NovelToon NovelToon
Jodoh Tak Akan Kemana

Jodoh Tak Akan Kemana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:363
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Asillah, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, selalu percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Ia tidak terlalu memusingkan urusan percintaan, fokus pada karirnya sebagai arsitek di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Namun, di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, pertanyaan tentang "kapan menikah?" mulai menghantuinya. Di sisi lain, Alfin, seorang dokter muda yang tampan dan idealis, juga memiliki pandangan yang sama tentang jodoh. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Jakarta, membantu orang-orang yang membutuhkan. Meski banyak wanita yang berusaha mendekatinya, Alfin belum menemukan seseorang yang benar-benar cocok di hatinya. Takdir mempertemukan Asillah dan Alfin dalam sebuah proyek pembangunan rumah sakit baru di Jakarta. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang desain rumah sakit, yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit. Namun, di balik perbedaan itu, tumbuhlah benih-benih cinta yang tak terduga. Mampukah Asillah dan Alfin mengatasi perbedaan mereka dan menemukan cinta sejati? Ataukah jodoh memang tidak akan lari ke mana, namun butuh perjuangan untuk meraihnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 Aroma kopi dan kritik pedas di jantung jakarta

Jakarta, 6:30 pagi. Mentari malu-malu menyembul di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Asillah, dengan rambut dicepol asal dan kacamata bertengger di hidung, sudah berkutat di depan layar komputernya. Desain Rumah Sakit Sejahtera masih jauh dari kata selesai, dan tenggat waktu semakin mendekat.

Asillah menyesap kopi hitamnya yang pahit, berharap kafein bisa mengusir kantuk yang menyerang. Ia sudah begadang semalaman, mencoba menyempurnakan setiap detail desain. Baginya, rumah sakit bukan hanya sekadar bangunan, tapi juga tempat penyembuhan, tempat harapan tumbuh, dan tempat kehidupan baru dimulai. Ia ingin menciptakan ruang yang nyaman, aman, dan menenangkan bagi pasien dan tenaga medis.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ibunya, seperti biasa, menelepon di pagi hari untuk menanyakan kabarnya dan mengingatkannya untuk tidak lupa makan.

"Assalamualaikum, Nak. Sudah bangun? Jangan lupa sarapan, ya. Ibu sudah masakin nasi goreng kesukaanmu," suara ibunya terdengar lembut di seberang sana.

"Waalaikumsalam, Bu. Sudah bangun, kok. Ini lagi kerja. Nanti Asillah sarapan di kantor saja," jawab Asillah sambil tersenyum. Ia tahu, ibunya selalu khawatir tentang dirinya.

"Kerja terus. Kapan mikirin jodoh? Umurmu itu sudah bukan ABG lagi, Nak," sindir ibunya dengan nada bercanda.

Asillah menghela napas. Pertanyaan itu lagi. Ia sudah bosan mendengarnya. "Ibu, Asillah kan sudah bilang, jodoh itu urusan Allah. Kalau sudah waktunya, pasti datang sendiri," jawab Asillah dengan nada sedikit kesal.

"Iya, Ibu tahu. Tapi, kamu juga harus usaha, Nak. Jangan cuma kerja saja. Coba deh, ikut arisan atau kumpul-kumpul sama teman. Siapa tahu ketemu jodoh di sana," nasihat ibunya.

"Iya, Bu, iya. Nanti Asillah pikirkan. Sudah ya, Bu. Asillah mau lanjut kerja dulu. Assalamualaikum," ucap Asillah mengakhiri percakapan.

Setelah menutup telepon, Asillah menghela napas panjang. Ia tahu, ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya. Tapi, ia merasa tertekan dengan tuntutan untuk segera menikah. Baginya, menikah bukan hanya sekadar status, tapi juga komitmen seumur hidup. Ia tidak ingin terburu-buru dan salah memilih pasangan.

Asillah kembali fokus pada pekerjaannya. Ia membuka kembali file desain rumah sakit dan mulai meneliti setiap detail. Ia ingin memastikan bahwa desainnya memenuhi semua standar dan kebutuhan.

Pukul 08:00, Asillah bergegas menuju kantor. Ia terlambat karena terjebak macet di jalan Thamrin. Jakarta memang tidak pernah tidur, selalu ramai dan penuh dengan aktivitas.

Sesampainya di kantor, Asillah langsung menuju ruang rapat. Timnya sudah menunggu dengan wajah cemas.

"Maaf, semuanya, saya terlambat," ucap Asillah sambil mengatur napas.

