Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HASRAT LIAR
Malam telah larut. Lampu gantung ruang keluarga menyala redup, menciptakan suasana temaram yang menekan. Dari celah pintu kamar, cahaya temaram itu memantul hingga ke dalam, menyoroti wajah gelisah Tama yang duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya berkali-kali.
Pikirannya masih kacau. Bayangan tubuh Kemala yang hanya terbalut handuk putih pagi tadi terus mengganggu benaknya. Kulit gadis itu masih basah, aroma sabun dan shampoo menyeruak begitu mereka tak sengaja berpapasan di dapur. Tama langsung memalingkan wajah saat itu, tapi sekejap pandangan mereka sempat bertemu. Mata Kemala tampak polos dan sedikit terkejut. Tatapan yang juga penuh kesedihan. Namun dibalik itu semua, ada desir aneh yang tiba-tiba hadir, dan itulah yang membuat Tama risau
Tak ingin terlalu larut dalam gelora yang berbahaya yang bisa saja memporak-porandakan perasaannya, Tama dengan tegas meminta Erina untuk mengembalikan lagi Kemala ke rumahnya. Masih banyak yang bersedia untuk merawat gadis itu.
Ia menarik napas panjang. Erina duduk di depan cermin, mengoleskan krim malam di wajahnya dengan tenang.
"Pokoknya aku gak setuju dia ada di rumah kita, Rin!" ucap Tama akhirnya, memecah keheningan.Erina berhenti mengoles krim, memutar tubuh menghadap suaminya. "Lah, kenapa Mas? Susah payah loh aku ngebujuk dia tinggal di sini. Aku juga harus berurusan dengan Sukardi dan saudara Kang Subagja lainnya yang menginginkan hak asuh Kemala. Semua orang menginginkan Kemala karena dia membawa warisan yang besar. Hei, berlian ada di depan kita! Jangan sampai kita sia-siakan, Mas!" ucapnya bersemangat, matanya berbinar penuh ambisi.
Tama menatapnya lelah. Namun ia enggan mengatakan yang sesungguhnya tentang kejadian pagi tadi.
"Tapi, kan, Rin..."
"Udah, gak usah banyak protes. Usaha kafe kamu juga kan lagi anjlok. Kita lagi butuh banyak duit. Kemala bisa jadi ATM berjalan untuk kita. Besok kamu antar dia ke sekolah barunya ya!"
Tama mendengus. "Lah, kenapa harus aku? Kenapa gak kamu aja?"
"Aku ada urusan. Aku mau ke Puncak, ke rumah peninggalan orang tua Kemala di sana. Aku mau nemuin Mang Asep. Ajudan pribadi Kang Subagja itu akan memberikan laporan bulanan hasil perkebunan teh dan peternakan. Meskipun aku belum bisa kuasai semuanya, tapi dengan adanya Kemala di rumah kita, aku bisa minta uang dengan alasan biaya hidup Kemala. Pokoknya, selama gadis itu di sini, hidup kita akan terjamin. Kamu nggak usah pusing-pusing mikirin kafe yang makin sepi itu," jelas Erina sambil tersenyum bangga pada rencana liciknya.Tama hanya bisa menggeleng. Semua kata yang keluar dari mulut Erina terasa menjijikkan malam itu. Begitu mudah wanita itu memanfaatkan keponakannya sendiri demi harta. Tidak ada sedikit pun rasa kasihan atau belas kasih dalam dirinya. Hanya kalkulasi, strategi, dan manipulasi.
"Aku nggak ngerti jalan pikiran kamu, Rin. Bisa-bisanya kamu memanfaatkan keponakanmu sendiri."
"Nggak ada yang dimanfaatin, Mas. Anggap saja Kita orang tua yang harus memberikan yang terbaik serta kenyamanan untuknya di rumah ini. Jika Kak Indira masih hidup, tentu dia tidak akan keberatan putri semata wayangnya itu bersamaku. Aku ini adiknya Indira, dan Kemala sudah aku anggap seperti adik sendiri," jawab Erina mantap.
