Adrian pergi—lagi.
Tapi kali ini, Aruna tidak mengejarnya.
Ia tidak menelepon. Tidak bertanya pada siapa pun ke mana Adrian menghilang. Ia tidak berdiri di depan kamarnya. Tidak membuka lemari pria itu untuk mencium sisa aroma yang tertinggal. Ia hanya diam.
Tapi diamnya bukan berarti selesai.
Diamnya adalah luka yang tak berdarah.
Sudah lima hari berlalu sejak malam itu—sejak ciuman yang membuat dunia seolah berhenti sejenak, hanya untuk meledak lebih keras di dada. Dan sejak pintu itu tertutup pelan tanpa janji akan terbuka kembali.
Yang tertinggal hanya keheningan.
Dan ruang kosong yang tidak bisa dijelaskan oleh siapa pun.
---
Pagi itu, Aruna sedang duduk di ruang makan, menyendok bubur ayam yang sudah hampir dingin, saat kedua orangtuanya masuk dengan koper dan senyum lelah. Mereka baru tiba dari luar negeri, menghadiri forum bisnis tahunan selama dua minggu.
“Sayang,” sapa Mama sambil memeluk Aruna. “Kamu makin kurus, ya? Nggak makan yang bener?”
Aruna tersenyum kecil. “Makan kok.”
Papa duduk di seberangnya, menatap wajah putrinya yang terlihat lebih pucat dari biasanya. “Kami dengar kamu kecelakaan. Kenapa nggak kasih kabar langsung?”
Aruna mengangkat bahu pelan. “Cuma luka ringan.”
Mama menarik kursi, duduk di sampingnya. “Dan Adrian?” tanyanya pelan. “Dia… pergi?”
Pertanyaan itu menggantung lama di udara sebelum dijawab.
“Dia nggak tinggal di sini lagi,” jawab Aruna.
Papa dan Mama saling berpandangan. Lalu Papa mengangguk kecil. “Kami tahu.”
Aruna menoleh, terkejut. “Tahu?”
“Iya. Sebelum kami pulang, Pak Rudi, sopir, bilang Adrian menitipkan barang-barangnya. Disuruh antar ke stasiun. Nggak bilang mau ke mana, cuma minta dikirim sampai sana saja,” jelas Papa.
“Dia pergi sendiri?”
“Ya,” sahut Mama. “Dan sebelum itu, dia sempat mengirim pesan. Meminta izin… untuk keluar sementara dari rumah. Katanya dia ingin mencoba hidup sendiri. Mengambil jarak dari semua yang selama ini ia anggap tempat aman.”
Aruna menunduk. Dadanya seperti diremas perlahan dari dalam.
“Kenapa… dia nggak bilang apa-apa ke aku?” bisiknya.
“Karena dia tahu kamu terluka,” kata Mama lembut. “Dan mungkin karena dia sendiri… nggak tahu bagaimana caranya berpamitan padamu.”
Tidak ada kabar lebih jauh. Tidak ada alamat. Tidak ada tujuan. Seolah Adrian menghapus jejaknya sendiri begitu meninggalkan stasiun.
Dan Aruna hanya bisa mengangguk pelan.
Menerima kenyataan bahwa kali ini, Adrian benar-benar pergi bukan untuk menghindar—tapi untuk mencari dirinya sendiri.
Tapi kenapa… tetap terasa seperti ditinggalkan?
---
Hari-hari setelah kepergian Adrian bergerak lambat, seperti jam pasir yang menetes satu demi satu tanpa suara. Aruna kembali ke kantor setelah dokter menyatakan ia cukup pulih secara fisik. Namun jauh di dalam, luka yang tersembunyi masih menganga. Dan tak seorang pun tahu caranya dijahit.
Kenzo tetap hadir—dengan cara yang sama seperti sebelumnya: tenang, konsisten, dan tanpa paksaan.
Setiap pagi, ia mengirim pesan singkat : Pagi, Aruna. Jangan lupa sarapan, ya.
Hari ini kamu sibuk? Aku bisa mampir kalau kamu mau ditemani.
Dan hampir setiap malam, ia mampir. Membawakan makanan favorit Aruna, atau hanya duduk di ruang tamu sambil menemani menonton film yang tidak pernah selesai ditonton.
Aruna menghargainya.
Tulusnya. Waktunya. Kesediaannya.
Tapi tidak ada ruang dalam dirinya yang benar-benar bisa terbuka.
Sebab hatinya masih sibuk menunggu sesuatu yang bahkan tidak tahu harus ditunggu atau dilepaskan.
---
Suatu malam, saat hujan turun lagi di luar jendela, Kenzo duduk di sisi sofa sambil memainkan gelas teh hangat yang belum disentuh.
“Aku nggak akan tanya soal Adrian,” katanya akhirnya.
Aruna menoleh perlahan.
“Aku tahu… kamu masih belum selesai dengan dia.”
Aruna menggigit bibir bawahnya. Tidak menjawab.
“Aku cuma pengin kamu tahu, Aruna,” lanjut Kenzo. “Kalau kamu butuh seseorang untuk hanya diam bersamamu, aku bisa jadi orang itu. Kalau kamu butuh bahu untuk bersandar, aku ada. Tapi kalau kamu butuh ruang, aku juga nggak akan pergi.”
Suaranya tenang, tanpa nada menuntut.
Dan itu—itulah yang membuat Aruna makin hancur dalam diam. Karena orang sebaik Kenzo tidak seharusnya menunggu seseorang yang belum bisa memilih.
Ia menatap Kenzo, matanya lembap.
“Aku nggak mau menyakitimu,” bisiknya.
