Terlahir dengan sendok emas, layaknya putri raja, kehidupan mewah nan megah serta di hormati menjadikanku tumbuh dalam ketamakan. Nyatanya, roda kehidupan benar-benar berputar dan menggulingkan keluargaku yang semula konglomerat menjadi melarat.
Kedua orang tuaku meninggal, aku terbiasa hidup dalam kemewahan mulai terlilit hutang rentenir. Dalam keputusasaan, aku mencoba mengakhiri hidup. Toh hidup sudah tak bisa memberiku kemewahan lagi.
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
Aku bertransmigrasi ke dalam Novel terjemahan "Rahasia yang Terlupakan." Milik Mola-mola, tokoh ini akan mati di penggal suaminya sendiri. Aku tidak akan membiarkan alur cerita murahan ini berlanjut, aku harus mengubah alur ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. kucing?
Aku menggerakkan tubuh. Mataku sulit terbuka. Bahkan tubuhku terasa amat sakit. Apa-apaan ini, dalam alam kematian pun rasanya masih sangat menyakitkan. Truk sialan! Terlepas suara aneh kemarin, kepalaku menjadi pening.
Aku menggerakkan kepalaku, rasanya kaku. Ketika tubuhku terguling ke samping, perasaan dingin menyelimuti tubuhku, seolah tengah duduk diatas awan berair, badanku basah. Ada bau rumput beserta semilir angin sejuk. Samar-samar terdengar suara kicauan burung yang menenangkan.
Aku mencoba membuka mataku lagi, cahaya terang langsung menyalak ke mataku.
Oh? Ada pohon besar diatas sana, dan aku benar-benar terbaring di atas rumput. Surga? Mana mungkin aku masuk surga.
Pohon rimbun. Daun-daun yang lebat namun tak membuat langit benar-benar tertutup. Cahaya matahari masih dapat menerobos sela. Semak belukar di mana-mana. Daun-daun kering menjadi karpet pembatas antara tanah. Menumpuk cukup tebal. Sehingga bau daun busuk tengik tercium. Suara lamun-lamun berbagai macam burung yang beradu kemahiran berkicau. Grasak-grusuk sesuatu yang bergerak di semak-semak mendominasi.
Apakah ini sebuah hutan? Apakah preman dan rentenir itu yang membuangku ke hutan? Berani-beraninya mereka!
Keanehan belum berakhir. Ketika aku ingin mengusap wajah, sekedar mengucek mata untuk memastikan jikalau ini adalah alam mimpi. Namun, tanganku berbulu lebat. Seperti Bulu-bulu lembut milik karpet nyonya Moira—mantan pembantuku yang tempo hari menolongku di rumahnya. Aku memajukan tanganku, masih dengan posisi duduk. Sehingga aku bisa melihat bulu-bulu perak yang memenuhi kulit tangan.
APA-APAAN INI!
Aku segera bangkit. Tetapi kedua tangan dan kakiku berpijak ke tanah. Seperti hewan berkaki empat. Bahkan ketika aku ingin mengeluarkan suara, hanya suara 'meongan' yang terdengar. Oh, baiklah. Apa mimpi terasa senyata ini?
Aku bangkit, lantas melangkah dengan kedua, keempat total tangan dan kakiku. Melangkah melewati pohon besar itu dengan langkah tertatih, bak balita. Aku merasakan kesegaran alam, kelembapan tanah, dan kehijauan daun sepanjang mataku bisa melihat. Aku terus berjalan, entah ke mana, yang penting aku bisa menikmati mimpi konyol ini.
Barangkali, suatu hari nanti aku bisa pergi ke alam terbuka seperti ini, lagi.
Aku menemukan anak sungai kecil. Alirannya sangat tenang dan airnya jernih. Tertarik. Aku pun mendekatinya. Air memantulkan gambar diriku.
Apa? Seekor kucing tengah berdiri, di tempatku!