Tama menyeringai sinis. "Bahkan kamu dan kakakmu saja tidak dekat sejak dulu, Rin. Kamu selalu iri dengan pencapaian Kak Indira. Sekarang sok-sokan peduli pada Kemala. Lucu sekali kamu, Rin."
Alih-alih marah, Erina malah tertawa kecil. Ia bangkit dan melangkah pelan ke ranjang. Ia duduk perlahan di atas tubuh Tama yang kini terbaring, menatap suaminya dengan senyum menggoda. Tangan halusnya menyusuri dada Tama yang hanya mengenakan kaus tipis.
"Sudahlah," bisiknya lembut. "Kita nikmati saja. Kalau banyak uang, kita bisa membeli segalanya. Kemala butuh kasih sayang, kita bisa memberikannya. Kamu cukup diam di rumah, dan kita berikan perhatian pada Kemala supaya gadis itu makin betah di sini. Dia adalah ATM berjalan kita."Tama menatap langit-langit kamar. Erina mulai mencum-bunya, mencoba membakar ga i rah di tubuh suaminya. Namun Tama tetap diam. Tidak ada desa-han, tidak ada rintihan. Hatinya kosong. Pikiran dan has ratnya sudah tidak di situ. Bukan karena jijik pada istrinya. Tapi karena pikirannya masih berkecamuk oleh sesuatu yang jauh lebih kelam- nasib Kemala di rumah ini.
Apa yang dilihatnya tadi pagi, tubuh polos yang baru mandi, rambut basah menjuntai di bahu, kulit putih yang masih memerah karena hangatnya air, semua itu membuat dirinya merasa seperti pria breng-sek. Tapi dia tidak bisa memungkiri, dirinya laki-laki normal. Dan Kemala adalah gadis yang beranjak dewasa.
Tubuhnya semhok, lekuknya sudah terbentuk, dan wajahnya meski masih polos, memiliki daya pikat yang samar tapi menghantui. Hal yang paling membuatnya takut adalah bukan karena Erina ingin menjadikan gadis itu sumber uang, tapi karena ia sendiri, Tama, mungkin tak sanggup menjaga batas.
Erina tidak menyadari badai yang telah ia undang ke dalam rumah mereka. Niatnya memang hanya untuk memanfaatkan Kemala secara materi, tapi Tama... Tama bisa merasakan sesuatu yang mengendap di sudut gelap hatinya.
Saat Erina mulai tertidur di pelukannya, Tama menatap langit-langit kamar dalam keheningan. Ia tak bisa tidur. Bayangan tubuh Kemala kembali muncul. Ia merutuki pikirannya, mengutuk dirinya sendiri karena membayangkan hal seperti itu. Tapi semua itu nyata. Dan ia harus menghadapinya setiap hari mulai sekarang.
Pagi itu matahari belum terlalu tinggi ketika Tama dan Kemala melaju pelan dengan mobil SUV hitam mengilap milik pria itu. Jalanan kota Bogor mulai padat, namun udara masih sejuk, berembus lembut melalui kaca jendela mobil yang sedikit dibuka. Di dalam kendaraan, suasana justru terasa pengap-bukan karena suhu, melainkan karena canggung yang menggantung di antara dua insan yang saling diam itu.
Tama menatap lurus ke jalan, kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan kaku. Sesekali, ia melirik lewat kaca spion tengah, memandangi Kemala yang duduk di kursi penumpang belakang. Gadis itu menunduk, memeluk ranselnya. Penampilannya sederhana, dengan celana jeans longgar dan kemeja putih polos yang digulung di bagian lengan.
Kemala menatap ke luar jendela, menghindari sorotan mata pria dewasa yang kini menjadi wali barunya. Wajah bulatnya dihiasi poni tipis dan pipi sedikit chubby-tampak lebih muda dari usianya yang dua puluh satu tahun itu. Mungkin karena efek natural tanpa make up. Matanya sayu, sedikit bengkak karena menangis semalaman saat mengingat kedua orang tuanya. Ada raut lelah dan kehilangan yang membekas jelas di sorot matanya.
