Malam itu, Jakarta dingin seperti kota asing. Tidak ada angin, tidak ada bintang, hanya lampu jalan yang remang dan suara lalu lintas yang jauh di kejauhan. Di dalam rumah keluarga Adikerta, semua kamar sudah gelap—kecuali dua.
Satu di ujung kanan, milik Adrian Raharjo.
Satu di ujung kiri, milik Aruna Adikerta.
Dan di antara mereka, hanya lorong panjang dan setumpuk perasaan yang tak pernah sempat dijelaskan.
Aruna menatap koper besar di pojok kamarnya. Tiket pesawat sudah dikonfirmasi, paspor disimpan di saku tas. Besok siang ia akan terbang ke London—sendirian, untuk mengejar gelar yang katanya prestisius. Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu… kepergiannya bukan soal mimpi, tapi soal melarikan diri.
Ia sudah memberitahu Mama, menyampaikan rencana dengan suara bergetar tapi mantap. Mama hanya menatapnya lama, sebelum berkata pelan, “Kamu yakin ini tentang sekolah?” Aruna tidak menjawab.
Papa menyetujui tanpa banyak tanya. Seperti biasa, pragmatis. Katanya, “Bagus. Tambah pengalaman. Pulang-pulang bawa ide segar untuk perusahaan.” Aruna hanya mengangguk.
Tapi satu orang tidak tahu.
Atau mungkin, tahu… tapi pura-pura tidak peduli.
Aruna meraih jaket tipisnya, berjalan pelan keluar kamar. Langkahnya nyaris tak bersuara. Ia berdiri di depan pintu Adrian selama beberapa detik, ragu—lalu mengetuk dua kali.
Tak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi. “Adrian?”
Masih hening.
Lalu terdengar suara kunci diputar, dan pintu terbuka.
Adrian berdiri di baliknya, kaus hitam dan celana abu-abu, rambutnya sedikit berantakan. Ia tampak seperti seseorang yang belum tidur, tapi juga belum siap untuk tidur.
“Kenapa?” tanyanya, suaranya rendah.
Aruna menggigit bibir. “Boleh masuk sebentar?”
Adrian menatapnya sesaat, lalu mempersilakan.
Kamar itu rapi, dingin, dan terasa seperti tempat tinggal seseorang yang terlalu terbiasa sendiri. Buku-buku tersusun di rak, laptop menyala di meja, dan segelas kopi setengah habis tergeletak di sebelahnya.
Aruna berdiri di tengah ruangan, bingung harus memulai dari mana. Adrian bersandar di meja, menatapnya.
“Aku berangkat besok,” katanya akhirnya.
Adrian hanya mengangguk pelan. “Ya.”
“Kamu tahu?”
“Kamu cerita.”
“Oh.”
Hening. Lagi.
“Jadi kamu benar-benar pergi,” ujar Adrian, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.
Aruna mengangguk. “Iya. S2. Dua tahun.”
“London.”
“Iya.”
Adrian mengalihkan pandangan ke jendela. “Sendirian?”
“Sendirian.”
Lalu diam lagi. Begitu banyak kata yang ingin diucapkan, tapi seperti tertahan di kerongkongan masing-masing.
Akhirnya Aruna melangkah lebih dekat. “Kamu nggak mau tanya kenapa?”
Adrian mendesah pelan. “Aku nggak perlu tanya.”
“Karena kamu tahu?”
“Karena aku juga pernah coba pergi dari hal yang sama.”
Aruna terdiam.
“Kamu pikir aku nggak tahu?” lanjut Adrian. “Setiap kali kita terlalu dekat, kamu mundur. Setiap kali aku hampir jujur, kamu menghindar. Tapi kamu juga nggak pernah pergi jauh. Sampai sekarang.”
Aruna menunduk. “Aku takut, Adrian.”
“Takut apa?”
“Takut perasaanku beneran kamu balas.”
Adrian menatapnya, tajam. “Dan kenapa itu menakutkan?”
