Sinopsis:
Liora, seorang gadis muda, dipaksa menjadi pengantin pengganti tanpa mengetahui siapa calon suaminya. Namun saat tirai pernikahan terbuka, ia terseret ke dalam Azzarkh, alam baka yang dikuasai kegelapan. Di sana, ia dinikahkan dengan Azrakel, Raja Azzarkh yang menakutkan, dingin, dan tanpa belas kasih.
Di dunia tempat roh jahat dihukum dengan api abadi, setiap kata dan langkah bisa membawa kematian. Bahkan sekadar menyebut kata terlarang tentang sang Raja dapat membuat kepala manusia dipenggal dan digantung di gerbang neraka.
Tertawan dalam pernikahan paksa, Liora harus menjalani Upacara Pengangkatan untuk sah menjadi selir Raja. Namun semakin lama ia berada di Azzarkh, semakin jelas bahwa takdirnya jauh lebih kelam daripada sekadar menjadi istri seorang penguasa neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 2
Liora berdiri kaku di depan cermin tua yang besar, bingkainya terbuat dari kayu jati hitam yang retak di sana-sini, seolah siap runtuh setiap saat. Pantulan dirinya menatap balik, usia yang baru menginjak 20 tahun, bukan merayakan ulang tahun, melainkan menjadi boneka hidup yang dipaksa berdandan. Gaun merah menyala membalut tubuhnya, warnanya terlalu mencolok, seperti genangan darah segar yang menempel di kulit. Bedak tebal memutihkan wajahnya hingga menyerupai mayat yang baru ditarik dari liang. Bibirnya dipulas merah menyala, terlalu tajam, terlalu kaku.
Ia menghela napas panjang, berat, seolah paru-parunya menolak menerima udara malam.
Cantik?
Tidak. Ia bahkan tak bisa mengenali dirinya sendiri. Lebih mirip badut pesta ulang tahun daripada pengantin.
“Kasihan sekali kau, Liora,” bisiknya pada bayangan yang menatap balik.
Air mata menumpuk di sudut matanya, namun ia buru-buru menyekanya. Malam ini, ia dilarang terlihat lemah. Setiap kelemahan akan dijadikan bahan tertawaan oleh Serena, saudara tiri yang selama ini membuat hidupnya seperti di neraka.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan keras membuat Liora terloncat kecil.
“Eh, udah siap atau belum?” suara Serena terdengar dari balik pintu, penuh nada mengejek.
Liora menghela napas, mencoba menenangkan hatinya. “Sebentar lagi,” jawabnya singkat.
Pintu dibuka kasar, tanpa menunggu izin. Serena melangkah masuk dengan gaun tidur tipis, rambutnya tergerai acak. Matanya menyapu Liora dari atas sampai bawah, lalu sekejap kemudian tawa keras meledak.
“Hahahaha! Astaga, kau serius? Kau lebih cocok jadi badut keliling ketimbang pengantin!”
Liora menggenggam ujung gaunnya erat, menahan amarah. “Mau aku terlihat seperti apa pun, itu bukan urusanmu.”
Serena mendekat, wajahnya menempel di telinga Liora, suaranya berbisik tapi penuh racun. “Yang jelas, hanya kau yang akan dinikahkan malam ini. Aku? Aku bebas. Aku selamat.”
Liora menahan diri untuk tidak menampar wajahnya. Dadanya berdegup keras. Ia memilih melangkah keluar, meninggalkan Serena yang masih tertawa terbahak-bahak.
Ruang tengah rumah sudah dipenuhi orang. Lilin-lilin diletakkan di meja, cahaya temaramnya membuat bayangan wajah mereka bergerak-gerak, semakin menyeramkan. Nyai Sasmita duduk di kursi besar, tongkat hitamnya bersandar di lutut. Wajah keriputnya penuh wibawa, matanya tajam, seolah mampu menembus jiwa. Ratna berdiri di sampingnya, tersenyum miring, seperti menahan tawa melihat penampilan Liora. Serena duduk bersila di lantai, puas melihat kakaknya berjalan seperti boneka rusak.
Darma hanya duduk di sudut, wajahnya suram, tapi ia tetap diam. Diam yang lebih menyakitkan daripada makian.
“Kamu sudah siap?” suara Nyai Sasmita berat, menusuk telinga.
“Sudah.” Jawaban Liora pendek, hambar.
Ratna terkikik kecil. “Kenapa cemberut begitu? Seharusnya kau bahagia. Malam ini kau akan jadi… ratu.” Nada suaranya penuh sindiran.
Liora menunduk, menahan tangis yang hampir pecah.
Nyai Sasmita mengetuk tongkatnya ke lantai. Tok! Tok! Suara itu bergema. “Sebentar lagi tengah malam. Kita harus ke tempat itu sekarang. Kau harus sudah berada di dalam sebelum jam dua belas.”
Liora mengangkat wajah. “Tempat itu? Tempat apa?”
Tak ada jawaban. Ratna hanya tersenyum samar. Serena menahan tawa. Darma tetap membisu.