"Tidak apa-apa, Sil. Kita juga baru mulai," jawab Rian, sahabat sekaligus rekan kerjanya.

Rapat dimulai dengan presentasi desain dari tim arsitek. Asillah menjelaskan konsep desain rumah sakit yang modern, ramah lingkungan, dan mengutamakan kenyamanan pasien. Ia menyoroti penggunaan material alami, pencahayaan alami, dan tata ruang yang fleksibel.

"Kami ingin menciptakan rumah sakit yang tidak terasa seperti rumah sakit. Tempat yang nyaman dan menenangkan bagi pasien dan keluarga," ujar Asillah dengan penuh semangat.

Namun, saat sesi tanya jawab, seorang pria berjas dokter mengajukan pertanyaan yang membuat Asillah sedikit kesal. Pria itu adalah Dokter Alfin, kepala bagian pelayanan medis di Rumah Sakit Sejahtera.

"Maaf, Mbak Asillah, tapi menurut saya desain ini kurang memperhatikan aspek fungsionalitas rumah sakit. Misalnya, ruang tunggu pasien terlalu kecil, padahal kita tahu pasien di Jakarta itu banyak. Kemudian, penempatan ruang UGD terlalu jauh dari pintu masuk, itu akan menyulitkan proses evakuasi pasien," ujar Dokter Alfin dengan nada kritis namun tetap sopan.

Asillah mengerutkan kening. Ia merasa desainnya sudah dipikirkan matang-matang, namun pria ini dengan mudahnya mengkritik tanpa memberikan solusi yang jelas.

"Maaf, Dok, tapi kami sudah mempertimbangkan semua aspek. Ruang tunggu memang tidak terlalu besar, tapi kami menyediakan fasilitas lain seperti taman dan area bermain anak agar pasien tidak merasa bosan. Untuk penempatan ruang UGD, kami sudah berkoordinasi dengan tim medis dan mempertimbangkan jalur evakuasi yang paling efisien," jawab Asillah dengan nada sedikit defensif.

"Tapi, Mbak, fasilitas itu tidak akan berguna kalau pasiennya tidak nyaman karena terlalu penuh sesak. Dan jalur evakuasi yang efisien itu seperti apa? Apakah sudah disimulasikan dengan kondisi riil?" balas Dokter Alfin lagi dengan tatapan tajam.

Asillah merasa darahnya mendidih. Ia tidak suka dikritik di depan banyak orang, apalagi oleh orang yang baru dikenalnya. Namun, ia berusaha menahan emosinya dan menjawab dengan tenang.

"Oke, Dok, terima kasih atas masukannya. Kami akan mempertimbangkan kembali desainnya dan melakukan simulasi evakuasi. Kami akan mengirimkan revisi desain secepatnya," ucap Asillah dengan nada datar.

Setelah rapat selesai, Asillah merasa sangat kesal. Ia merasa Dokter Alfin sengaja mencari masalah dengannya.

"Sil, sabar ya. Dokter Alfin itu memang begitu. Dia perfeksionis dan selalu ingin yang terbaik untuk pasien," kata Rian mencoba menenangkan Asillah.

"Iya, aku tahu. Tapi, caranya menyampaikan kritik itu agak menyebalkan. Dia seperti meremehkan kerja kerasku," jawab Asillah sambil menghela napas.

"Sudahlah, Sil. Jangan dipikirkan. Anggap saja ini sebagai tantangan. Buktikan bahwa desainmu memang yang terbaik," kata Rian menyemangati.

Asillah mengangguk. Ia akan membuktikan kepada Dokter Alfin bahwa ia adalah arsitek yang profesional dan kompeten. Ia akan merevisi desainnya dan memastikan bahwa semua masukan dari Dokter Alfin dipertimbangkan dengan baik.

Namun, di balik kekesalannya, Asillah juga merasa tertarik dengan Dokter Alfin. Pria itu memiliki aura yang berbeda, karismatik dan cerdas. Ia penasaran, siapa sebenarnya Dokter Alfin ini? Mengapa ia begitu peduli dengan rumah sakit? Dan mengapa ia begitu kritis terhadap desainnya?

Asillah memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Dokter Alfin. Ia membuka profil LinkedIn Dokter Alfin dan mulai membaca informasi tentang pria itu. Ia menemukan bahwa Dokter Alfin adalah lulusan terbaik dari fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki banyak penghargaan.

Asillah semakin penasaran dengan Dokter Alfin. Ia ingin mengenalnya lebih dekat. Namun, ia juga takut. Ia takut akan ditolak, atau lebih buruk lagi, ia takut jatuh cinta pada pria yang salah.

