Bab 15: Kenyataan Pahit

Aruna tidak pernah menyangka sore itu akan menjadi titik balik yang pelan, diam-diam, namun meremukkan.

Langit menggantung rendah di atas rumah keluarga Adikerta. Awan abu menyapu Jakarta dalam kabut basah yang enggan pergi. Di dalam kamar Adrian yang sunyi, Aruna berdiri sambil membersihkan rak buku yang penuh debu, sebuah kebiasaan yang dulu sering mereka lakukan bersama sewaktu kecil. Bedanya kini, Aruna sendirian. Adrian sedang di luar kota menghadiri pertemuan dengan klien besar. Dan mungkin, ini satu-satunya kesempatan Aruna bisa berada di ruang itu tanpa penghalang emosi.

Bukan karena ia sengaja mencari sesuatu.

Tapi karena ada yang kosong di dalam dirinya, dan ruangan ini terasa seperti tempat terakhir yang bisa memberinya jawaban.

Tangannya bergerak membersihkan laci meja, menyusun ulang beberapa dokumen yang terlihat tak teratur. Hingga matanya menangkap sebuah buku catatan kulit tua, diselipkan di antara map usang dan agenda kosong. Ada bekas lipatan di sampulnya, seperti sudah sering dibuka. Aruna mengenali tulisan tangan di pojok bawah sampul: huruf A yang khas. Milik Adrian.

Ia membuka pelan. Lembar pertama kosong. Lembar kedua hanya catatan kecil pekerjaan. Namun pada lembar ketiga, terselip sebuah kertas terlipat tiga, dengan tulisan di bagian luar:

> Untuk Aruna. Tapi mungkin tak akan pernah kuberikan.

Jantung Aruna berdebar tak karuan. Ia menatap tulisan itu lama, jari-jarinya ragu menyentuh ujung lipatan. Sebagian dirinya ingin segera pergi dan menutup kembali lembaran itu, berpura-pura tak melihat. Tapi bagian lain—bagian yang penuh luka dan pertanyaan—membisikkan: kamu berhak tahu.

Dengan napas tertahan, ia membuka lipatan surat itu dan mulai membaca.

---

Aruna,

Maaf karena aku menulis ini tanpa tahu apakah surat ini akan sampai ke tanganmu. Mungkin aku pengecut. Mungkin aku terlalu banyak diam. Tapi kalau aku tidak menuliskan ini sekarang, aku takut rasa ini akan berubah jadi beban yang tak bisa kutanggung.

Sejak datang ke rumah ini, aku tahu aku orang luar. Tak peduli seberapa hangat Papa dan Mama menyambutku, atau seberapa keras aku berusaha menjadi ‘bagian’—aku tetap anak angkat. Tetap seseorang yang tidak seharusnya berharap terlalu banyak.

Kamu tumbuh jadi seseorang yang begitu terang, Aruna. Bahkan sejak kecil, kamu tidak pernah melihatku seperti dunia melihatku. Tapi justru itu yang paling menakutkan. Karena kamu adalah satu-satunya cahaya yang bisa membakar apa yang selama ini aku jaga rapat: perasaanku.

Aku mencintaimu. Bukan sebagai kakak. Tapi sebagai pria yang jatuh hati pada perempuan yang tak bisa ia sentuh.

Dan aku tahu, itu salah.

---

Salah karena kamu adalah putri keluarga ini. Sementara aku hanya anak yang dititipkan. Dibesarkan dengan baik, tapi tidak pernah sepenuhnya menjadi bagian dari dunia kalian. Setiap kali aku terlalu dekat, suara-suara itu kembali: Tahu diri, Adrian. Jangan bermimpi terlalu tinggi. Jangan rusak yang sudah diberi.

Jadi aku memilih menjauh.

Bukan karena aku berhenti mencintaimu. Tapi karena aku takut. Takut kalau aku biarkan satu langkah maju, kamu yang akan terluka. Dunia tidak akan ramah pada kita. Bahkan jika kamu mau bertahan… aku tidak yakin aku cukup kuat untuk melindungi kamu dari mereka.