Hati Liora menciut. Ia ingin bertanya lagi, tapi tatapan tajam Nyai Sasmita membuatnya bungkam.
Tanpa protes, rombongan bergerak keluar rumah. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Jalan desa diterangi lilin yang ditancapkan di tanah. Bayangan api bergerak-gerak, menari di wajah orang-orang desa yang sudah berkumpul di sisi jalan.
Bisikan-bisikan terdengar dari kerumunan.
“Itu dia, pengantin, pengganti…”
“Dia bukan darah asli desa ini. Apa dia akan diterima?”
“Kalau ditolak, celaka bagi kita semua…”
Liora menunduk. Setiap bisikan menusuk jantungnya, membuat langkahnya makin berat.
Setelah perjalanan panjang, mereka sampai di depan sebuah rumah tua di pinggir hutan. Rumah itu sudah lama tak ditinggali. Kayunya lapuk, jendelanya berderit pelan tertiup angin. Atapnya hampir roboh, namun malam ini rumah itu dipenuhi ribuan lilin yang menyala, seakan sengaja memanggil sesuatu yang tak terlihat.
Liora menelan ludah. Rumah itu terlihat seperti langsung keluar dari film horor. Bulunya meremang, tubuhnya menggigil.
Ia menoleh pada ayahnya, berbisik lirih. “Kenapa kita ke sini, Ayah?”
Darma tetap diam, matanya menghindar. Ratna menepuk bahu Liora dengan senyum tipis. “Kau akan tahu sebentar lagi.”
Serena mendekat, berbisik dengan nada puas. “Semoga kau kuat melihat calon suamimu.”
Liora bergetar. “Siapa dia?”
Serena hanya tersenyum tanpa menjawab.
Nyai Sasmita menghentikan langkah, berdiri tegak dengan tongkatnya. “Kau harus masuk sendirian.”
Liora terperangah. “Sendiri? Untuk apa?”
“Iya. Cepat! Waktu hampir habis!” suara Nyai Sasmita menggelegar.
Liora menoleh sekali lagi pada ayahnya. “Ayah…” suaranya lirih, penuh harap.
Namun Darma tidak menjawab. Ia bahkan memalingkan wajah, seolah tak mau mengakui darah dagingnya sendiri.
Air mata Liora jatuh, membasahi pipinya. Ia menggertakkan gigi, lalu dengan langkah gemetar ia maju, mendekati pintu kayu tua. Pintu itu berderit pelan saat disentuh, seperti mengeluh, seperti mengundang.
Dengan nafas tercekat, ia melangkah masuk.
Di dalam, kegelapan menyambut. Ruangan berdebu, bau kayu lapuk dan tanah lembap menusuk hidungnya. Lilin-lilin kecil menyala di beberapa sudut, namun sinarnya redup, tak cukup untuk menyingkirkan bayangan.
TING! TING! TING!
Liora terloncat. Suara jam dinding emas berdentang, nyaring memecah keheningan. Jarumnya menunjuk tepat jam dua belas.
Saat itu juga, angin kencang bertiup, membuat semua lilin padam serentak. Kegelapan pekat menelan ruangan.
Tiba-tiba terdengar Lioran gamelan lirih, menyerupai nyanyian arwah, menggaung dari kegelapan. Pintu kayu di dalam ruangan berderak perlahan, seolah ada sesuatu yang memaksanya terbuka.
Liora meraba-raba, tangannya menyentuh udara kosong. “Kenapa harus mati lilin sekarang sih?!” suaranya bergetar ketakutan, bulunya meremang.
Lalu kakinya tersandung sesuatu, ia jatuh menabrak tubuh keras.
“Aduh!” Liora meringis. Ia mendongak dan matanya membelalak.
Di depannya, sosok berdiri. Tinggi, berambut panjang terurai, wajahnya samar dalam kegelapan. Lilin-lilin yang padam tiba-tiba menyala lagi satu per satu, seperti ada tangan gaib yang menyalakan. Cahaya itu memperlihatkan sosok tersebut lebih jelas.
Seorang laki-laki berwajah pucat, mata hitam pekat bagai jurang tak berdasar, rambut panjang dikuncir menjuntai sampai pinggang. Pakaian hitam pekat membalut tubuhnya.
Liora membeku. “Ka… kamu… siapa?” suaranya nyaris tak terdengar.
Sosok itu tersenyum tipis. “Aku penghuni alam gaib... Dan, aku suamimu..”
Liora tercekik napasnya. “Su… suami? Penghuni alam gaib? Kau hantu? Ti....tidak mungkin!"
Pria itu hanya menatapnya, matanya berkilat aneh. Liora ingin berteriak, tapi suaranya lenyap. Tubuhnya gemetar hebat, pandangannya berkunang. Dunia terasa berputar.
BRUKK!
Tubuhnya ambruk ke lantai. Gelap.
Saat kesadarannya memudar, samar-samar ia merasakan tubuhnya diangkat. Ia tak tahu apakah itu nyata atau hanya mimpi.
krn di dunia nyata kamu g diperhatikan, g disayang
apa mungkin bgmn cara'a spy kembali ke dunia sebenar'a, bgtukah thor🤭💪