Oke, aku harus tenang dulu. Aku mulai mundur dan terduduk, dengan tangan berbuluku yang condong ke depan. Dadaku mulai sesak dan kepalaku pening menalar kejadian barusan. Sekali lagi, sekali lagi aku memajukan tanganku. Berusaha mengucek mata dan aku malah menjilati tanganku! Muntah saja aku rasanya!
Kepalaku sekarang sangat sakit. Lebih sakit ketimbang kali pertama aku bangun tadi. Ada sesuatu yang bergerak di belakang tubuhku. Itu ekor berbulu, berwarna perak abu-abu. Astaga, ini pasti kutukan!
Aku mendapat keberanian lagi untuk menengok air. Dan, lagi-lagi kucing perak itu yang berada di pantulan. Baiklah, kakiku mulai lemas lagi. Aku memilih duduk disana, tepat memandangi air. Ketika aku ingin bersuara, hanya ada geraman seekor kucing yang terdengar. Begitu pula dengan tanganku dan kaki, serta ekor yang berbulu membuatku ingin menjerit saja.
Apa ini, aku berubah menjadi seekor kucing? Demi apapun! Kenapa aku menjalani kutukan menyeramkan.
Bulunya lebat nan panjang, bergradasi perak dan abu-abu tanpa belang. Matanya hijau sedikit gelap seperti langit malam. Cuping telinga agak panjang meruncing seperti kelelawar. Dua taring panjang, lengkap beserta paket cakar yang kuat dan tajam. Dan, bagian paling buruknya adalah, aku tidak memakai pakaian!
Oke, aku akui ini hanya mimpi, Bukan? Aku tertabrak truk. MIMPIKU JUGA IKUT SAKIT. Mana mungkin aku menjelma menjadi seekor kucing!
'Meongg....' ups. Menyebalkan, kenapa suara ini muncul di mulutku, heh!
Aku mendengar suara banyak langkah kaki dari arah semak belukar di sebelah sungai yang lain. Berjaga-jaga, aku mundur beberapa langkah dan mencari tempat perlindungan. Suara itu semakin mendekat, seperti suara segerombolan orang dan suara tapak kuda.
Sebuah anak tombak meluncur ke sungai.
"Grand Duke luar biasa, ada ikan yang tertancap!" Seru seseorang.
Entah berapa banyak orang di hulu sana, tapi yang paling menonjol adalah orang-orang yang tengah menunggangi kuda. Mereka seperti berkah Tuhan yang bersinar dibawah cahaya matahari, terlalu jauh untuk mengenang wajahnya, tetapi dari siluetnya saja mereka sudah terlihat keren. Tentu saja, para bangsawan selalu punya privilege.
"Ikan itu berukuran kecil, tinggalkan saja," Titah salah seorang penunggang kuda.
Sombong sekali! Mengapa membuang-buang makanan?
Mereka meninggalkan sungai. Perutku masih lapar, aku mendekati sungai dan melihat ikan-ikan itu. Sepertinya enak. Aku melompat melewati batu-batuan yang tidak terendam air. Rupanya aku mahir juga menggunakan empat kaki. Ketika sampai pada titik dimana ikan itu tertancap tombak, aku mulai mengigit ekor ikan dan mencoba melepasnya dari anak tombak. Lumayan sulit karena tombaknya menancap pada batuan sungai, kepalaku masuk sedikit ke dalam air dan berhasil mendapatkan dua ikan segar.
Perasaan ini, sama ketika aku mendapatkan sepotong roti dari toko kue. Perjuangan kecil ini mengingatkanku pada masa jaya, dimana aku hanya tinggal duduk tanpa bersusah payah mendapatkan sesuatu.
Setelah membawanya ke daratan, aku hanya memandangi ikan itu. Apakah aku harus memasaknya dulu? Atau dimakan mentah?
'Meongg.... '
"Oh, sepertinya ada buruan cantik."
semangat 😊
mampir juga ya ke ceritaku..
kasih saran juga..makasih