Kalau kamu membaca ini, mungkin saat itu aku sudah terlalu jauh dari jangkauanmu. Atau kamu sudah memilih seseorang yang bisa berdiri di sisimu tanpa beban seperti aku.

Kalau begitu, tolong jangan benci aku.

Tolong percaya… aku mencintaimu. Diam-diam. Sepenuh hati.

– Adrian

---

Aruna menurunkan surat itu perlahan, matanya sudah basah. Ia tak sadar kapan air mata mulai jatuh. Dadanya sesak oleh rasa sakit yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Bukan hanya karena Adrian menyimpan semuanya sendirian… tapi karena ia kini mengerti: semua keheningan Adrian adalah bentuk cinta yang menyakitkan.

Bukan penolakan. Tapi perlindungan.

Ia duduk di tepi tempat tidur Adrian, menggenggam surat itu di pangkuannya. Tak tahu harus bagaimana.

Haruskah ia mendatangi Adrian dan memeluknya? Haruskah ia mengatakan bahwa ia tahu segalanya dan perasaannya tak pernah berubah?

Tapi yang bisa ia lakukan malam itu hanyalah diam.

Ia lipat kembali surat itu dengan hati-hati, menyelipkannya ke tempat semula. Membiarkannya tetap menjadi rahasia—bukan karena tidak ingin tahu, tapi karena ia belum siap untuk merusak keseimbangan rapuh yang mereka miliki.

Untuk sekarang, ia akan menyimpan cinta itu sendiri.

Sama seperti Adrian.

---

Keesokan malamnya, Kenzo menjemput Aruna di depan rumah keluarga Adikerta. Ia tidak membawa bunga atau hadiah. Hanya mengenakan kemeja putih yang digulung rapi di lengan dan jaket cokelat tipis. Mobilnya wangi aroma kopi, seperti dirinya—tenang dan konsisten.

“Aku tahu kamu butuh udara segar,” katanya begitu Aruna duduk di sampingnya.

“Terima kasih udah ngerti… tanpa aku harus bilang.”

Mereka berkendara ke arah pinggiran kota, ke sebuah restoran kecil yang tersembunyi di antara pepohonan dan kolam ikan. Tidak ada musik keras, tidak ada lampu terang. Hanya meja kayu, cahaya lilin, dan angin malam yang bergerak pelan.

Obrolan mereka ringan. Tentang buku yang baru dibaca Aruna. Tentang klien Kenzo yang cerewet. Tentang langit yang mulai bersih setelah hujan panjang.

Lalu, setelah hidangan penutup datang, Kenzo berkata pelan, “Aku tahu aku bukan bagian dari cerita awal kamu, Aruna. Tapi kalau kamu izinkan… aku ingin jadi bagian dari sisanya.”

Aruna menatapnya. Bukan kaget—tapi tersentuh oleh ketulusan yang begitu sunyi.

“Aku nggak tahu aku bisa memberi apa, Kenzo,” katanya jujur. “Hatiku belum utuh.”

“Aku nggak datang buat menambal,” balas Kenzo, senyumnya tenang. “Aku cuma ingin ada di sampingmu, entah utuh atau tidak.”

Tidak ada pelukan, tidak ada genggaman tangan. Tapi Aruna merasa seperti sedang dipeluk dunia yang lembut. Dan untuk sesaat, luka di hatinya terasa tidak terlalu dalam.

---

Malam itu, di kamarnya, Aruna duduk sendiri di bawah cahaya lampu temaram. Surat Adrian di meja. Kata-kata Kenzo masih menggantung di udara.

Hatinya penuh. Tapi juga kosong.

Ia belum bisa memilih. Tapi ia tahu, dua laki-laki mencintainya dengan cara berbeda. Satu dengan diam yang melindungi. Satu dengan tenang yang menyembuhkan.

Dan untuk malam itu… ia memilih diam.

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play