilih-milih perlengkapan apa saja yang akan dibeli. Setelah menemukan apa yang akan mereka beli, Devan dan Ardli segera membayarnya ke kasir.

Devan mulai memberikan barang apa saja yang akan dibayarnya. Namun entah mengapa aura sang kasir sedikit membuatnya tertekan. Padahal ini baru pertama kali dia bertemu dengannya. 

"Totalnya 110.000 rupiah." Kata kasir tersebut.

Ardli yang melihat Devan melamun menyenggolnya. "Dev, bayar woy."

"Tolong cepet ya, kamu ngehalangin yang lain." Kesal kasir tersebut.

Devan yang tersadar, langsung membayarnya. "Oh iya, maaf Kak. Ini."

Karena merasa petugas kasir tersebut masih kesal, Ardli dan Devan segera keluar meninggalkan toko. Sungguh tatapan petugas kasir laki-laki tadi sangat seram. Jika saja pandangan bisa membunuh, Ardli yakin dia dan Devan akan tewas seketika.

'Ping'

'Ping'

'Ping'

'Ping'

"Spam amat hp lo Dev. Siapa nih? Pacar ya? Ciehhhh." Goda Ardli.

Devan memandang Ardli datar. "Apa mungkin kalau dari pacar, ekspresi gue kayak gini?"

"Jangan-jangan dari orang itu?" Ardli bergidik ngeri hanya dengan memikirkannya saja.

Devan mengangguk. "Bener. Orang yang saat ini ada di pikiran lo Dli."

From : Kakak H*mo kamvret tapi sayang

Dev, udah makan belum? Jangan telat makan. Inget.

Dev, kalau makan jangan pake pedes. Awas

Dev, udah diminum obatnya juga belum?

Dev, jangan terlalu kesorean mainnya.

Si Ardli gak ngeresein lo kan? Awas kalau iya.

To : Kakak H*mo kamvret tapi sayang

Udah, gue udah semuanya, dan gue bisa jaga diri jadi jangan khawatir, Rev

Ardli yang ikut membaca pesan yang diterima Devan ikut bergidik. "Perhatiannya lebih dari cewek posesif Dev. Sabar ya, hidup itu ujian."

"Lo tuh prihatin atau ngejekin sih?" Kesal Devan.

Ardli menaikan alisnya. "Dua-duanya boleh sih."

"Dasar temen laknat." Kesal Devan.

Melihat waktu semakin sore, Devan dan Ardli memutuskan untuk pulang. Apalagi jika sampai telat, bukan tidak mungkin Revan bisa mengamuk dan Ardli juga tidak ingin kena semprot.

Di dalam perjalanan pulang, langkah Devan tiba-tiba saja berhenti. Dia berpapasan dengan seseorang yang sangat tidak ingin ditemuinya. Ardli melirik, dia tahu alasan Devan menghentikan langkahnya.

"Harusnya gue muter arah, kalau tau bakal ketemu beginian." Ucap remaja itu.

Ardli yang kesal mendengarnya menjawab. "Oy, Dirta bukan kaemauan kita lagian. Kalau bisa milih mending gue lewat angkasa daripada lewat daratan biar gak ketemu lo."

"Halah, ketemu lo tuh udah bikin gue eneg. Nah sekarang ditambahin ketemu beban." Dirta memandang sinis ke arah Devan.

Ardli yang kesal membalasnya. "Jangan sembarangan lo kalau ngomong."

"Kenapa? Gue ngomong fakta kok. Kasian ya Revan, kenapa harus punya kembaran macem dia." Sinisnya kembali.

Devan yang tidak ingin diam saja, angkat bicara. "Kenapa lo peduli? Urusan Revan kan bukan urusan lo, jadi gausah ikut campur."

"Lucu banget ngedenger omongan lo. Ya harusnya lo yang mulai berhenti masuk dan ikut campur di kehidupan keluarga gue." Balas Dirta menusuk.

Devan mengepalkan tangannya. "Dirta!!!"

Tiba-tiba saja ada orang lain yang muncul diantara mereka. "Kalian kalau mau ribut gausah di depan tempat kerja gue."

Rupanya dia kasir laki-laki yang tadi.

"Maaf kak Nathan, 2 orang ini emang selalu bikin ribut." Dirta rupanya mengenali kasir tersebut.

Nathan memandang sinis ke arah Ardli terlebih Devan. "Kenapa anak cengeng gak cepet pulang aja sana."

