Hujan datang tanpa aba-aba malam itu. Langit Jakarta menggulung awan kelabu dan menumpahkannya ke jalanan kota yang sudah sesak sejak sore. Dari jendela besar lantai 10, gemuruh petir terdengar samar, namun cukup untuk membuat atmosfer kantor berubah muram.
Aruna masih duduk di ruang kerjanya ketika jam sudah melewati pukul sembilan malam. Lampu-lampu lantai lain sudah mati, menyisakan hanya ruangan divisi eksekutif yang masih menyala. Di luar, jalanan mulai basah, lampu mobil memantul di permukaan jalan yang licin.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari sekretaris: Maaf, Mbak Aruna. Pak Adrian bilang akan lembur juga malam ini. Tadi barusan naik ke ruangan.
Aruna mengetuk-ngetukkan penanya ke meja. Ia tahu. Entah kenapa ia tahu bahwa malam ini Adrian juga masih ada di gedung yang sama. Sesuatu di dadanya bergetar aneh sejak matahari tenggelam.
Ia berdiri, berjalan pelan keluar dari ruangannya. Koridor sepi. Lalu ia menoleh ke kanan, ke arah ruang kerja Adrian.
Lampunya masih menyala.
---
Adrian sedang menatap layar laptop, tapi pandangannya tidak benar-benar fokus. Tumpukan dokumen di mejanya belum disentuh sejak setengah jam lalu.
Kepalanya penuh oleh bayangan: presentasi yang harus dia revisi, laporan mingguan yang belum selesai… dan Aruna.
Pikiran itu selalu datang saat paling tidak diinginkan—seperti malam ini. Sejak Aruna mulai sering menghilang di jam makan siang, sejak ia tahu nama Kenzo tak hanya muncul di mulut ibunya, tapi juga di daftar riwayat panggilan Aruna, pikirannya tak pernah tenang.
Pintu diketuk pelan.
Ia mengangkat kepala. Dan di sana, seperti yang selalu ia harapkan diam-diam… Aruna berdiri.
Rambutnya sedikit basah oleh embun hujan. Blazer hitamnya sudah dilepas, menyisakan blus putih tipis dengan lipatan halus. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang berbeda malam itu.
"Masih kerja?" tanyanya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Adrian mengangguk. “Kamu juga.”
“Aku bosan kerja. Kamu?”
Adrian menutup laptopnya. “Aku gelisah.”
Aruna masuk, lalu menutup pintu. Hujan di luar mulai turun lebih deras, menyapu jendela dengan suara lembut dan konstan.
“Kenapa gelisah?” Aruna mendekat. “Proyek? Atau... karena aku?”
Adrian menatapnya lama. Lama sekali.
Lalu berdiri. “Kamu tahu kenapa.”
Aruna berdiri tepat di depannya sekarang. Nafas mereka nyaris bertemu.
“Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih terus menjauh?” bisiknya.
Adrian menunduk. “Karena kalau aku deket... aku hancur.”
Aruna menyentuh tangannya. “Kita udah hancur, Adrian. Kita cuma nggak mau ngaku.”
Dan saat itu, batas itu mulai kabur.
---
Ciuman mereka datang seperti badai. Tak lagi ditahan, tak lagi pelan. Bibir mereka saling menyerbu dengan hasrat yang tak bisa disimpan. Nafas mereka saling menyatu, tangan mereka saling meraba, mencari kehangatan dalam dinginnya malam.
Adrian menarik Aruna ke pelukannya, mencium bibirnya dalam-dalam, membenamkan wajahnya di leher perempuan itu, menghirup dalam-dalam.
“Kamu gila,” bisiknya. “Kamu bikin aku gila.”
Aruna mendesah, matanya terpejam. “Aku juga. Tapi aku nggak mau sembuh.”
Adrian mencium rahangnya, lalu menahan wajahnya dengan kedua tangan.
“Kalau malam ini kita lanjut... besok pagi kita bukan orang yang sama.”
“Aku nggak peduli,” kata Aruna. “Malam ini aku cuma mau jujur.”
Tangan mereka saling menggenggam. Tubuh mereka menempel. Tapi sebelum semuanya berubah menjadi sesuatu yang tak bisa dibalikkan, mereka berhenti.
Berdiri dalam pelukan. Nafas memburu. Tapi mata terbuka.
---
Aruna menarik diri perlahan. “Adrian...”
Adrian menunduk. “Aku tahu.”
“Aku bukan milik siapa pun. Termasuk kamu.”
Adrian menatapnya. “Tapi kamu tetap jadi pusat semua yang aku rasain.”
“Kalau begitu... kenapa kamu selalu mundur setiap kali aku maju?”
Adrian tidak menjawab. Ia menatap lantai, lalu menarik napas berat.
“Karena aku selalu dibesarkan untuk jadi ‘yang tahu diri’.”
Kalimat itu membuat Aruna terdiam. Dan akhirnya mengerti.
Adrian bukan tak ingin. Bukan tak berani. Tapi selama ini, ia menahan diri bukan karena takut pada dunia—melainkan karena merasa ia tidak berhak.
Karena statusnya. Karena garis namanya.
Dan itu jauh lebih menyakitkan.
---
Beberapa menit berlalu dalam diam. Hujan di luar makin deras. Lampu-lampu kota memantul di lantai. Adrian kembali duduk. Aruna berdiri membelakanginya, memandang keluar jendela.
“Kamu tahu... aku makan malam sama Kenzo dua kali. Dan dia baik. Dia pintar. Dia hormat. Semua kualitas yang... cocok jadi pasangan.”
Adrian tidak menoleh.
“Tapi saat dia pegang tanganku di pinggir jalan,” lanjut Aruna, “yang aku pikirkan adalah... kenapa tangan itu bukan tangan kamu.”
Adrian menutup matanya. Sekuat-kuatnya ia membangun tembok, kalimat itu menghantam langsung ke jantungnya.
“Kamu masih milih aku?” tanyanya pelan.
Aruna menoleh. “Sampai kamu berhenti lari.”
Adrian berdiri lagi, mendekat, tapi hanya sampai satu langkah darinya. Ia menatap mata Aruna dalam-dalam.
“Kalau kamu tunggu aku sedikit lagi....”
Aruna mengangguk, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Jangan terlalu lama.”
---
Beberapa menit kemudian, Aruna keluar dari ruangan itu. Rambutnya masih berantakan, blusnya sedikit kusut, tapi hatinya terasa sedikit lebih tenang.
Di balik semua kerumitan yang belum selesai, ada satu hal yang malam ini mereka sepakati: bahwa perasaan mereka nyata.
Dan itu cukup untuk hari ini.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 28 Episodes
Comments