"Jangan sedih terus ya. Kamu masih muda, masa depanmu panjang. Kamu pasti bisa bangkit," ucap Tama di tengah perjalanan saat melihat Kemala yang terus diam dengan wajah sendu.
Kemala mengangguk. Dan pagi ini, Kemala hendak memulai kuliah di kampus barunya-Universitas Pakuan. Kampus swasta ternama yang tak jauh dari kompleks perumahan cluster yang menjadi tempat tinggalnya saat ini.
Tama menarik napas panjang, mencoba mencairkan suasana. "Kemala, tadi sempat sarapan?"
Kemala mengangguk pelan. "Sudah, Om. Tadi makan roti sama susu, buatan Tante Erina."
"Oh... bagus, bagus." Tama kembali diam. Otaknya berputar, mencari topik lain.
"Kamu... sudah siap masuk ke kampus barumu?"
Kemala mengangguk lagi. "Iya, Om. Deg-degan, sih."
Tama tersenyum kecil. "Itu wajar. Tapi kamu tenang aja, Unpak itu kampus bagus. Fasilitasnya lengkap, dan banyak mahasiswa pintar juga. Asal kamu bisa menempatkan diri, pasti mudah beradaptasi."
"Semoga..." gumam Kemala lirih, hampir tak terdengar.
Mobil akhirnya berbelok masuk ke area kampus. Bangunan megah dengan desain modern berdiri gagah, dipadu taman hijau rapi dan pepohonan rindang di sekelilingnya. Beberapa mobil mewah tampak terparkir di va dengan halaman, seb pakaian styli
Anda bisa klaim misi baca selama 1 menit
Tama berhenti di depan gedung administrasi. Ia mematikan mesin dan berbalik. "Ayo, Om antar sampai bagian akademik. Nanti kamu langsung ketemu dosen pembimbing juga." Kemala membuka pintu mobil perlahan, lalu turun dengan canggung. Sepatunya bukan sneakers branded seperti mahasiswa kebanyakan. Ia memang tidak terlalu memperhatikan penampilan. Asalkan nyaman, pasti dia pakai. Padahal kalau mau, Kemala bisa membeli barang-barang mewah yang dia inginkan. Rambutnya diikat, wajahnya sedikit lusuh tanpa perawatan, dan kemeja yang sederhana langsung menarik perhatian beberapa mahasiswa yang tengah berkumpul di depan gedung.
Tatapan mereka menilai. Ada yang saling berbisik, ada pula yang menatap dengan alis terangkat, seperti bertanya dalam hati, "Siapa sih cewek kampungan ini?"
Kemala menunduk dalam, mencoba mengabaikan pandangan mereka. Namun ia tak bisa menahan rasa rendah diri yang tiba-tiba menguap dari setiap pori kulitnya. Dunia ini-kampus ini terlalu berbeda dari kehidupannya yang sederhana di desa. Di sini, segala sesuatu terlihat mengkilap, mewah, dan penuh kompetisi sosial.
Tama berjalan mendahului, menuntunnya masuk ke gedung administrasi. Di dalam, ruangan ber-AC itu tampak steril dan profesional. Mahasiswa yang datang dilayani oleh staf dengan komputer dan sistem modern.
Semuanya tampak teratur.
Tama menyapa salah satu petugas dengan ramah. "Pagi, Bu. Saya Tama. Ini keponakan saya, Kemala. Pindahan dari Universitas B. Kami sudah buat janji sebelumnya."
"Oh iya, Pak Tama. Silakan duduk dulu, nanti kami proses datanya. Untuk jurusan Manajemen, ya?"
"Iya, semester 6," jawab Tama.
Klaim
Kemala menunggu sambil duduk di kursi pojok, tangannya menggenggam tas erat-erat. Matanya menyapu ruangan, berusaha tenang. Tapi perasaannya berkecamuk. Ia merasa seperti ikan kecil yang dilempar ke kolam penuh hiu. Semua orang di sini tampak percaya diri, modis, dan bersinar berbanding terbalik dengan dirinya.
Tak lama kemudian, Tama keluar membawa map berisi jadwal dan ID mahasiswa sementara. "Mala, ayo. Om antar ke fakultas sekalian kenalan sama dosen wali kamu."