"Orang juga udah tau kan karakter kayak apa kalian." Ejek Dirta.

Nathan memandang Dirta tegas. "Dirta lo kalau mau ribut, gausah kesini lagi."

"Ma...maaf Kak Nathan." Dirta menurut.

Ardli yang kesal, segera menarik Devan untuk segera pergi. "Makasih, tanpa kalian suruh pun gue sama Devan emang udah muak disini."

Revan heran ketika melihat ekspresi Devan yang murung setelah pergi dengan Ardli. Devan sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun sampai waktunya makan malam tiba. Anak itu bahkan tidak mood untuk makan jika diamati.

Revan yang diacuhkan dari tadi hanya bisa menghembuskan nafasnya. Dengan hati-hati Revan mendekati Devan, mencoba menanyakan hal apa yang sebenarnya terjadi saat dia pergi tadi.

"Lo kenapa Dev? Berantem sama Ardli? Biasa kan, kalau sahabatan pasti ada berantemnya." Ucapnya dengan lembut.

Devan menggeleng. "Gue baik-baik aja kok kalau sama Ardli."

"Terus, kenapa? Ada yang sakit?" Tanya Revan sekali lagi.

Devan kembali menggeleng. "Gue tadi ketemu Dirta, anaknya Tante Andrea."

Revan sedikit terkejut mendengar penuturan Devan. "Dia bilang sesuatu yang aneh lagi ya sama lo Dev? Gue yakin."

"Apa lo nyesel Rev, punya adek kembar kayak gue?" Tanya dengan sangat pelan, terlalu takut untuk mengajukan pertanyaan.

Revan marah mendengarnya, dia yakin pasti Dirta yang sudah mempengaruhi Devan sampai bersikap begini. "Gak pernah sekalipun terlintas di pikiran gue kayak yang lo tanyain. Malah gue bersyukur punya adek kembar kayak lo. Gue sangat bersyukur karena Tuhan masih ngizinin gue buat terus ada bareng lo. Jadi please Dev jangan mikir yang aneh-aneh lagi. Satu hal yang harus lo tau dan lo inget dengan baik bahwa gue Revano adalah kakak kembar lo, dan lo Devano adalah adek kembar gue."

"Iyah Rev, maafin ya gue overthinking lagi." Sesal Devan.

Revan mencubit gemas pipi Devan. "Udah makanya jangan jadi sad boy terus, kayak yang gak bisa move on dari mantan aja."

"Shaakit Lhevvv (Sakit Rev)." Keluh Devan.

Revan tersenyum jahil. "Nggak ah, abis lucu banget sih adek gue ini. Takut ya abangnya hilang."

'BUG' Devan menendang sayang Revan hingga terjungkal. "Gausah kegeeran."

"Aw.. Baru juga baik, nih adek satu udah galak lagi macem singa betina dah." Revan mengusap bagian tubuhnya yang terjatuh ke bawah dengan sangat elit.

Revan memilih untuk segera bersiap ke tempat kerja paruh waktunya. Dia memilih menghindari amukan Devan.  Saat dirinya memasuki kamar mandi, ponselnya menunjukkan notifikasi yang sebenarnya bisa membuatnya terkejut jika melihat.

-Kian Nista Left the Group-

.

.

.

.

.

S

udah 6 hari berlalu sejak kelulusan mereka, khususnya 3 serangkai yang dikenali oleh satu sekolah. Namun selama 6 hari hanya Raka dan Revan yang bertemu, semenjak percakapan terakhir di grup waktu itu, tidak satu detik pun Kian menunjukkan kemuncullannya.

Terakhir adalah kemarin, saat ponsel Revan menunjukkan notifikasi bahwa Kian meninggalkan grup yang sudah 6 tahun lamanya mereka buat. Beberapa detik kemudian, Raka menelepon Revan menanyakan apakah Kian bisa dihubungi atau tidak.

Karena penasaran dengan apa yang diucapkan Raka, Revan mencoba menghubungi Kian. Benar, tidak ada satu pun pesan yang dibalas dan tidak sekalipun telepon darinya diangkat. Revan itu memang orang yang terbilang cuek terhadap pertemanan, namun masalah Kian ini sedikit menganggunya.

"Lo kenapa Rev? Tumben amat lesu, ya walau sebenernya sih ekspresi lo emang datar macem tembok sih." Tanya Devan sedikit bercanda.

Revan menghela nafasnya. "Si Kian bikin masalah lagi nih."