“Karena kita tinggal di rumah yang sama. Karena orang tuaku orang tuamu juga. Karena dunia nggak akan pernah biarin kita jadi normal.”
Adrian berjalan pelan ke arahnya, lalu berhenti satu langkah di depannya.
“Sejak kapan kita peduli soal normal?” bisiknya.
Aruna mendongak. Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, tidak ada benteng di antara keduanya.
“Aku pernah nunggu kamu bilang satu hal. Apa pun. Tapi kamu selalu diam.”
“Aku juga nunggu kamu,” jawab Aruna pelan. “Tapi kamu juga nggak pernah bicara.”
Mereka tertawa kecil. Lelah. Perih.
“Mungkin kita terlalu mirip,” gumam Adrian. “Terlalu takut kehilangan kalau bicara, jadi kita pilih diam.”
Aruna menarik napas. “Kamu marah aku pergi?”
Adrian tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Aruna lama, seolah menghafalnya.
“Enggak,” katanya akhirnya. “Tapi aku sedih.”
Aruna mengangguk, matanya mulai basah. “Aku juga.”
Adrian mengulurkan tangan, menyentuh pipinya, menghapus air mata yang jatuh perlahan.
“Kamu tahu nggak,” bisik Adrian, suaranya berat, “setiap hari aku meyakinkan diri kalau perasaanku salah. Tapi semakin aku menjauh… semakin aku tahu, aku nggak bisa lari dari kamu.”
Aruna menatapnya dengan mata basah. “Aku pergi justru karena aku tahu… aku juga nggak bisa lari dari kamu. Dan itu menakutkan.”
Adrian mengangkat tangannya, menyentuh pipi Aruna, lalu menelusuri garis wajahnya dengan jemari hati-hati. “Kamu selalu jadi hal yang paling ingin aku miliki, tapi paling aku takuti untuk sentuh.”
Aruna tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan sentuhan itu menenangkan dan membakar dalam waktu bersamaan.
Ketika bibir mereka akhirnya bersatu, semua suara dalam diri mereka lenyap.
Ciuman itu tidak lembut. Tidak juga tergesa. Tapi penuh tekanan, penuh tahun-tahun yang tertahan, penuh emosi yang nyaris meledak. Adrian mencium Aruna seperti seseorang yang tahu ini mungkin satu-satunya malam di mana ia diizinkan untuk jujur. Tangannya menyentuh sisi wajah Aruna, turun ke tengkuk, menariknya lebih dekat, seakan ia tidak ingin ada jarak sedikit pun di antara mereka.
Aruna membalas dengan penuh rindu. Tangannya meremas bagian depan kaus Adrian, mencengkeram seolah ia takut terjatuh. Napas mereka memburu. Ruangan seolah menyusut menjadi ruang kecil penuh debaran, isyarat, dan desir yang terlalu intens untuk disebut hanya ‘perasaan’.
Ciuman mereka pecah, lalu kembali. Lebih dalam. Lebih panjang. Kali ini penuh desah dan hela napas yang tak disembunyikan. Ciuman yang cukup untuk membuat dunia berhenti, cukup untuk menegaskan bahwa apa yang mereka rasakan… nyata.
Adrian menarik diri perlahan, menempelkan dahinya ke dahi Aruna, mata mereka masih terpejam.
“Aku bisa cium kamu semalaman,” bisiknya, lirih, “dan tetap belum cukup.”
Aruna tersenyum kecil, matanya berkaca-kaca. “Tapi kamu nggak akan.”
Adrian mengangguk pelan. “Karena kamu akan pergi. Dan aku… harus belajar menahan lagi.”
Mereka tetap berpelukan. Lama. Dalam diam yang tidak kosong, melainkan dipenuhi oleh apa yang baru saja mereka izinkan terjadi.
Malam itu, mereka tak tidur. Hanya saling bersandar di dinding kamar, tangan saling menggenggam erat. Tak perlu kata-kata lagi. Semuanya sudah mereka rasakan—di antara napas yang memburu, dan ciuman yang masih tersisa di sudut bibir.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 28 Episodes
Comments