Aruna tidak menyangka bahwa efek dari satu ciuman bisa bertahan lebih dari semalam.
Pagi itu, saat ia berdiri di depan cermin sambil mengoleskan lipstik tipis, bayangan malam di ruang kerja Adrian kembali menyeruak. Sentuhan, ciuman, bisikan yang panas dan tergesa—semuanya masih berputar di kepalanya, seperti kaset rusak yang terus mengulang bagian yang sama.
Tapi lebih dari semua itu, yang paling membekas adalah tatapan Adrian saat mundur satu langkah dari tubuhnya. Tatapan yang penuh keraguan… dan rasa bersalah.
Rasa itu terus menghantui Aruna sepanjang hari.
---
Di kantor, semuanya kembali ke ritme biasa. Rapat, email, tumpukan dokumen. Tapi ada yang berbeda.
Adrian—yang biasanya profesional tapi responsif—hari itu terasa seperti bayangan. Ia hanya bicara jika perlu, tidak pernah memandang Aruna lebih dari dua detik. Dan saat mereka berdiri berdampingan di ruang rapat, ia bahkan menjaga jarak tubuh secara jelas. Seolah apa pun yang terlalu dekat akan memicu sesuatu yang berbahaya.
Aruna tahu kenapa.
Ia hanya tidak menyangka… akan secepat ini.
---
Sore itu, Aruna baru saja keluar dari ruangan divisi PR saat ponselnya bergetar. Pesan dari Mama.
> Besok makan malam sama Tante Fira dan putranya ya. Papa udah janji. Kamu jangan telat.
Aruna mendengus pelan.
Tante Fira adalah sahabat lama Mama, dan putranya—Kenzo—sudah lama jadi bahan candaan keluarga sebagai "calon menantu ideal". Sukses, tampan, sopan. Dan yang paling penting: bukan anak angkat keluarga sendiri.
Aruna memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya. Tapi otaknya sudah penuh dengan beban yang belum sempat dia urai sejak pulang ke Jakarta.
Tekanan dari keluarga. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan pada siapa pun. Dan Adrian—yang kini justru bersikap seperti ia tak pernah mencium bibir Aruna dengan seluruh raganya hanya dua hari lalu.
Saat ia kembali ke meja, Adrian sedang berdiri di dekat printer, menelusuri beberapa dokumen.
Aruna menghampirinya, menyentuh lengan bajunya pelan. “Adrian, bisa bicara sebentar?”
Pria itu menoleh cepat, lalu melihat sekeliling.
“Di sini?” suaranya rendah, agak defensif.
Aruna mengangguk. “Iya. Cuma sebentar.”
Mereka berdua masuk ke ruangan kosong di ujung koridor. Lampu ruangan belum dinyalakan. Hanya cahaya dari jendela besar yang menerangi, menciptakan suasana yang terlalu akrab meski mereka belum bicara sepatah kata pun.
Aruna memeluk lengannya sendiri. “Kamu kenapa?”
Adrian menghela napas, lalu menatapnya. “Kita nggak boleh terus begini.”
“Begini gimana?”
“Kamu tahu maksudku, Aruna.”
“Tapi aku nggak ngerti kenapa kita selalu mundur setiap kali kita jujur. Kamu... kamu yang cium aku, Adrian. Kamu yang tarik aku ke kamu.”
“Dan aku juga yang ngerasa paling bersalah setelahnya.”
Aruna menelan ludah, bibirnya bergetar. “Kamu nyesel?”
Adrian menggeleng, cepat. “Nggak. Tapi aku takut. Kamu tahu dunia ini lebih kejam dari perasaan kita. Mereka nggak akan lihat cinta. Mereka cuma lihat garis silsilah.”
Aruna mendekat. “Kamu takut dunia, atau kamu takut dirimu sendiri?”
Pertanyaan itu menghentikan Adrian sejenak.