"Lah tumben, biasanya kan lo samperin tuh anak sampe dia nangis. Jangan ah anak orang kasian Rev. Tobat napa lo." Devan mengangguk-anggukan kepalanya seolah berpikir.

Revan menjawab malas. "Nanti kalau dora pindah ke bikini bottom."

"Gakan pernah tobat dong lo. Tapi ngomong-ngomong soal Kian, emang lo belum dikasih tau sama dia Rev?" Devan memberitahukan.

Revan balik bertanya. "Kasih tau apa?"

"Grup kelas angkatan gue sih udah tahu, Kian bakal pindah ke Palembang ngikut orang tuanya. Soalnya ada temen kelas gue yang ikut kesana." Devan menjelaskan pertanyaannya.

Revan sedikit terkejut mendengarnya. "Dia belum ngasih tahu apa-apa ke gue sama Raka."

Devan mengedikkan bahunya. "Mending lo tanyain langsung ke Kian, daripada jadi salah paham. Mungkin emang Kian ada sesuatu, jadi belum berani ngomong ke kalian."

"Gue sih gapapa, tapi lo tau Raka kan. Apalagi sekarang dia lagi sensitif semenjak kejadian kelulusan kemarin." Keluh Revan.

Devan yang gemas dengan tingkah lucu Revan, mengacak surai hitam si sulung. "Tumben banget lo care. Kalau mereka tau lo sepeduli ini ke mereka, gue yakin mereka seneng banget loh. Tapi gue juga seneng kok, artinya lo udah gak sedingin dulu."

"Emang gue dingin banget ya?" Tanya Revan masih dengan nada mengeluh.

Devan berpikir. "Mungkin -20 derajat celcius."

"Hypotermia dong lo nanti Dev kalau deket gue." Canda Revan.

Devan menggeleng. "Gak kedinginan kok. Tapi naik darah kalau deket lo sih Rev."

"Wow. Makasih pujiannya adekku~." Goda Revan.

Devan menawarkan sesuatu dengan kesal. "Mau bogem yang kiri apa bogem yang kanan? Hmm? Kak Revano?"

"Gue mau ke rumah Raka, terus nyari Kian." Revan kabur meninggalkan Devan.

Revan saat ini sudah bersama dengan Raka. Mereka berdua duduk di sebuah restoran cepat saji. Dari sudut matanya, Revan bisa memandang dengan jelas kekesalan yang tersinpan di wajah Raka.

Raka meminum minumannya dengan perasaan kesal. Orang bilang kalau kemarahan Revan itu menyeramkan tapi jika bisa memberi tahu, Revan ingin memberi tahukan kepada orang-orang bahwa kemarahan Raka lebih mematikan.

Suara pintu kembali terbuka, menampakkan seorang pemuda lain yang kini berjalan ke arah meja Raka dan Revan. Pemuda itu mendudukkan dirinya bersama mereka berdua. Selama 10 menit, tidak ada seorang pun yang membuka suaranya untuk memulai pembicaraan.

'Tak' Raka menyimpan minumannya dengan keras di atas meja. "Jadi ada yang mau lo jelasin ke kita Ar?"

Revan tahu jika Raka sudah memanggil sebutan nama yang tidak digunakan biasaya, berarti sahabatnya itu benar-benar marah. Namun Revan mempertahankan ekspresi dinginnya.

"Gue bakal pindah ke Palembang, ikut orang tua gue." Ucap Kian pada akhirnya.

Raka mendecih. "Lo bilang karena kita udah tahu duluan, kalau kita gak tahu gue yakin lo bakal langsung pergi aja. Ngebuang kita macem sampah."

"Raka." Revan memperingatkan.

Kian menunduk. "Gue gak sebiadab itu Ka!"

"Terus kenapa? Lo nganggep persahabatan kita ini kagak sih?! 6 tahun lebih, apa gak berarti? Atau cuma kita aja yang nganggep persahabatan ini, kalau lo sendiri nggak?!" Keras Raka.

Kian menggeleng keras. "Justru karena itu! Karena persahabatan kita yang udah lama ini, gue takut buat bilang. Gue bakal narik lagi niat gue buat pindah, karena gue gak mau ninggalin kalian. Cuma lo Rev, Ka satu-satunya temen yang gue punya dari kecil sampe sekarang. Cuma kalian yang bisa ngertiin gue, tapi sekarang gue harus pergi lagi. Gue takut, gue takut suatu saat kalian bakal lupa sama gue. Gue takut bahwa kalian gak akan pernah nginget gue lagi. Gue terlalu takut."

