Bab 13: Orang Ketiga

Senin pagi itu seharusnya berjalan biasa. Aruna datang lebih awal, mengenakan setelan krem dengan potongan bersih, rambutnya diikat rendah. Ia menyapa beberapa karyawan yang lewat dengan senyum sopan, lalu masuk ke ruangannya dan mulai memeriksa agenda rapat hari itu.

Hingga sebuah nama muncul di jadwal presentasi sore nanti:

Claudia Amara — Principal Consultant, Venti Consulting Asia.

Nama yang membuat Aruna berhenti sejenak.

Bukan karena ia mengenal Claudia secara pribadi.

Tapi karena Claudia adalah mantan kekasih Adrian.

Seorang perempuan tinggi dengan rambut panjang bergelombang, mata tajam, dan cara bicara yang tenang tapi menusuk. Aruna tidak pernah bicara langsung dengannya, tapi ia melihat bagaimana perempuan itu memandang Adrian malam itu—dengan intensitas yang hanya dimiliki oleh dua jenis orang: mantan kekasih, atau seseorang yang belum selesai mencintai.

---

Sore itu, Claudia hadir dengan presisi yang mengganggu.

Ia mengenakan setelan navy gelap, rambutnya digerai rapi, dan high heels yang menambah tinggi tubuhnya yang sudah menjulang. Ia membawa aura ruangan bersamanya—dalam sekali tatapan, semua orang bisa tahu bahwa perempuan ini bukan sembarang konsultan.

Dan yang membuat Aruna paling tidak nyaman: Adrian tersenyum saat menyambutnya.

Bukan senyum sekadarnya. Tapi senyum yang hanya muncul ketika dua orang punya sejarah.

“Claudia,” sapa Adrian, suaranya lebih hangat dari biasanya. “Lama nggak ketemu.”

“Empat tahun,” jawab Claudia dengan nada ringan. “Tapi kamu masih kelihatan sama. Kecuali kacamatanya.”

Adrian tertawa pendek. “Sekarang nggak bisa lepas dari ini.”

Aruna berdiri agak jauh, berusaha tidak menunjukkan apa pun di wajahnya. Tapi jantungnya berdetak tak karuan.

“Aku Aruna,” ucapnya sambil menjabat tangan Claudia.

Claudia menatapnya cepat, senyum sopan. “Tentu. COO Adikerta. Sudah banyak dengar tentang kamu.”

“Tentu saja, pernah ke rumah kan?" tanya Aruna, datar.

“Ya, dulu.”

Pernah.

Dua suku kata itu menancap lebih tajam daripada yang seharusnya.

---

Sepanjang presentasi, Aruna tidak benar-benar mendengarkan. Claudia terlalu pandai bicara, terlalu percaya diri, dan terlalu sering menyisipkan humor dalam percakapannya dengan Adrian. Beberapa kali Adrian tertawa—tulus. Seperti dirinya yang dulu. Seperti bukan Adrian yang belakangan ini membeku di hadapan Aruna.

Dan yang lebih menusuk lagi: Claudia tahu kapan harus menyentuh lengan Adrian saat berbicara, kapan harus membungkuk sedikit saat tertawa, kapan harus menyebutkan kenangan lama seperti kebetulan yang tak disengaja.

Setelah rapat selesai, Aruna berjalan lebih cepat keluar ruangan. Tapi suara Adrian menghentikannya.

“Aruna, bentar.”

Ia berbalik. Claudia masih berdiri di dekat meja, membereskan dokumen.

“Kita makan bareng yuk. Claudia mau bahas kemungkinan joint project buat Q3.”

Aruna menatap Adrian dalam. “Aku ada meeting.”

“Meetingnya bisa digeser sedikit,” ujar Adrian.

Aruna menarik napas. Lalu tersenyum kecil. “Kalian aja yang pergi. Aku percaya kamu bisa handle.”

Dan sebelum Adrian bisa membalas, Aruna sudah berbalik, berjalan pergi dengan langkah yang tenang… tapi hati yang bergetar.

---

Di ruangannya, Aruna menutup pintu pelan. Ia duduk di kursi, menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Tangannya menggenggam pena terlalu erat.

Bukan karena cemburu. Ia bukan remaja yang bereaksi karena perempuan lain mendekati pria yang ia suka.

Tapi karena sakit hati. Karena baru saja menyaksikan sisi Adrian yang sudah lama ia rindukan—dan ternyata, masih bisa muncul di depan orang lain.

Hanya bukan untuknya.

---

Malam itu, Kenzo menghubungi : Kamu sibuk malam ini? Kalau belum makan, aku bisa jemputin makanan kesukaan kamu. Nggak harus keluar, kok.

Aruna menatap layar ponselnya. Lalu membalas: Lapar, tapi nggak ingin sendirian. Jemput aku.

---

Mereka makan malam di restoran sederhana di Kemang, tidak terlalu ramai. Kenzo membiarkan Aruna diam sepanjang 20 menit pertama. Ia tahu—kadang yang dibutuhkan bukan pertanyaan, tapi kehadiran.

“Kamu terlihat seperti seseorang yang baru dikacaukan seseorang dari masa lalunya,” kata Kenzo sambil menyendok sup ke mangkuknya.

Aruna tertawa kecil. “Tebakan yang bagus.”

“Adrian?”

Aruna mengangguk. “Bukan dia yang salah. Aku aja yang terlalu berharap.”

Kenzo tidak bicara. Hanya menyentuh jemari Aruna di atas meja. Hangat. Tenang.

“Kalau aku boleh bilang sesuatu,” katanya pelan, “aku nggak akan pernah bikin kamu merasa kamu sendirian di perasaanmu sendiri.”

Kalimat itu menghantam lembut ke hati Aruna.

Dan untuk sesaat, ia merasa lebih baik.

---

Sementara itu, Adrian duduk di bar hotel tempat Claudia menginap. Mereka baru selesai makan malam bersama klien potensial. Claudia memesan anggur. Adrian memilih kopi hitam.

“Aku pikir kamu udah lupa aku,” kata Claudia.

“Aku nggak pernah lupa,” jawab Adrian jujur.

Claudia menatapnya lama. “Dulu kamu bilang, kamu nggak bisa kasih hatimu penuh ke siapa pun. Karena kamu udah jatuh cinta sama seseorang yang... nggak bisa kamu miliki.”

Adrian terdiam.

Claudia melanjutkan, pelan, “Masih dia?”

Adrian menatap gelas kopinya. “Iya.”

“Dan kamu masih belum bisa miliki dia?”

Adrian menggeleng, pelan. “Karena setiap kali aku mau... aku yang mundur duluan.”

Claudia mengangguk. “Kamu selalu menjadi pengecut tentang cinta, nggak semua orang akan nunggu selamanya.”

Adrian memejamkan mata. “Aku tahu.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Adrian bertanya pada dirinya sendiri: sampai kapan aku akan kalah oleh ketakutanku sendiri?

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play