Tujuh belas tahun lalu, rumah itu menyambut seorang anak laki-laki dengan tatapan kosong dan langkah enggan.
Namanya Adrian Raharjo. Usianya tiga belas. Tingginya hampir sama dengan Aruna yang kala itu baru genap sebelas, tapi cara ia berdiri… membuatnya terlihat jauh lebih dewasa. Terlalu dewasa untuk anak seumurannya. Atau mungkin, terlalu rusak untuk disebut anak-anak.
Aruna masih ingat hari itu dengan jelas. Ia sedang duduk di tangga, membaca komik ketika mobil hitam itu berhenti di depan teras. Dari dalamnya keluar seseorang yang membuat Mamanya tampak gugup—Papa.
Dan seorang anak laki-laki dengan mata yang dingin.
Ia tidak menangis. Tidak juga menunduk. Tidak menyapa siapa pun. Hanya berdiri di samping Pak Bram Adikerta, seperti bayangan yang baru saja dihidupkan.
“Kamu Adrian,” kata Mama, mencoba tersenyum ramah. “Selamat datang di rumah ini, ya, Nak.”
Adrian hanya mengangguk pelan.
Aruna mengamati dari balik pagar tangga. Ia tak tahu harus merasa apa. Anak itu tampak seperti tokoh misterius dalam cerita detektif: pendiam, penuh rahasia, dan tidak menyukai tatapan langsung.
“Kakakmu baru datang,” kata Mamanya kemudian, saat mereka duduk di ruang makan malam itu.
“Dia bukan kakakku,” kata Aruna pelan, tanpa bermaksud jahat.
Tapi kalimat itu menghentikan suasana.
Adrian hanya duduk diam, menunduk ke piringnya. Tak menyentuh makanan. Tak menunjukkan kemarahan. Tapi sorot matanya… kosong. Seperti sudah terlalu sering mendengar penolakan.
Setelah malam itu, segalanya berubah.
Aruna tak diizinkan tidur di kamar sebelah karena sudah diberikan untuk Adrian. Ia pindah ke kamar belakang, yang dulunya gudang kecil. Mama mulai menyebut mereka “anak-anak”—bukan hanya “Aruna”.
Papa sering terlambat pulang, tapi kini ada orang lain yang menunggunya bersama Aruna. Yang diam-diam ikut les privat bersama guru yang sama. Yang masuk sekolah baru, satu tingkat di atas Aruna, tapi diantar dan dijemput oleh supir keluarga yang sama.
Tapi bukan itu yang paling membuat Aruna gusar.
Yang membuatnya gelisah adalah caranya Adrian selalu diam, tapi memperhatikan.
Ia tahu di mana Aruna menyembunyikan cemilan kesukaannya. Ia tahu jam berapa Aruna biasa menangis diam-diam di kamar, dan menyelipkan tisu di bawah pintu tanpa bicara. Ia tahu Aruna tidak suka tomat, dan diam-diam memindahkannya ke piring sendiri saat makan malam.
Dan Aruna… mulai tahu Adrian tidak sekeras yang ia pikir.
Malam-malam saat lampu kamarnya belum dimatikan, ia melihat Adrian duduk sendiri di balkon, menatap langit seperti mencari seseorang. Di hari ulang tahunnya, Adrian memberinya buku sketsa, padahal Aruna belum pernah memberitahu siapa pun bahwa ia suka menggambar.
“Kamu ngintip, ya?” katanya waktu itu, setengah menggoda.
Adrian hanya mengangkat bahu. “Kamu pernah bilang saat ngigau.”
Aruna tertawa kecil, dan itu mungkin pertama kalinya ia tertawa di dekat Adrian tanpa beban.
Lalu, mereka mulai akrab. Dengan cara yang diam, tidak biasa, tapi nyata.
Mereka tidak saling menyebut 'kakak' dan 'adik'. Tidak pernah. Bahkan saat Mama memaksakan panggilan itu, mereka hanya saling tatap, lalu tertawa kecil setelahnya.
Seperti ada kesepakatan yang tak pernah diucap: mereka bukan saudara. Mereka hanya dua anak yang dilempar ke dalam satu atap dan dipaksa belajar bertahan.
---
Masa SMA menjadi lebih rumit.
Adrian semakin cemerlang. Nilainya tak pernah turun. Ia diterima di SMA internasional dengan beasiswa penuh, dan mulai sering menghilang untuk kegiatan akademik. Aruna melihatnya hanya di malam hari, saat makan malam, atau saat ia tertidur di sofa dengan buku di tangan.
Tapi ketidakhadiran itu justru membuat Aruna sadar—ia merindukan kehadiran Adrian.
Dan rasa rindu itu tidak terasa seperti rindu pada kakak. Tidak seperti rindu pada teman. Tapi seperti ada ruang kosong di dalam dada yang hanya bisa diisi oleh satu sosok.