"Kenapa lo gak coba bikin kita inget? Yan, dengan lo begini malah bikin kita salah paham. Apa salahnya kan kalau lo jelasin dari awal. Gue sama Raka pasti bisa ngerti." Revan yang dari tadi diam, akhirnya bicara.

Kian memandang Raka yang masih menunduk, menahan amarahnya. "Maafin gue Ka, gue udah ngebuat semuanya kayak gini dan gak ngomong dari awal ke kalian. Maafin gue juga gak akan bisa lagi ngehibur lo kala  lo kesel sama Bang Arjun."

"Apaan sih. Emang lo mau pergi buat selamanya gitu?" Tanya Raka masih dengan sedikit rasa marah.

Revan tersenyum, mengartikan maksud Raka pada Kian. "Maksud si Raka, lo harus janji kalau kita bakal ketemu lagi suatu saat nanti."

"Gue janji kok. Semoga perusahaan Papa gue cepet baikan. Seudahnya, gue bakal balik ke Bandung." Angguk Kian dengan penuh tekad.

Raka berucap pelan. "Kalau sampe lo langgar, gue bom nanti lo disana Yan."

"Sekali Rakambing tetep aja Rakambing." Kian tersenyum, dia sangat senang mempunyai dua sahabat yang sangat mengerti dirinya.

Revan memulai topik baru. "Jadi jam berapa lo berangkat besok?"

"Gue berangkat pagi-pagi Rev, barang gue juga semua udah selesai di packing." Jelas Kian.

Raka bicara kali ini. "Pokoknya lo gak boleh dulu pergi sebelum gue sama Revan dateng buat nganterin lo."

Kian mengangguk. "Siap bos."

Sore itu, permasalahan diantara ketiga sahabat tersebut berakhir dengan baik dan diakhiri dengan canda tawa. Siap untuk menyambut perubahan pada esok hari yang akan dimulai.

.

.

.

.

.

*Outfit yang dipake Revan, nganter Kian ke Bandara*

*Outfit yang dipake Raka buat nganterin Kian ke airport*

*Outfit Kian yang mau heading ke Palembang*

Pagi itu semua pandangan di bandara tertuju ke arah 3 pemuda tersebut. Bagaimana tidak, penampilan ke-3 pemuda tersebut mampu menarik perhatian siapapun juga. Terlebih untuk satu orang yang memang pada dasarnya sangat mudah mencuri perhatian orang lain.

Kian memang sengaja menunggu kehadiran Raka dan Revan sebelum keberangkatannya ke Palembang. Sungguh, dia tidak menyangka bahwa hari ini dia akan berpisah sementara dengan kedua sahabat anehnya ini. Kian yakin, di Palembang nanti dia akan merindukan kedua sahabatnya ini.

Setelah kedatangan Raka dan Revan, kedua orang tua Kian muncul di hadapan mereka. Raka dan Revan langsung memberikan salam dengan sopan kepada kedua orang tua Kian. Mereka sudah mengajak Kian untuk segera pergi menuju pesawat yang akan ditumpanginya.

"Yan, sebentar." Revan memanggil.

Kian menghentikan langkahnya. "Napa Rev?"

"I..ini dari kita berdua. Semoga lo suka bar..barecelet-nya." Revan berkata dengan malu-malu dan memberikan bingkisan yang sedari tadi dia bawa.

Kian terkekeh. "Tumben banget Rev lo malu-malu gini. Jangan bikin cewek-cewek disini meleleh juga Rev."

"Cogan senatero Bandung emang beda sih." Goda Raka. "Lo tahu yang ngasih ide kado ini, si Revan manusia salju loh."

Kian memandang Revan yang masih malu-malu. "Wuah, makasih ya kalian berdua. Gue pamit ya."

Setelah itu Kian melangkah meninggalkan Raka dan Revan. Mereka berdua melambaikan tangannya kepada Kian. Kini Kian sudah benar-benar menghilang dari pandangan mereka berdua. Satu sahabat, sudah melangkah pergi menuju jalannya sendiri.

Namun persahabatan sejati, tidak peduli sejauh mana dan selama apa mereka tidak bertemu, pada akhirnya akan kembali ke satu sama lain. Karena tanpa perlu berucap, seorang kawan sejati akan mengerti apa yang dirasakan oleh sahabatnya sendiri.

Raka dan Revan memutuskan untuk kembali pulang.