“Kamu tahu... aku selalu ingin kamu jadi bebas, Aruna. Kamu terlalu berharga buat terjebak dalam hubungan yang dunia anggap salah.”
“Kamu pikir aku nggak tahu itu?” suaranya meninggi. “Tapi kalau kamu terus begini, Adrian, terus menjauh tiap kali kita nyaris saling mendekat, kita akan hancur. Kita akan kehilangan semuanya.”
Aruna melangkah lebih dekat. Tangannya menyentuh dada Adrian, mendorongnya perlahan ke dinding.
“Aku capek,” bisiknya. “Capek terus menjaga jarak, pura-pura kuat.”
Adrian tetap diam, tubuhnya membeku di antara tembok dan tubuh Aruna. Matanya mengunci mata perempuan itu—berisi pergolakan, gejolak, dan keinginan untuk menyerah.
Dan seperti ada magnet yang tak tertahan, bibir mereka kembali bertemu—cepat, liar, dan nyaris marah. Hanya beberapa detik. Tapi penuh luka.
Aruna menarik diri lebih dulu, air mata menetes tanpa bisa ditahan.
“Jadi ini salah lagi, ya?” gumamnya.
Adrian tak menjawab. Ia hanya menunduk, menarik napas berat, lalu memalingkan wajahnya.
Dan itu cukup sebagai jawaban.
Aruna melangkah mundur, membuka pintu ruangan, lalu pergi—tak ingin Adrian melihatnya menangis lebih banyak.
---
Malam harinya, di rumah, Aruna duduk sendirian di ruang baca, membolak-balik majalah bisnis tanpa benar-benar membaca isinya. Mama duduk di seberangnya, menyesap teh dengan tatapan yang terlalu tajam untuk disebut biasa.
“Kamu nggak semangat soal makan malam besok?”
Aruna mengangkat bahu. “Kayaknya bukan waktu yang tepat.”
“Justru sekarang waktu yang paling tepat. Kamu butuh teman hidup, Aruna. Kamu udah terlalu lama sendiri.”
Aruna tertawa kecil, getir. “Aku nggak sendiri, Ma. Aku cuma... belum bisa sama siapa pun.”
Mama memicingkan mata. “Ini soal Adrian?”
Aruna terdiam.
“Kamu pikir aku nggak lihat cara kalian saling tatap?” lanjut Mama. “Kamu pikir aku nggak tahu, kamu pergi empat tahun lalu bukan cuma buat sekolah?”
“Ma…” suara Aruna mulai bergetar.
Mama meletakkan cangkir tehnya. “Dengar, aku nggak marah. Tapi kamu harus sadar, Aruna. Dunia ini nggak akan bisa kasih kalian tempat untuk hidup tenang kalau kamu terus maksa.”
Aruna menatap ibunya. Mata itu bukan marah. Tapi juga bukan penuh dukungan. Itu tatapan realistis. Penuh cinta... dan rasa takut.
“Kalau kamu mau bahagia, kamu harus berani, tapi juga harus cerdas. Pilih pertempuran yang bisa kamu menangkan.”
Aruna mengangguk pelan. Tapi di hatinya, kalimat itu terdengar seperti: pilih orang lain. Bukan Adrian.
Dan malam itu, ia menangis diam-diam, di bawah selimut yang sama seperti saat remaja dulu—satu-satunya tempat yang tahu betapa dalam luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
---
Keesokan harinya, Aruna bangun lebih pagi. Ia mengenakan gaun coklat tua sederhana dan melangkah keluar rumah dengan senyum tipis.
Di dalam hatinya, ia masih ingin memeluk Adrian. Masih ingin bertanya, “Apa kita benar-benar nggak bisa?” Tapi untuk hari ini, ia memilih diam.
Ia memilih menjadi Aruna Adikerta yang dibutuhkan dunia.
Dan menyimpan gadis yang mencintai Adrian Raharjo… di tempat terdalam hatinya, seperti rahasia yang terlalu indah untuk dibagi siapa pun.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 28 Episodes
Comments