Empat tahun seharusnya cukup untuk melupakan seseorang.
Itu yang selalu Aruna ulang dalam hatinya, sepanjang penerbangan pulang dari London ke Jakarta.
Tapi saat ia turun dari pesawat dan menghirup kembali udara panas yang pekat dan lembap khas kota itu, semua keyakinannya runtuh satu demi satu. Seperti bangunan yang sudah retak di pondasi, hanya menunggu waktu untuk ambruk.
Yang pertama runtuh adalah perasaan di dadanya saat mobil yang menjemputnya melewati gerbang rumah Adikerta. Pohon-pohon palem itu masih ada. Jendela besar di lantai dua masih menghadap ke arah taman. Dan di balik kaca jendela kamar Adrian—lampunya menyala.
Yang kedua: kabar dari Papa.
“Kamu tahu situasinya, ‘Na. Perusahaan dalam krisis. Kalau kita nggak ambil langkah cepat, brand bisa runtuh dalam enam bulan ke depan.”
Aruna hanya mengangguk. Mereka sedang makan malam di ruang keluarga. Mama hanya mengaduk sup tanpa benar-benar menyuap. Di ujung meja, kursi Adrian kosong.
“Kenapa kamu nggak minta Adrian yang urus semua?” tanya Aruna pelan.
Papa menghela napas. “Adrian udah urus semua ini empat tahun terakhir. Dari nol. Tapi sekarang dia butuh partner. Dia butuh kamu.”
Kata itu—butuh kamu—menghantam seperti palu ke dada.
“Dan kamu percaya kita bisa kerja sama?” gumam Aruna.
“Bukan soal cocok atau enggak. Ini soal nama keluarga. Ini soal warisan kita.”
Aruna menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa Adrian bukan bagian dari "kita", setidaknya menurut dunia luar. Tapi ia tahu, di mata Papa, Adrian dan Aruna sama-sama darah yang mengalir di dalam perusahaan itu. Dan untuk saat ini, itu satu-satunya hal yang menyatukan mereka kembali.
---
Pertemuan resmi pertama mereka terjadi dua hari kemudian di ruang rapat lantai 10 kantor pusat Adikerta Group.
Adrian duduk di ujung meja panjang, mengenakan kemeja putih yang digulung di lengan, dasi abu-abu terlepas longgar di leher. Wajahnya tegas, rahangnya kuat, dan garis-garis wajahnya mencerminkan disiplin dan keteguhan. Ia mengenakan kacamata berbingkai tipis yang menambah kesan intelektual dan tak tersentuh—seperti pria dari dunia lain yang terlalu rapi untuk disentuh.
Dari kejauhan, penampilannya nyaris seperti sosok dalam majalah bisnis: maskulin, tajam, dan tak memberi ruang untuk kelemahan.
Aruna melangkah masuk dengan blus hitam dan rok pensil, rambutnya disanggul sederhana. Wajahnya lembut tapi berkarakter kuat—dengan sorot mata yang tidak pernah luntur oleh waktu atau jarak. Kecantikannya bukan tipe yang mencolok, melainkan memancar diam-diam, elegan, tenang, tapi kalau bicara… semua orang mendengar.
Di tangannya, ia menggenggam iPad dengan laporan yang sudah ia pelajari dua malam penuh. Ia tak tidur sejak tiba.
Mereka saling tatap. Sekilas. Formal.
“Selamat datang kembali di kantor,” ujar Adrian, datar.
“Senang bisa bergabung,” jawab Aruna, nada suaranya netral, nyaris profesional.
“Ini Mas Andra, CFO kita. Kamu pasti udah dengar namanya dari Papa.”
Aruna menjabat tangan Mas Andra, lalu duduk. Adrian langsung memulai pembahasan—efisien, tanpa basa-basi.
Perusahaan sedang terguncang karena pembatalan dua proyek besar dengan mitra dari Singapura dan Jepang. Aliran dana macet. Beberapa departemen harus dipangkas. Divisi pemasaran digital butuh restrukturisasi besar-besaran.
“Kamu akan pegang divisi brand dan PR. Kita perlu gerakan cepat untuk jaga wajah perusahaan di depan publik,” kata Adrian, suaranya tegas.
Aruna mengangguk. “Baik.”
Tak ada ucapan "senang bisa kerja bareng lagi". Tak ada basa-basi personal. Tapi justru karena itulah Aruna tahu—Adrian sedang berusaha keras menjaga jarak. Sama kerasnya seperti ia mencoba tidak menatap terlalu lama mata pria itu.
Pertemuan berakhir dalam satu jam. Profesional. Efektif. Kosong.
---
Tapi malamnya, di rumah, keheningan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih menyiksa.
Mereka makan malam dalam satu meja, bersama Mama dan Papa. Mama berusaha memulai percakapan ringan, tapi hanya dijawab dengan gumaman. Papa lebih banyak menunduk menatap piring.
