Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Tanda yang Tak Biasa
Langit kota kecil tempatku berasal biasanya lebih biru, lebih terbuka. Tapi hari ini langit itu seperti memudar, tertutup awan tipis yang tak jelas bentuknya. Seperti perasaanku pagi ini.
Aku, Wina Agustina, berdiri di gerbang megah kampus Universitas Wira Dharma dengan koper di satu tangan dan ransel hampir robek di punggung. Aku sudah melewati belasan jam perjalanan kereta, dua kali ganti angkot, dan sekarang... aku harus menghadapi hal yang lebih menakutkan: OSPEK.
Ratusan mahasiswa baru berkumpul di lapangan tengah. Kami diberi tanda pengenal karton, pita merah, dan topi kardus lucu yang rasanya tidak pantas untuk manusia berusia 18 tahun. Teriknya matahari mencubit kulit, dan suara panitia ospek menggema melalui megafon yang suaranya seperti berasal dari dunia lain.
“Baris sesuai kelompok! Kelompok tiga ke kanan!” teriak seorang kakak senior, suaranya nyaring tapi jelas.
Aku mencari kelompokku dengan sedikit panik. Lalu, di tengah kerumunan, seseorang berdiri sedikit menjauh. Pria itu mengenakan jaket kampus warna navy, dengan nama kecil di dadanya: FATUR. Ia berdiri dengan posisi santai, tangan di saku, seolah dunia di sekelilingnya tidak terlalu penting. Matanya... memandangku.
Seketika, dunia terasa melambat.
Dia mengangguk kecil padaku.
Entah kenapa, aku berjalan ke arahnya. Dia tidak bicara, hanya memutar tubuh dan melangkah perlahan, seolah yakin aku akan mengikutinya.
“Wina Agustina?” tanyanya saat kami sampai di sisi selasar gedung tua.
Aku mengangguk, gugup. “Iya. Aku baru... eh, baru sampai tadi pagi.”
Dia tersenyum, samar. “Kamu sensitif, ya.”
Aku mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
Alih-alih menjawab, ia menunjuk daftar kertas yang ditempel di papan pengumuman. “Kamu di kelompok tiga. Aku pendampingnya.”
“Nama kakak... Fatur ya?”
Dia menoleh. “Ale. Tapi ya, teman-temanku biasa manggil aku Fatur juga.”
Sebelum aku bisa bertanya lebih banyak, suara keras dari panitia lain memanggil kelompok tiga untuk berkumpul. Aku buru-buru kembali ke barisan, menoleh sesekali... tapi dia tidak ada.
Kosong. Tidak ada siapa pun di sana.
Kupicingkan mata, mencoba memastikan lagi. Mungkin dia hanya beringsut ke samping atau tertelan kerumunan panitia lain. Tapi tidak. Tempatnya berdiri tadi—di dekat tiang bendera yang terkelupas catnya—kosong. Hampa. Padahal aku yakin betul dia berdiri di sana. Aku bicara dengannya. Aku dengar suaranya. Bahkan napasnya terasa dekat saat menyebut namaku.
Tenggorokanku terasa kering.
“Kelompok tiga! Cepat barisnya rapi!” teriak panitia perempuan yang wajahnya sekilas kukenali dari brosur pendaftaran.
Aku buru-buru menyusup ke dalam barisan. Deretan wajah asing menyambutku—semua tampak letih, sebagian nyaris tertidur berdiri, sebagian lagi sibuk mengeluh tentang panas, sepatu baru yang menyakiti tumit, atau makanan sarapan yang hambar. Aku ingin bicara, tapi entah kenapa lidahku kelu.
"Lu tadi ngeliat ada panitia cowok tinggi, jaket biru dongker, rambutnya ikal, berdiri di deket tiang?" tanyaku pelan ke orang di sebelahku. Seorang cewek berkerudung ungu pastel yang dari tadi sibuk mengipas wajahnya pakai ID card.
Dia menoleh sekilas. “Panitia cowok? Nggak. Kayaknya tadi cuma si Kak Citra sama Kak Bima deh di sini. Kenapa emangnya?”
Aku hanya geleng pelan. “Nggak, cuma... penasaran aja.”
Aku menarik napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Mungkin aku kelelahan. Mungkin aku terlalu banyak berkhayal karena malam tadi nyaris tak tidur. Atau... mungkin memang ada sesuatu yang tak biasa di kampus ini.
---
Siang itu kami digiring ke lapangan belakang untuk acara pengenalan kampus. Panitia mulai memperkenalkan diri satu per satu. Nama-nama disebut, disambut sorakan dan tepuk tangan pura-pura dari para maba yang dipaksa antusias.
Aku mendengarkan separuh sadar. Sesekali mataku mencari-cari. Barangkali dia muncul lagi. Barangkali aku bisa bertanya lebih jelas kali ini.
Tapi sepanjang hari, dia tak muncul. Bahkan saat kami dikumpulkan di aula tua untuk pemutaran video sejarah kampus, aku merasa sendiri. Sendiri secara aneh, seperti sesuatu sedang menungguku dalam diam.
Hingga malamnya, ketika aku menuliskan jurnal kegiatan hari pertama di atas tempat tidur susun asrama, aku mendengar langkah kaki berhenti di depan pintu kamar. Aku diam. Tak ada ketukan. Tak ada suara. Tapi aku merasa... diam-diam diperhatikan.
Dan saat aku menunduk untuk merapikan buku, aku melihat secarik kertas kecil terselip di sela-sela halaman belakang. Bukan milikku. Aku tidak menulisnya. Tapi tulisan tangan itu rapi, familiar, dan barisnya hanya satu:
"Aku masih di sini."
udah lah win move on ajh biar gk pusing akunya🤭