Kemala mengangguk lemah. Ia melangkah mengikuti Tama, lagi-lagi setengah langkah di belakang. Sepanjang jalan, ia menatap ubin lantai, menghindari kontak mata siapa pun. Di lorong fakultas, mahasiswa lalu-lalang, sebagian besar mengobrol dengan gaya santai sambil tertawa. Tak sedikit yang melirik Kemala, lalu saling bisik-bisik, membanding-bandingkan tanpa suara.
"Kamu nanti kelas di lantai dua, ruang 204. Dosennya namanya Bu Marissa. Senior, beliau dulu juga merupakan dosen Om juga. Kelihatannya jutek, tapi ramah kok," jelas Tama saat mereka tiba di depan kelas.
Kemala menatap pintu ruangan itu. "Makasih, Om..."
Tama tersenyum menenangkan. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu cerita sama Om atau Tante, ya."
Gadis itu mengangguk lagi, kali ini memberanikan diri menatap wajah pria itu sejenak. "Iya, Om..."
Saat Tama melangkah pergi, Kemala berdiri sejenak di depan pintu kelas, menghela napas panjang. Ia tahu ini
Awal dari hidup barunya. Dunia asing yang menantang, tapi juga bisa menjadi harapan baru- "Semoga di kampus baru ini, aku bisa melupakan kesedihanku dan kenyataan pahit ini. Aku harus bangkit, ya harus!"
Langit malam itu tampak kelabu dan gelap pekat. Hujan turun deras sejak petang, disertai petir yang menyambar-nyambar, membuat suasana rumah terasa mencekam. Di dalam rumah yang cukup luas itu, hanya ada dua sosok yang sama-sama canggung: Tama dan Kemala.
Erina belum juga pulang sejak siang tadi. Katanya ia sedang ke Puncak, bertemu Mang Asep-orang kepercayaan almarhum ayah Kemala-untuk membicarakan kelanjutan hak waris, dan segala urusan keuangan Kemala yang kini dititipkan pada mereka. Sinyal di sana payah, sehingga ponsel Erina pun sulit dihubungi.
Di ruang tengah, Tama duduk gelisah. Remote TV ada di tangannya, namun layar televisi hanya menampilkan tayangan berita yang sama berulang-ulang. Matanya tidak fokus. Pikiran pria berusia hampir empat puluh itu terus melayang ke dapur, tempat Kemala sedang memasak mie instan.
Sebelumnya, Tama sudah membelikan pizza untuk gadis itu, berharap bisa sedikit mencairkan suasana. Tapi yang ada malah sebaliknya.
Kemala tampak kikuk saat melihat makanan itu. Ia menatap pizza kotak besar di meja makan dengan ekspresi bingung. Dengan hati-hati, ia memegang sepotong dan mencoba menggigitnya, namun wajahnya langsung mengernyit.
"Om, ini rasanya aneh. Kejunya lengket banget... kayak... plastik," gumamnya pelan.
Klaim
Tama yang sedang menuangkan minuman tercekat mendengarnya. Ia hanya bisa tersenyum kaku. "Itu mozzarella, Mala. Keju yang memang meleleh gitu kalau panas."
"Oooh..." Kemala mengangguk, tapi tidak menyentuhnya lagi. "Hehe... Maklum di kampung nggak ada, Om. Aku gak biasa makan makanan itu," ujar Kemala apa adanya.
"Kamu itu begitu rendah diri, Mala. Padahal kamu bisa beli apa aja yang kamu mau. Kamu juga bisa bergaul dengan teman dengan status sosial tinggi. Tapi kamu memilih menjadi gadis sederhana. Kamu bahkan bisa masuk universitas Indonesia, tapi malah pilih disini karena alesan gak mau tinggalin kota Bogor."
Kemala tersenyum malu. "Sebenarnya bukan karena gak mau, Om. Tapi karena gak pede aja. Kalau masuk UI, takut otakku gak nyampe," ujarnya.
Tama terkekeh, senang melihat Kemala tersenyum seperti itu.