Usai makan, Aruna membawa segelas teh ke taman belakang. Udara malam Jakarta masih lembap, tapi ada semilir angin yang menyentuh pelipisnya. Ia menutup mata. Berpikir.
Langkah pelan terdengar di belakangnya.
“Masih suka duduk di sini,” suara Adrian terdengar datar.
Aruna tidak menoleh. “Tempat ini nggak berubah.”
“Kamu berubah.”
Kata itu membuatnya menoleh. Tatapan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya hari itu, tanpa orang ketiga, tanpa laporan, tanpa formalitas.
“Kamu juga,” bisik Aruna. “Kamu... lebih dingin sekarang.”
Adrian mendesah. “Belajar dari empat tahun tanpa kamu.”
Aruna menunduk, menyentuh ujung cangkir dengan jemarinya. “Aku... nggak tahu harus mulai dari mana.”
Adrian berjalan mendekat, tapi berhenti dua langkah darinya. “Kita nggak harus mulai dari mana pun,” katanya pelan. “Kita cuma… terusin yang tertunda.”
Aruna menelan ludah. Jantungnya berdebar. “Aku kira kamu marah.”
“Aku bukan marah. Aku patah.”
Keheningan di antara mereka begitu padat hingga terasa seperti bisa dipotong dengan pisau. Aruna berdiri, membawa tubuhnya sejajar dengan Adrian.
“Lalu sekarang kita harus gimana?” tanyanya.
Adrian menatapnya lama. “Sekarang kita profesional. Kamu COO baru. Aku direktur utama. Kita bangun perusahaan ini bareng-bareng.”
“Dan sisanya?”
“Sisanya…” Adrian menarik napas panjang, lalu menggeleng. “Sisanya kita simpan. Di tempat yang nggak bisa disentuh siapa pun.”
Aruna ingin marah. Ingin menangis. Ingin memeluk pria di depannya dan berkata bahwa mereka sudah terlalu lama menyangkal. Tapi malam itu, ia hanya mengangguk.
“Baik,” ucapnya. “Kita profesional.”
---
Hari-hari berikutnya, Aruna menyibukkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan.
Ia memimpin restrukturisasi tim branding, membuat ulang strategi PR untuk mempertahankan kepercayaan investor, dan mengeksekusi kampanye besar-besaran dengan media lokal. Ia hadir di setiap rapat penting, berdiri di samping Adrian dalam sesi evaluasi, dan bahkan turun ke lapangan untuk menemui klien.
Dan Adrian… tetap seperti batu karang. Tegas, efisien, tidak pernah kehilangan kendali.
Tapi sesekali, Aruna menangkap sorot mata yang familiar. Di sela diskusi yang panas. Di balik laporan yang ia serahkan. Tatapan yang sama seperti dulu—tatapan pria yang tidak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Namun mereka tidak pernah membicarakan “itu.” Tidak ada pengulangan malam empat tahun lalu. Tidak ada ciuman. Tidak ada sentuhan. Hanya profesionalisme yang terlalu sempurna, sampai menyakitkan.
---
Sampai suatu malam, setelah presentasi besar untuk investor baru.
Aruna berjalan keluar dari ruang konferensi dengan langkah mantap, napasnya berat, namun lega. Presentasi berjalan lancar. Investor tampak puas. Masih ada harapan.
Di lorong yang sepi, Adrian menyusul di belakangnya. Tak ada orang lain.
“Bagus tadi,” katanya.
Aruna tersenyum tipis. “Terima kasih. Kamu juga.”
Mereka berjalan sejajar, lalu berhenti di depan lift. Lampu di koridor remang-remang. Hening. Suara mesin AC berdengung pelan.
Adrian menatapnya lama. “Kamu luar biasa, Aruna.”
Aruna menoleh. “Kamu juga. Tapi kamu selalu begitu.”
“Enggak,” bisik Adrian. “Aku cuma begitu… kalau kamu ada.”
Lift berbunyi. Pintu terbuka. Tapi mereka tidak bergerak.
Adrian mendekat setengah langkah. Aruna bisa merasakan napasnya.
“Tapi kita profesional,” lanjut Adrian, suaranya nyaris seperti desahan. “Ingat?”
Aruna tertawa kecil, getir. “Profesional yang masih hafal aroma parfum satu sama lain.”
Pintu lift menutup kembali.
Mereka tidak masuk.
Dan untuk beberapa detik yang panjang, mereka hanya berdiri—berdampingan. Dengan hati yang saling mendekat, tapi tubuh yang tetap diam.
Lalu Adrian mundur setengah langkah.
“Aku masih butuh kamu. Di perusahaan ini.”
Aruna mengangguk. “Dan aku akan ada di sini. Selama kamu minta.”
Adrian menatapnya, begitu dalam, begitu lama. Lalu berkata dengan suara pelan, “Tapi aku nggak tahu sampai kapan aku bisa cuma butuh kamu di kantor.”
Dan dengan itu, ia pergi—meninggalkan Aruna di lorong yang tiba-tiba terasa sangat kosong.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 28 Episodes
Comments