Adrian.
Satu malam, saat listrik padam karena hujan badai, Aruna mengendap ke kamar sebelah. Usianya enam belas, cukup besar untuk tahu apa itu rasa suka, cukup naif untuk tidak tahu cara menyembunyikannya.
Ia masuk pelan, dan mendapati Adrian duduk di lantai, menghadap jendela.
“Kamu ngapain?” bisiknya.
“Nunggu lampu nyala.”
“Kenapa nggak tidur aja?”
“Karena kamu bakal datang.”
Aruna tertegun. “Apa?”
Adrian menoleh. Untuk pertama kalinya, mata itu tak dingin. Ada senyum samar di sana. “Kamu takut gelap.”
Aruna duduk di sebelahnya. “Kamu hafal semua tentang aku, ya?”
“Sedikit.”
“Kenapa?”
Adrian tak menjawab. Ia hanya menoleh ke luar jendela lagi, dan Aruna merasa seolah dirinya sedang mengintip hati seseorang yang sudah terlalu lama terkunci.
Malam itu, mereka duduk berdampingan hingga hujan reda. Tak bicara banyak. Tapi udara di antara mereka terasa begitu padat. Begitu rapuh.
Dan malam-malam seperti itu terus datang. Dalam bentuk berbeda. Dalam percakapan samar. Dalam kehadiran yang pelan-pelan menjadi kebutuhan.
---
Saat Adrian lulus SMA dan diterima di kampus ternama, Papa sangat bangga. Tapi saat Aruna menyusul dua tahun kemudian, masuk universitas yang sama, semua terasa berbeda.
Mereka bukan lagi dua remaja yang tak tahu bagaimana cara bicara satu sama lain. Mereka jadi teman kuliah, satu komunitas, saling antar pulang, bahkan sesekali tertangkap kamera teman-teman karena terlalu sering terlihat berdua.
Dan saat itulah segalanya mulai bergeser.
Ada malam-malam yang terlalu tenang di balkon kampus. Ada tatapan yang terlalu lama bertahan. Ada kecemburuan yang datang saat Aruna mulai dekat dengan pria lain, dan keheningan yang terlalu tajam saat Adrian berpacaran dengan gadis dari jurusan hukum.
Hingga akhirnya datang satu malam, satu malam yang tak pernah benar-benar mereka bicarakan setelahnya.
---
Hari itu, mereka baru saja merayakan kelulusan Aruna. Semua teman sudah pulang. Minuman sudah habis. Musik sudah dimatikan. Hanya mereka berdua di ruang tamu apartemen sewaan teman.
Aruna duduk di lantai, kakinya selonjoran, pipinya memerah sedikit karena alkohol.
“Kamu tahu nggak,” katanya pelan, “aku nggak pernah anggap kamu kakakku.”
Adrian duduk di sofa, satu kaki disilangkan, menatapnya dari atas. Matanya redup.
“Aku juga nggak pernah anggap kamu adikku,” balasnya.
Aruna tertawa pendek. “Bagus.”
Hening.
“Kamu menikmati bekerja di perusahaan Papa?” tanya Aruna kemudian.
"Ya tentu saja, kamu akan ikut bukan? Kita bisa S2 bersama disini."
Aruna menggelengkan kepalanya. “Aku mau ambil S2 di luar negeri.”
“Mama tahu?”
“Belum. Tapi aku akan pergi.”
Adrian terdiam lama. “Kamu lari?”
“Bukan. Aku… takut tinggal.”
“Takut kenapa? Bekerja di perusahaan papa?"
Aruna menoleh padanya. “Bukan, Karena aku nggak tahu gimana caranya mencintai kamu… tanpa merasa bersalah.”
Itulah malam pertama Adrian mencium pipinya. Namun Aruna bertindak lebih, ia mengecup bibir Adrian tanpa rasa malu. Adrian hanya terdiam dan termenung.
Dan pagi harinya, Aruna memesan tiket pesawat ke London.
---
Empat tahun sudah berlalu sejak malam itu. Usia Aruna sudah 28 Tahun dan Adrian sudah 30 tahun. Mereka sudah dewasa.
Tapi kenangan tetap tinggal. Tertanam. Diam. Tak pernah benar-benar mati.
Dan sekarang, dengan jarak yang telah ditebas oleh waktu dan jarak, Aruna kembali ke rumah yang sama. Ke kamar yang sama. Dan kamar di sebelahnya—masih ditempati oleh pria yang dulu ia sebut sebagai segala yang tak boleh.
Adrian Raharjo. Pria yang bukan saudaranya. Tapi juga bukan miliknya.
Belum.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 28 Episodes
Comments
Tsubasa Oozora
I couldn't put this book down! Thank you for the captivating storyline.
2025-03-28
0