Setelah itu, ia berlalu ke dapur. Entah karena sungkan, atau karena memang benar-benar lapar, Kemala akhirnya merebus mie instan sendiri. Ia lebih nyaman dengan makanan sederhana yang bisa ia masak sendiri.
Tama memandangi jam dinding. Sudah hampir pukul sembilan malam. "Aaahh, Erina kapan pulang sih? Ck, mana hujan, gluduk lagi," des4hnya pelan, menggerutu. Matanya memandang keluar jendela, di mana kilatan petir menyapu langit dengan terang menyilaukan.
Klaim
Tama berdiri, hendak melangkah ke arah dapur. Tapi kakinya urung melangkah. Ia ragu.
"Kalau aku ke sana, nanti kelihatan kepo... Atau malah bikin dia makin canggung..." batinnya berkecamuk.
Akhirnya, ia memilih masuk ke kamarnya dan merebahkan diri. Suara hujan semakin keras menghantam atap. Petir terdengar kian dekat. Hatinya makin tak tenang. Ia menggenggam ponselnya, mencoba lagi menelepon Erina. Masih tidak tersambung. Bahkan pesan singkat pun centangnya hanya satu.
Tama menghela napas berat. Baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba...
"BRUKKK!!"
Seketika itu juga listrik padam. Rumah jadi gelap gulita.
Dan beberapa detik kemudian...
Terdengar jeritan dari arah dapur. Suara Kemala.
Dengan cepat, Tama bangkit. Ia mengaktifkan senter dari ponselnya dan berlari menuju dapur. Jantungnya berdebar panik. Kilatan petir di luar membuat cahaya sesekali masuk dari jendela, namun tak cukup membantu penerangan.
"Kemala?!"
Ia menemukan gadis itu berdiri di dekat kompor, tubuhnya gemetar, tangan masih memegang panci kecil berisi mie yang baru saja matang. Air matanya meleleh, dan wajahnya pucat pasi.
"Kemala, kenapa? Kamu baik-baik saja?" tanya Tama, mendekatinya cepat. Ia menyorot wajah gadis itu dengan senter, cemas setengah mati.
"Aku takut, Om... Aku takut..." suara Kemala bergetar, lirih namun menusuk hati. Matanya yang basah memancarkan kepanikan seperti anak kecil yang tersesat.
Sebelum Tama sempat berkata lagi, gadis itu langsung menghambur ke pelukannya. Tangannya melingkar erat di pinggang Tama, wajahnya menunduk dan tertimbun di dada pria itu. Ia tergugu dalam isakan yang pelan tapi nyata. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena benar-benar ketakutan.
Deg.
Tama mematung. Nafasnya tercekat. Pelukan itu terasa aneh. Lagi-lagi Tama merasakan desiran halus yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
Ia tahu seharusnya ia segera melepaskan diri. Ia tahu, ini tidak pantas. Tapi tubuhnya justru kaku, tak bisa bergerak. Ia bisa mencium aroma shampo yang masih menempel di rambut gadis itu. Ia bisa merasakan detak jantung Kemala yang berdegup kencang. Wanita itu benar-benar sangat ketakutan.
"Mala..." bisik Tama pelan. Suaranya serak. Ia mengangkat satu tangan, ragu-ragu, namun akhirnya memegang punggung Kemala, mencoba menenangkannya. "Sudah... tenang ya. Gak ada apa-apa kok."
"Aku takut, Om. Aku sendirian. Aku enggak biasa di tempat gelap gini. Aku takut," ucapnya dengan pelukan yang semakin erat. Pelukan yang tanpa disadari telah membangunkan lagi sesuatu milik Tama dibawah sana.
Tama menelan ludahnya susah payah. Keningnya berkeringat, tangannya mengusap punggung gadis itu.
Akal sehat telah mengalahkan segalanya. Dan entah, apakah malam ini ia akan berhasil lolos dari sebuah godaan yang disebabkan pikiran nakalnya?
'Tahan Tama, plis tahan. Jangan sampai has-rat li4rmu merusak gadis kampung ini. Duh, gimana nih. Tapi momennya pas sekali, aargghh aku benci pikiran nakal ini!'