Setelah rapat yang cukup menegangkan itu, Asillah memilih untuk menyendiri di kedai kopi favoritnya, "Kopi Kenangan", yang terletak tak jauh dari kantornya di kawasan Kuningan. Aroma kopi yang menenangkan seolah menjadi pelarian sementara dari hiruk pikuk pikiran yang berkecamuk di benaknya. Ia memesan iced latte dengan extra shot espresso, berharap bisa mendapatkan suntikan energi tambahan.

Sambil menunggu pesanannya, Asillah membuka kembali file desain Rumah Sakit Sejahtera di laptopnya. Ia mencoba melihat desainnya dari sudut pandang Dokter Alfin. Mungkin ada benarnya juga kritikan pria itu. Sebagai seorang arsitek, ia memang fokus pada estetika dan kenyamanan, tapi terkadang melupakan aspek fungsionalitas yang sangat penting dalam sebuah rumah sakit.

Ia mulai mencatat poin-poin yang perlu direvisi: ukuran ruang tunggu, penempatan ruang UGD, sirkulasi udara, dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Ia menyadari bahwa ia harus lebih terbuka terhadap masukan dari orang lain, terutama dari para tenaga medis yang akan menggunakan rumah sakit tersebut setiap hari.

"Ini, Mbak, iced latte-nya," suara seorang barista membuyarkan lamunannya.

Asillah tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia menyesap kopinya perlahan, merasakan sensasi dingin dan pahit yang menyegarkan. Sambil menikmati kopinya, ia membuka aplikasi Instagram di ponselnya. Ia melihat foto-foto teman-temannya yang sedang liburan, menghadiri pernikahan, atau sekadar berkumpul bersama keluarga.

Tiba-tiba, ia teringat akan percakapannya dengan ibunya pagi ini. Pertanyaan tentang jodoh kembali mengusik pikirannya. Ia memang belum terlalu memikirkan urusan percintaan, tapi ia juga tidak bisa memungkiri bahwa ia merasa sedikit iri melihat teman-temannya yang sudah menemukan pasangan hidup.

Ia bertanya-tanya, apakah ia terlalu fokus pada karirnya hingga melupakan hal-hal penting lainnya dalam hidup? Apakah ia terlalu idealis dalam mencari pasangan? Apakah ia akan selamanya sendiri?

Asillah menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif itu. Ia memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya dan menyerahkan urusan jodoh kepada Tuhan. Ia percaya bahwa jika memang sudah waktunya, ia pasti akan bertemu dengan orang yang tepat.

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Ia merindukan kehangatan, kasih sayang, dan kebersamaan dengan seseorang yang spesial. Ia ingin berbagi cerita, tertawa bersama, dan menghadapi tantangan hidup bersama.

Sambil termenung, Asillah tidak sengaja melihat sebuah postingan di Instagram dari Dokter Sarah, seorang dokter senior di Rumah Sakit Sejahtera. Dokter Sarah adalah teman dekat Dokter Alfin. Di postingan itu, Dokter Sarah mengunggah foto dirinya bersama Dokter Alfin sedang menikmati makan siang di sebuah restoran di kawasan Menteng.

Asillah terkejut melihat foto itu. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia merasa cemburu. Ia tidak tahu mengapa ia merasa cemburu. Ia bahkan belum mengenal Dokter Alfin dengan baik.

Ia mencoba menepis perasaannya dan menganggapnya hanya sebagai rasa penasaran biasa. Tapi, ia tidak bisa memungkiri bahwa ia tertarik dengan Dokter Alfin. Pria itu memiliki sesuatu yang membuatnya penasaran.

Asillah memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Dokter Alfin. Ia ingin tahu apa yang membuat pria itu begitu peduli dengan rumah sakit. Ia ingin tahu apa yang membuatnya begitu kritis terhadap desainnya. Dan yang paling penting, ia ingin tahu apakah pria itu sudah memiliki kekasih.

Asillah menutup laptopnya dan menghabiskan kopinya dengan cepat. Ia bergegas kembali ke kantor, dengan tekad untuk merevisi desain rumah sakit dan membuktikan kepada Dokter Alfin bahwa ia adalah arsitek yang profesional dan kompeten.

Namun, di balik tekadnya itu, terselip sebuah harapan kecil. Ia berharap, dengan bekerja sama dengan Dokter Alfin, ia bisa mengenalnya lebih dekat dan mungkin, menemukan cinta yang selama ini ia cari.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!