Revan merebahkan dirinya ke atas tempat tidur. Perjalanan ke bandara untuk mengantar Kian memang cukup jauh, jadi wajar jika dia sedikit lelah. Lengannya menutupi sebelah kanan wajah tampan miliknya. Hingga perhatiannya teralihkan dengan seseorang yang mempunyai paras sama dengannya masuk.

"Kian udah pergi?" Tanya Devan.

Revan mengangguk. "Iya, rasanya baru kemaren gue sama Raka nemuin dia."

"Nemuin, emangnya dia anak pungut apa." Devan tertawa.

Revan membenarkan posisinya. Dia duduk di samping Devan. "Aneh si Kian kan cuma pergi ke Palembang, tapi kenapa gue ngerasa ada sesuatu yang ngeganjel gitu ya Dev?"

"Itu tandanya lo sedih karena pisah sama Kian." Jawab Devan.

"Kan si Kian ke Palembang doang, gak selamanya disana?" Tanya Revan kembali.

Devan tersenyum. "Rev, yang namanya perpisahan itu selalu bikin sedih. Entah itu perpisahan sementara ataupun selamanya. Dan itu yang lo rasain sekarang."

Revan terdiam, seketika sekelebat ingatan kala dirinya kehilangan kedua orang tua mereka terlintas. Perasaannya sangat sakit pada saat itu.

Devan terperangah kala Revan memeluknya dengan sangat erat. Seolah takut bahwa Devan akan meninggalkannya meskipun hanya sedetik. Tidak ada yang bisa Devan lakukan selain mengelus punggung sang kakak dengan lembut, menenangkan.

"Perpisahan emang sakit Dev dan bikin sedih. Rasanya, gue gak pengen lagi ngalamin hal itu." Ucap Revan dengan sangat pelan.

Devan menepuk-nepuk punggung Revan lembut. "Gue gak kemana-mana kok Rev. Gue gakan ngebiarin lo ngerasain hal itu lagi."

"Maafin gue Dev, maafin gue yang akhirnya malah nuntut hal lagi sama lo." Tunduk sedih Revan.

Devan kini memandang lurus ke arah Revan. "Selama gue mampu, gue akan berusaha Rev. Sama seperti lo yang selalu berusaha dengan cara apapun demi gue."

Malam itu berakhir dengan percakapan panjang kakak-beradik kembar mengenai masa kecil indah yang pernah dilalui mereka.

.

.

.

.

.

Waktu itu berputar dengan sangat cepat. Mereka yang dulu memulai dengan seragam biru untuk memasuki SMU, kini melangkah memulai dengan seragam hitam-putih untuk memasuki ruang yang lebih luas lagi. Ruang yang dimana mengajarkan hal-hal menuju tahap kedewasaan dan bekal yang lebih berat, ruang itu diberi nama sebagai jenjang universitas.

Revan dan Devan memasuki universitas yang sama hanya berbeda fakultas. Untuk Revan dia memasuki fakultas yang sama dengan Raka. Oh Ardli juga melanjutkan di universitas yang sama dengan si kembar hanya beda fakultas juga. Hari ini adalah hari pertama mereka untuk orientasi mahasiswa baru. Di hari pertama ini adalah pengenalan awal lingkungan universitas dan pengenalan para panitianya.

"Nama saya Najla sekretaris BEM disini sekaligus pengawas pelaksana." Seorang mahasiswi memperkenalkan diri.

Dilanjutkan dengan suara seseorang yang familiar untuk Revan dan Devan. "Mungkin beberapa dari kalian ada yang udah tahu, tapi saya mau kenalin diri saya lagi. Nama saya Arjuna, Presiden BEM disini sekaligus ketua pelaksana orientasi."

"Dan saya Nathan, wakil Presiden BEM sekaligus wakil ketua pelaksana."

Mata Devan membola kaget, dia adalah kasir judes yang ikut campur dengan masalahnya pada waktu itu. Entah kenapa Devan merasakan firasat buruk.

Perkenalan tersebut dilanjutkan hingga ke anggota-anggota mereka.

"Tim Alpha, saya akan jadi pengawas kalian."

Pada akhirnya Nathan menjadi pengawas dari kelompok Devan.

.

.

.

.

.

To Be Continue......

Makasih para readers yang udah mau baca. Hehe jangam lupa vote and comment lagi ya kalau yang sempet.

Mohon maaf kalau masih banyak typo.

Sampe ketemu di chapter berikutnya :)

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!