Kenzo tersenyum. “Kamu belum menyakitiku. Kamu cuma… belum sembuh.”
Dan pada malam itu, Aruna menyadari satu hal: kadang cinta datang bukan untuk menggantikan yang lama, tapi untuk mengajarkan bahwa seseorang bisa mencintai kita… bahkan ketika kita belum siap membalas.
Tapi kenyataan pahitnya: cinta seperti itu juga bisa jadi beban, jika hati masih tertambat pada bayangan seseorang yang tak pernah benar-benar tinggal.
Dan Adrian… masih tinggal dalam setiap detik sunyi Aruna.
---
Dua minggu setelah kepergian Adrian, Aruna kembali menapak lorong-lorong kantor pusat Adikerta Group. Langkahnya mantap, rambutnya diikat rapi, blazer abu menghiasi siluet tubuh yang mulai pulih. Tapi dalam sorot matanya, ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang belum kembali sejak malam itu.
Hari itu biasa saja—sampai tidak lagi.
Aruna baru saja keluar dari ruang rapat saat ia melihat seseorang berdiri di seberang lorong, sedang berbincang dengan divisi legal. Sosok itu tinggi, tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana abu. Rambutnya sedikit lebih panjang dari biasanya. Ia tidak memakai jas, hanya membawa map hitam di tangan.
Dan saat ia menoleh—mata mereka bertemu.
Adrian.
Dunia berhenti selama satu detik.
Aruna terdiam. Nafasnya tercekat.
Adrian juga.
Tapi hanya sesaat.
Lalu ia mengangguk singkat—gerakan formal, sopan, seperti orang asing yang pernah saling kenal dalam kehidupan yang jauh. Lalu kembali berbicara pada koleganya seolah tidak ada apa-apa yang mengguncang antara mereka beberapa malam lalu.
Aruna berdiri mematung di dekat dinding. Tidak percaya.
Wajah itu masih sama. Tapi rasanya bukan orang yang sama.
Adrian tak lagi memancarkan kehangatan diamnya. Tidak lagi ada sorot teduh di balik kacamatanya. Yang ia lihat kini adalah seseorang yang seolah benar-benar telah memutuskan: aku bukan bagian dari hidupmu lagi.
Dan itu—itu yang paling menyakitkan.
Ketika seseorang tak perlu mengucap satu kata pun untuk memberitahu bahwa mereka telah pergi… bahkan saat tubuh mereka masih berdiri di ruangan yang sama.
Aruna melangkah mundur. Perlahan. Lalu membalikkan badan dan berjalan ke arah yang berlawanan.
Tangannya gemetar.
Dan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu—air matanya jatuh lagi, satu demi satu, di tengah lorong kantor yang dingin dan terlalu terang.
Ia tidak tahu apakah ia harus lega atau hancur karena Adrian kembali.
Karena yang kembali… bukan laki-laki yang dulu ia cintai.
Yang kembali hanyalah tubuhnya.
Jiwanya entah tertinggal di mana.
---
Aruna duduk di meja kerjanya selama lebih dari setengah jam tanpa menyentuh laptop. Di luar jendela, matahari sudah mulai turun ke barat, memantulkan cahaya hangat ke kaca-kaca gedung tinggi di seberang. Tapi tidak ada yang hangat dalam dadanya.
Tadi siang, Adrian ada di ruangan yang sama.
Dan ia… tak mengatakan apa pun.
Aruna memejamkan mata. Mengingat kembali tatapan itu—singkat, kosong, dan terlalu sopan. Seperti dua orang yang pernah punya cerita, tapi kini tidak lebih dari rekan kerja dengan sejarah yang tak boleh disebut.
Bukan amarah yang memenuhi dirinya.
Bukan pula kecewa.
Hanya kehampaan.
Ia telah mencintai Adrian terlalu lama. Terlalu dalam. Bahkan setelah empat tahun terpisah benua, hatinya tetap setia pada satu nama. Tapi hari ini, ia akhirnya melihat dengan jelas: seseorang bisa mencium kita seperti dunia akan runtuh, lalu esoknya menatap seolah tak pernah ada apa-apa.
Dan tidak ada yang lebih menyakitkan daripada disamakan dengan orang asing oleh seseorang yang dulu kita beri segalanya.
Aruna menarik napas dalam. Lalu menyalakan layar laptop. Membuka email kerja yang menumpuk. Mencoba berpura-pura bahwa jantungnya tidak lagi berdetak terlalu keras hanya karena seseorang melintas di lorong.
Ia menata ulang folder di desktop. Menjawab dua email penting. Membuat daftar tugas esok hari.
Dan dalam diam itu, ia memutuskan satu hal:
Ia tidak akan lagi mencari Adrian. Tidak akan bertanya, tidak akan menoleh ke belakang. Jika suatu hari Adrian ingin bicara, ingin datang, maka ia yang harus mengetuk pintu itu. Tapi sampai saat itu…
Aruna tidak akan menunggu.
Karena ia mulai sadar: kita bisa mencintai seseorang begitu dalam, tapi tetap memilih untuk menyelamatkan diri dari seseorang yang tak pernah benar-benar memilih tinggal.
Malam itu, saat Aruna pulang ke rumah, ia duduk di balkon sendirian. Langit Jakarta gelap, bintang tertutup awan.
Dan untuk pertama kalinya, ia menatap ke depan tanpa nama siapa pun dalam pikirannya.
Tapi jauh di lubuk hatinya—ia tahu. Cinta yang sebenarnya tidak pernah pergi.
Ia hanya… diam.
Dan barangkali, itulah cinta yang paling menyakitkan.
---
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 28 Episodes
Comments